Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Penyesalan Para Tokoh Kufah dan Lahirnya Revolusi Husaini

Setelah kesyahidan Imam Husain a.s., orang-orang Syiah di Kufah yang bertemu menjadi saling menyalahkan, merasa malu, menyesal, dan sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Karena mereka telah mengundang Imam a.s., tetapi tidak memperhatikan permintaannya dan tidak membantunya sampai akhirnya beliau harus terbunuh. Kenyataan pahit itu telah menjadi noda memalukan yang tak akan pernah hilang dari baju mereka kecuali dengan membalas dendam dan membunuh semua pembunuh Imam Husain beserta rombongannya di Karbala. Pada waktu itu, ada lima orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin Syiah di Kufah, yang di antaranya

  • Sulaiman bin Surad al-Khuzai, merupakan salah satu di antara sahabat Nabi Suci Saw.
  • AI-Musayyab bin Najaba al-Fazari
  • Abdullah bin Saad bin Nufayl al-Azdi
  • Abdullah bin Walin at-Taymi
  • Rifa’a bin Shadad al-Bajali

Kelima orang ini merupakan sahabat-sahabat Imam Ali a.s. yang sangat saleh dan dihormati. Para Syiah berkumpul di rumah Sulaiman bin Surad. (al-Kamil, Ibn Atsir, 4/158)

Baca: Hasil Revolusi Imam Husein a.s.

Al-Musayyab memulai pembicaraan. Setelah memuji Allah dan mengucap syukur kepada-Nya, ia berkata: “…Dalam pandangan Allah, kita terbukti sebagai seorang pembohong menyangkut segala kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya kita penuhi untuk seorang Putra dari Putri Kesayangan Nabi Saw. Surat-surat dan utusannya telah sampai kepada kita, beliau juga telah mengemukakan segala alasannya, dengan resmi meminta kita untuk menolongnya, baik pada masa awal dan akhirnya, tapi kita telah abaikan permintaan itu, kita telah berlaku kikir terhadapnya, tidak menolongnya dengan tangan, lidah atau harta benda kekayaan kita, sampai akhirnya beliau harus terbunuh di dekat kita. Apa alasan kita nanti di hadapan Tuhan dan di depan para Rasul-Nya, sedangkan Putra yang paling disayangi oleh Nabi Suci (Saw) telah terbunuh di dekat kita?

Demi Allah! Sungguh kita tak punya alasan sama sekali, kecuali jika kita membunuh para pembunuhnya dan orang-orang yang telah ikut memeranginya atau kita terbunuh di jalan ini, dengan harapan Allah senang dan rida terhadap kita. Aku pribadi merasa tak akan pernah selamat dari hukuman-Nya. Wahai saudara-saudara, angkatlah seseorang sebagai pemimpin, karena kalian harus memiliki pemimpin yang akan bisa melindungi dan akan menjadi panji yang bisa menyatukan kalian.”

Kemudian Rifa’i bin Shaddad al-Bajali bangkit, sambil memandang Musayyab bin Najaba al-Fazari, ia berkata: “Semoga Allah senantiasa memberimu hidayah, engkau telah berbicara dengan cara yang paling tepat, telah mengemukakan alasan berperang melawan para penindas dengan sebaik-baiknya alasan guna menyesali dosa besar yang telah kita perbuat. Kami telah mendengarkan perkataanmu, dan menerima ajakanmu, dan menyangkut pemilihan pemimpin, yang dengannya kita bisa berkumpul, aku juga sangat setuju. Maka, jika kau bersedia untuk menjadi pemimpin, kami akan sangat bahagia, karena engkau orang yang jujur dan orang yang paling disukai di antara kita. Jika engkau beserta teman yang lain menerima, marilah kita angkat Sulaiman bin Surad al-Khuzai sebagai pemimpin, karena ia adalah pemimpin Syiah kita, sahabat Nabi Suci Saw, orang yang sangat saleh dan bisa dipercaya.”

Abdullah bin Saad juga bangkit dan sebagaimana Ri’fai, disusul Sulaiman bangkit kemudian berkata: “Aku takut jika kehidupan ini semakin berat karena besarnya penindasan dan tragedi yang menimpa, maka para pelanjut Syiah tidak mendapatkan kebaikan dan gagal mencapai kebahagiaan serta keselamatan. Kita sudah mempersiapkan diri, menerima Ahlulbait Nabi Suci Saw, mendorong dan memotivasi mereka untuk datang, menjanjikan kepada mereka pertolongan dan dukungan yang diperlukan, tetapi pada waktu mereka benar-benar datang, kita perlihatkan ketidakberdayaan dan kelemahan kita, duduk menunggu sampai Putra Nabi Suci Saw itu terbunuh di dekat kita.

