Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Narasi Kelahiran Al-Husain a.s.

Rasulullah Saw bersabda: “Al-Husain adalah dari aku dan aku dari Al-Husain. Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Al-Husein”

Dalam lingkungan keluarga Rasulullah Saw di kota Madinah tampak kesibukan luar biasa menjelang fajar pagi menyingsing tanggal 5 bulan Syakban tahun ke-4 Hijriyah. Silih berganti orang keluar masuk sebuah rumah yang terletak dalam lingkungan masjid, tempat kediaman keluarga Ahlulbait, Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dan Sayidah Fatimah Zahra a.s. Ketegangan dan harapan gembira mewarnai wajah orang-orang yang sedang menantikan lahirnya seorang bayi di alam wujud. Beberapa saat kemudian lenyaplah suasana tegang berganti kegembiraan yang semakin cerah karena detik-detik yang dinantikan telah tiba. Puteri kinasih Rasulullah Saw dengan selamat telah melahirkan putra kedua.

Begitu mendengar suara tangis bayi yang baru lahir, orang-orang dengan bersegera menyampaikan berita gembira kepada Rasulullah Saw. Kalimat pertama yang diucapkan beliau sebagai sambutan atas kelahiran cucu lelakinya yang kedua itu, ialah puji syukur ke hadirat Allah Swt. Beliau segera menuju tempat kediaman putrinya, kemudian memanggil Asma, sahabat setia Fatimah a.s. : “Hai Asma, bawalah segera anakku itu kemari!” (Sebagaimana diketahui, beliau selalu menyebut dua orang cucu lelakinya dengan anakku).

Asma saat itu masih berada di dalam ruangan tempat Sitti Fatimah bersalin. Ia segera keluar membawa seorang bayi yang masih kemerah-merahan dalam sebuah selimut berwarna putih bersih, kemudian diserahkan kepada datuknya, Muhammad Rasulullah Saw. Alangkah girangnya beliau Saw menyambut kelahiran cucu lelakinya itu. Dengan wajah berseri-seri beliau menerima bayi itu dari tangan Asma. Beliau mengamatinya dengan perasaan bangga dan bahagia, kemudian membisikkan azan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kirinya. Semua itu beliau lakukan dengan khidmat dan khusyuk. Dengan demikian maka suara pertama yang menembus telinga jabang bayi itu adalah suara datuknya, sedangkan ucapan pertama yang didengarnya iyalah kalimat “Allahu Akbar. Allahu Akbar; Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar­Rasulullah…”

Apa yang telah beliau lakukan terhadap cucu lelakinya yang kedua ini, pernah beliau lakukan juga terhadap cucu lelakinya yang pertama, Al-Hasan a.s. ketika baru lahir. Kalimat takbir dan dua syahadat yang beliau bisikkan ke telinga dua orang cucu lelakinya di saat mereka baru lahir di alam wujud, tidak kecil artinya bagi pertumbuhan masing-masing di kemudian hari. Kalimat agung itulah yang menjiwai kehidupan mereka dalam mengabdikan jiwa dan raga masing-masing kepada kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Dasar keimanan dan landasan takwa ditancapkan oleh Rasulullah Saw dalam darah daging dua orang cucunya sejak mereka mulai membuka mata menyaksikan cahaya.

Selesai membisikkan azan dan iqamat kepada jabang bayi yang baru lahir itu, beliau Saw kemudian menoleh kepada menantunya (Imam Ali bin Abi Thalib a.s.) yang saat itu sedang terharu menyaksikan kelembutan dan kegembiraan beliau menyambut kelahiran putranya. Tiba-tiba suara beliau terdengar memecah keharuan suasana: “Hai Ali, sudahkah bayi ini engkau beri nama?”, tanya beliau kepada saudara misannya. “Rasanya tak layaklah kalau aku mendahului Rasul Allah memberi nama kepadanya”, jawab Imam Ali dengan penuh hormat.

Saat itu Rasulullah Saw menyarankan supaya cucu yang baru lahir itu diberi nama Husain, nama yang belum pernah dikenal orang Arab hingga saat itu. Di kemudian hari barulah banyak orang Arab memberikan nama itu kepada anak-anak mereka. Untuk membedakan dua orang cucu Rasul Allah itu, orang menambahkan lafaz “al” di depan kata Hasan dan Husain. Lafaz “al” dalam bahasa Arab sama artinya dengan “the” dalam bahasa Inggris, sebagai petunjuk tentang sesuatu yang sudah dikenal. Dengan demikian maka nama “Al-Hasan” dan “Al-Husain” berarti “Hasan” dan “Husein” yang telah dikenal.

