Oleh: Dr. Muhsin Labib
Kelahiran Pancasila diperingati bangsa Indonesia setiap tanggal 1 Juni. Hari itu pun dijadikan hari libur nasional demi menyegarkan ingatan kolektif tentang pentingnya paradigma yang mempersatukan bangsa nan majemuk ini.
Hari ini mayoritas rakyat, berkat terbukanya akses informasi di era internet, menerima Pancasila secara luas sebagai asas negara dan bangsa. Namun demikian, di masa awal kelahirannya, Pancasila ternyata tak langsung disepakati dan diterima secara bulat oleh beragam kelompok masyarakat. Bahkan belakangan ini, kendati telah menjadi konsensus faktual, esensi Pancasila sebagai falsafah, ideologi, atau asas negara masih ramai diperdebatkan banyak pihak.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh para ulama pejuang, tentu Nahdhatul Ulama (NU) yang saat itu menjadi bagian utama Masyumi mendukung Piagam Jakarta yang menekankan pentingnya penegakan Syariat Islam.
Baca: Berwilayah juga Berpancasila
Dalam perjalanannya, setapak demi setapak, NU memulai kiprahnya di ranah politik. Keterlibatan NU di ranah politik (kekuasaan) seperti sekarang, berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan organisasi non politik. Namun, setelah Indonesia merdeka, Masyumi ditahbis menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggungnya.
Di kubu Islam, Masyumi sebagai partai Islam terbesar yang salah satu anasirnya adalah NU, secara terang-terangan memperjuangkan ditegakkannya syariat Islam sebagai asas negara dengan mendukung Piagam Jakarta.
Namun, seiring perkembangan sejarah, akibat menolak tuntutan untuk mengubah status partai menjadi “partai federasi” serta merasa tidak terakomodasi secara proporsional (bukan dikarenakan menentang cita-cita penegakkan Syariat Islam), NU akhirnya keluar dari Masyumi dan mendirikan partai NU.
Pemisahan diri dari Masyumi pada 1952 dan dibentuknya Partai NU menjadikan NU untuk pertama kalinya terjun langsung ke ranah politik praktis. Dalam pemilu 1955, Partai NU terbilang cukup berhasil karena meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Partai NU dikenal sebagai pendukung Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Komposisi Nasakom terdiri dari kalangan nasionalis yang diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI), Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), dan lain-lain; kalangan agama yang diwakili Partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan lain-lain; dan kalangan komunis yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca: Menentang Penjajah Adalah Urusan Kita
Memasuki era berkuasanya Orde Baru, NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973 atas desakan rezim Suharto. Selama bergabung dalam PPP itulah, NU ikut pemilu 1977 dan 1982. Namun, dalam muktamar NU di Situbondo, NU akhirnya menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu tidak lagi berpolitik praktis dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Inilah revolusi pemikiran keagamaan dan politik yang diprakarsai Kyai Ahmad Siddiq yang kemudian terpilih sebagai Rais Syuriah NU. Muktamar itu juga memilih dan menetapkan mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua umum PBNU.
Maka dari itu, NU menjadi ormas keislaman pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Bahkan penerimaan itu dideklarasikan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh penguasa.
NU juga merumuskan serangkaian argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Rangkaian argumen ini kemudian diadopsi oleh Departemen Agama serta dibakukan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas keislaman lainnya. Di antara argumen yang diandalkan, misalnya, anekdot yang diungkapkan Kiai Achmad Siddiq, “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?” Argumen lain yang lebih serius, misalnya, berasal dari mendiang Gus Dur yang menyatakan bahwa fikih tidak hanya membagi dunia dalam dua kawasan: Dar al-Islam (negeri Islam) dan Dar al-Harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni Dar as-Shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan ajaran Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. Negara Pancasila adalah contoh dari Dar as-Shulh menurut argumen ini.