Beliau a.s. berteriak untuk menegakkan keadilan dan persamaan, tetapi kita tidak menjawabnya, padahal orang-orang durjana menjadikan beliau sasaran tombak dan panah, menzaliminya, membunuhnya dan membuat jenazahnya telanjang. Tidak inginkah kalian bangkit? Allah benar-benar marah kepada kalian. Jangan pernah kembali kepada istri, anak-anak, dan rumah kalian sampai Allah rida dengan kalian.

Demi Allah! Allah akan tetap membenci kita sampai kita berperang dengan para pembunuh Imam a.s. Jangan ada yang takut dengan kematian, karena siapa saja yang takut akan kematian akan menjadi hina dan rendah. Kalian harus bertindak sebagaimana umat Bani Israel di saat Nabinya berkata kepada mereka: ‘Hai kaumku! Kalian telah menganiaya diri kalian sendiri, dengan menjadikan lembu (sebagai sesembahan), maka bertobatlah kepada Penciptamu, dan bunuhlah dirimu sendiri (QS. al-Baqarah: 54).’

Maka mereka bersiap melakukan itu dan memotong leher-leher masing-masing karena mereka tahu tak akan mungkin diampuni kecuali lewat kematian. Jadi di manakah posisi kalian jikalau kelak menghadapi perhitungan? Keluarkan pedang kalian dari sarungnya dan siapkan tombak kalian. Sampai kalian diberi tahu kapan kita berperang, ‘Dan siapkan untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan kuda-kuda yang ditambatkan (QS. 8: 60).’”

Akhirnya Sulaiman menulis surat kepada Saad bin Hudzaifah al-Yamani, yaitu seorang pemimpin Syiah di Madain: “Semua saudara-saudaramu telah berkumpul dan sepakat membalaskan dendam bagi darah al-Husain (as).” Dalam surat itu juga disebutkan kesyahidan yang dialami oleh Hujr bin Adi al-Kindi dan Khadlani yang mendorong mereka untuk bertobat. Keduanya merupakan tokoh-tokoh Syiah berpengaruh di wilayah itu.

Setelah membaca surat tersebut, Saad bin Hudzaifah al-Yaman menyatakan kesiapannya untuk patuh dan bergabung. Ia menulis surat balasan kepada Sulaiman: “Kaum Syiah sedang menunggu perintahmu!” (al-Kamil, Ibn Atsir, 4/161). Sulaiman juga menulis surat dengan isi yang sama kepada orang Syiah Basrah, dan mereka menyatakan dukungannya.

Orang-orang Kufah sibuk mempersiapkan segala peralatan perang dan bahan-bahan logistik. Ketika Yazid tewas pada minggu kedua bulan Rabiul Awwal 64 H, mereka sudah siap untuk berperang di bawah pimpinan Sulaiman bin Surad. Saat itu Ubaidillah bin Ziyad Amir Kufah sedang tidak berada di sana dan sibuk di Basra. Wakilnya di Kufah adalah Amr bin Harits. Setelah kematian Yazid, para pengikut Syiah Kufah berkumpul di sekeliling Sulaiman bin Surad dan berkata: “Si durjana ini (Yazid) telah mati. Sekarang orang-orang sedang sibuk dan cemas, kau harus kumpulkan orang-orang untuk melakukan pemberontakan, kita serang Amr bin Harits wakil Ubaidillah dan kita akan umumkan tujuan kita ini yaitu menghukum para pembunuh Ahlulbait a.s., dan mengajak semua orang untuk mengikuti mereka yang haknya telah diinjak-injak.”

Baca: Pergerakan Imam Husein as Sebuah Taklif

Sulaiman menjawab: “Jangan tergesa-gesa. Aku sudah memikirkan semua usulan kalian itu. Para pembunuh Imam Husain a.s. adalah para bangsawan Kufah, para tokoh dan pemimpin Arab yang merupakan target kita. Jika mereka tahu kalian akan memeranginya, mereka akan segera menyerang kalian. Aku telah menghitung jumlah para pendukung kita. Jika sekarang kita bangkit, kita tak akan mampu membalas dendam, tak bisa mengalahkan musuh, dan tujuan yang sudah dicanangkan tak akan tercapai. Maka yang harus dilakukan sekarang adalah memobilisasi orang-orang di sekitarmu, yang akan mengajak masyarakat untuk bergabung. Aku optimis, setelah kematian Yazid, banyak orang yang akan menerima ajakan kita.”

Rencana tersebut segera mereka laksanakan, dan banyak orang yang menerimanya. Revolusi pertama paska tragedi Karbala pun terjadi, meski di bawah kepemimpinan Sulaiman bin Surad kurang berhasil karena ketidakmatangan komandan dan para prajuritnya namun di kemudian hari revolusi ini diteruskan oleh Mukhtar Tsaqafi yang berhasil menguasai Kufah dan mengeksekusi semua pembunuh yang terlibat dalam peristiwa Asyura.

*Disarikan dari Karbala: Kisah Kesyahidan Cucu Nabi Saw – Ali Nazari Munfarid

No comments

LEAVE A COMMENT