Setelah menimang-nimang beberapa saat lamanya, beliau meletakkan cucu yang baru lahir itu di atas pangkuannya. Begitu beliau mengamati cucu yang dipangkunya itu, wajah beliau yang semulanya cerah berseri-seri mendadak berubah menjadi suram, kemudian sambil memeluk cucunya beliau menangis terisak-isak.

Asma yang sejak menyerahkan bayi itu ke tangan Rasulullah selalu memandang ke arah beliau, sangat terkejut dan keheran-heranan melihat wajah beliau berubah dan menangis. Ia memberanikan diri bertanya: “Ya Rasul Allah, mengapa Anda menangis dengan penuh kesedihan?” Dengan suara parau dan sambil menahan tetesan air mata beliau menjawab: “Aku menangisi anakku ini, karena kelak ia akan dibunuh oleh orang-orang durhaka. Asma, janganlah kau beritahukan hal itu kepada ibunya. Kasihan, ia baru melahirkan…..”

Pernyataan Rasulullah Saw itu menunjukkan, bahwa beliau telah menerima pemberitahuan dari Allah Swt tentang nasib yang akan menimpa cucunya yang baru lahir itu. Apa yang dinubuatkan oleh beliau itu memang kelak akan terbukti. Surat takdir yang diterima beliau pada tahun ke-4 Hijriyah itu, di kemudian hari akan menjadi kenyataan pahit yang dialami oleh cucu beliau. Asma, sang pendamping setia Sayidah Fatimah a.s. tetap berpegang teguh pada amanat yang dipesankan Rasulullah Saw

Menurut Ibnul-Atsir di dalam bukunya Al­Kamil meriwayatkan bahwa beberapa waktu setelah kelahiran Al-Husain, Rasulullah Saw pernah memberikan segumpal tanah yang pernah diterimanya dari Malaikat Jibril a.s. kepada istri beliau yang bernama Ummu Salamah. Konon tanah itu berwarna kuning kecokelat-cokelatan, berasal dari sebuah tempat yang kelak akan dibasahi oleh darah Al-Husain akibat pembunuhan biadab terhadap dirinya. Kepada Ummu Salamah beliau berpesan: “Apabila segumpal tanah ini berubah menjadi darah, maka ketahuilah bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa Al-Husain telah wafat akibat pembunuhan.”

Sesuai dengan pesan Rasulullah Saw itu, gumpalan tanah tersebut disimpan baik-baik oleh Ummu Salamah di dalam sebuah botol. Di kemudian hari terbukti, tepat pada waktu gugurnya Al­Husain dalam peristiwa pembantaian di Karbala, gumpalan tanah yang disimpan bertahun-tahun oleh Ummu Salamah itu mendadak berubah menjadi darah. Melalui isyarat itu Ummu Salamah merupakan orang pertama yang mengetahui wafatnya Al-Husain. Dengan hati yang amat sedih ia memberitahukan isyarat tentang wafatnya cucu Rasulullah Saw itu kepada orang-orang di Madinah.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. pun jauh-jauh hari telah mengetahui kemalangan yang akan menimpa putranya. Diriwayatkan beberapa saat setelah Al-Husain a.s. lahir,  Salman al-Farisiy datang kepada Imam Ali untuk menyampaikan ucapan selamat atas kelahiran putranya yang kedua. Alangkah herannya Salman ketika melihat wajah menantu Rasul itu tampak sedih. Kenyataan itu tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan bangsa Arab, yang lazim menyambut gembira kelahiran seorang anak lelaki. Salman bertanya: “Hai Ali, kenapa Anda tampak sangat sedih? Bukankah seharusnya Anda bergembira dengan lahirnya seorang anak lelaki?”

Pertanyaan itu dijawab oleh Imam Ali bahwa ia mempunyai firasat buruk mengenai nasib putranya di kemudian hari. Dikatakan olehnya, bahwa Al-Husain a.s. kelak akan wafat dalam keadaan menyedihkan akibat pembunuhan biadab yang akan dilakukan oleh orang-orang durhaka. Seusai menceritakan nasib hari depan putranya, sekalipun Imam Ali orang yang berhati sekeras baja dan seorang pemberani sehingga memperoleh gelar “Singa Allah”, namun sebagai ayah tak sanggup menahan kehancuran hatinya. Ia menelungkupkan tangan pada mukanya seraya menangis sedu-sedan.

*Disarikan dari buku karya Hamid al-Husaini – Husain bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam Pada Zamannya

No comments

LEAVE A COMMENT