Baca: Tuhan, Manusia, Agama dan Budaya
[Bahkan] Dar al-Islam atau Dar al-Harb dalam konteks sekarang (menurut NU–pen.) sudah tidak ada. Pasalnya, dikotomi Dar al-Islam dan Dar al-Harb seperti yang ditemukan dalam kitab-kitab fikih dibahas lantaran di masa lalu, wilayah kekuasaan terbagi ke dalam wilayah Islam yang dikenal dengan kekhilafahan dan wilayah Non-Islam. Sementara, lanjutnya, dalam konsep modern yang terjadi hari ini, disparitas keduanya sudah tidak ada bentuknya pasca munculnya gagasan negara kebangsaan (nation-state). (Sumber: Indonesia bukan Negara Darul-harb, NU online)
Revolusi pemikiran keagamaan NU berlanjut di bawah pengaruh Gus Dur yang berhasil secara gemilang menjadikan NU sebagai ikon Islam moderat yang nasionalis, meski suara-suara penentangan dari dalam masih kerap terdengar.
Bila dicermati lebih jauh, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU dalam Muktamar Situbondo lebih bersifat kompromistis. Kecenderungan ini dapat dilihat dari diajukannya ide Dar As-Sulh yang merupakan justifikasi yurisprudensial dalam fikih siyasah sebagai jalan tengah di antara Dar al-Harb dan Dar al-Islam.
Langkah transformatif ini juga dilakukan Muhammadiyah yang menetapkan asas Dar al-Ahd wa asy-Syahadah, yang mirip Dar as-Shulh-nya NU, sebagai basis yurisprudensial bagi keabsahan teologis negara Pancasila.
Dar al-Ahd dan Dar asy-Syahadah merupakan elaborasi konseptual antara doktrin Siyar–hukum perang dan hubungan internasional dalam tradisi Islam–dan Pancasila. Tujuannya untuk memberi pedoman kepada para aktivis Muhammadiyah ihwal hubungan negara dan organisasi, sebagai fondasi pertahanan ideologis, alat harmonisasi politik, serta manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya nasionalisme.
Konsep ini diyakini telah dipraktikkan sejak masa Rasulullah saw yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Traktat itu merupakan perjanjian damai antara umat Islam dan Bani Quraisy pada 628 M.
Melalui Mukatamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, Muhammadiyah menyepakati bahwa Indonesia tidak cukup hanya sebagai Dar al-Ahd (negara konsensual), tapi juga harus menjadi Dar asy-Syahadah (negara persaksian).
Fakta sejarah dinamika pemikiran yang terjadi dalam masyarakat Muslim yang direpresentasi oleh NU dan Muhammadiyah mengkonfirmasi bahwa hampir seluruh umat sepakat bahwa Islam adalah ajaran yang mengurusi bidang-bidang vertikal (hablun minallah) dan bidang horisontal (hablun minannas). Namun untuk menerapkan Islam dalam beberapa bidang horisontal memerlukan sulthah atau daulah atau hukumah. Karena itu, politik menjadi bagian integralnya. Namun, aktualisasinya memerlukan sejumlah syarat niscaya, yang bila tidak terpenuhi, maka hukum tsanawi (sekunder) berlaku.
Pelajaran yang bisa dipetik dari paparan di atas adalah bahwa Pancasila perlu didialogkan, bukan dijadikan sekadar alat intimidasi dan jargon untuk menakut-nakuti. Lebih-lebih dijadikan bedil untuk menembak kelompok yang tidak sealiran dengan tuduhan tak berdasar semacam transnasional atau bahkan ekstremis dan radikalis, sebagaimana lazim di masa Orba.
Baca: Agama dan Pemerintahan (2)
Pancasila perlu diterima berdasarkan validitas argumentasinya berikut relevansinya. Pancasila tak akan pernah jelas dan hidup lewat teriakan. Bahkan, semakin keras diteriakan, nilai penting Pancasila akan semakin surut dan kerdil dalam pemahaman kolektif. Teriakan hanya mempertontonkan arogansi, bukan urgensi, sekaligus hanya mengeraskan klaim paling nasionalis dan Pancasilais yang hakikatnya manipulatif dan semu belaka.