Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Peristiwa Ghadir Khum Dalam Hadis Ahlusunnah (3)

Foto-foto yang saya sertakan dengan tulisan ini adalah sebagai bukti bahwa 40 tahun lalu, sebelum dan setelahnya, peristiwa Ghadir Khum bukanlah hal yang baru di kalangan Ahlusunnah, karena peristiwa ini pun tercatat dalam hadis-hadis Ahlusunnah.

Memang terjadi perbedaan pandangan tentang beberapa hal, namun (pada masa lalu) perbedaan tersebut tidak dijadikan ajang fitnah untuk saling menyesatkan sesama Muslim.

Harusnya kita mencontoh para pendahulu kita dalam hal menghargai perbedaan sesama Muslim karena mereka mendasarinya dengan iman dan ilmu.

Baca: Peristiwa Ghadir Khum Dalam Hadis Ahlusunnah (2)

Ahli sejarah Islam sepakat bahwa peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tanggal 18 Zulhijjah 631 M atau 11H, 3 bulan sebelum Rasulullah Saw wafat yaitu pada tanggal 28 Safar tahun ke-11 H (632 M). Hanya saja dalam hadis Ahlusunnah terjadi perbedaan pendapat tentang lokasi terjadinya peristiwa.

Lokasi pertama yang disepakati mayoritas ahli sejarah Islam bahwa ceramah terakhir Nabi Saw ini bertempat di persimpangan padang pasir antara Mekkah-Madinah, di satu kota tua bernama Juhfah, di sebuah lembah tempat persimpangan antara Syam (Suriah), Yaman dan Madinah. Di lembah ini terdapat danau (al-ghadir) yang disebut “Khum”.

Lokasi kedua ada juga riwayat yang menyatakan peristiwa khotbah setelah Haji Wada (Haji Perpisahan) ini terjadi di Arafah tepatnya di Jabal Rahmah. Peristiwa ini di kalangan Ahlusunnah kemudian dikenal sebagai “Ceramah terakhir Nabi Saw” sedangkan bagi kalangan Syiah Ja’fariyah dikenal sebagai peristiwa al-Ghadir/Ghadir Khum/Ied al-Ghadir mengacu pada lokasi peristiwa.

Baca: Peristiwa Ghadir Khum Dalam Hadis Ahlusunnah

Perbedaan Sunni dan Syiah terkait peristiwa Ghadir Khum yang lain adalah pemahaman kata “Maula” (wali=pemimpin), mazhab Ahlulbait meyakini bahwa “maula” dalam hadis tersebut adalah bukti penunjukan imam Ali sebagai pemimpin pengganti Nabi, sementara mazhab Ahlusunnah berpendapat berbeda. Mazhab Ahlusunnah meyakini kata “maula” dalam hadis tersebut berarti ‘pemimpin secara spiritual’.

Ied al-Ghadir (peringatan Peristiwa al-Ghadir ) bagi mazhab Ahlulbait memiliki arti penting karena: pada tanggal 18 Zulhijjah Allah Swt menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna, dan penunjukan Imam Ali sebagai “Washi” atau ‘pengemban wasiat’ kenabian setelah Rasul Saw wafat, sesuai dengan tradisi para nabi dan rasul sebelumnya, sebelum berpulang ke rahmatullah.

Seperti tradisi nabi-nabi yang lain, Muslim Syiah Ja’fariyah pun meyakini bahwa Rasul Saw pun demikian, tidak mungkin meninggalkan umatnya tanpa seorang Imam atau pemimpin yang tepercaya dan terlatih menghadapi berbagai situasi umat Muslim, dan peristiwa Ghadir Khum adalah peristiwa penunjukan tersebut.

Baca: Infografis: Hadis al-Ghadir

Selain peristiwa penunjukan, Rasul juga memberitahukan kepada umat, bahwa Allah SWT telah menyempurnakan dan meridai Islam sebagai agama, seperti yang tercantum dalam Alquran surah Al-Ma’idah: 3, yang disepakati para ulama dalam berbagai mazhab sebagai wahyu yang turun pada peristiwa ceramah Rasul Saw setelah Haji Wada.

Namun Rasul Saw juga memberikan kabar duka bahwa tugas beliau Saw sebagai Nabi dan Rasul akan berakhir.

Bagi Muslim Syiah Ahlulbait, dan umat Muslim pada umumnya, peristiwa 18 Zulhijjah adalah peristiwa besar dalam sejarah Islam, karena pada tanggal tersebut, bukan hanya Islam telah disempurnakan dan di ridai sebagai agama namun juga sebagai saat-saat menjelang kehilangan terbesar dalam sejarah umat Muslim, yaitu wafatnya Rasullullah Saw, “Sayyidul anbiya’i wal mursalin”, ‘Pemimpinnya para Nabi dan Rasul’.

Merayakan atau tidak, meyakini adanya penunjukan atau tidak, itu adalah pilihan pribadi masing-masing, namun satu hal yang pasti, Imam Ali memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah Islam, bukan hanya sebagai anak angkat, menantu dan sahabat, Imam Ali adalah tokoh yang selalu dipercaya Rasul Saw dalam berbagai peristiwa penting.

Baca: Kultur Perayaan Idul Ghadir

Perbedaan pendapat menjadikan Imam Ali sebagai pemimpin setelah Rasul Saw atau tidak menjadikan beliau pemimpin, seharusnya tidak dijadikan ajang saling menyesatkan sesama umat Islam.

Sebagai umat Islam kita wajib mencintai beliau, dan bila ada mazhab lain yang merayakan peristiwa Ghadir Khum atas dasar kecintaan kepada Imam Ali, kenapa harus dikatakan sesat?

Karenanya, agar terhindar dari fanatik buta, dasarilah semuanya dengan keimanan dan ilmu, karena hanya dengan keimanan dan ilmu kita dapat menghargai perbedaan pendapat.

Sekali lagi, peristiwa Ghadir Khum atau dikenal juga dengan peristiwa Haji Wada adalah salah satu dari beberapa peristiwa sejarah besar dalam Islam yang disaksikan ratusan sahabat pada masanya dan dicatat pula oleh banyak ahli sejarah dari jalur Ahlusunnah hingga tidak bisa dihapuskan begitu saja hanya karena fanatik mazhab atau memercayai begitu saja golongan tertentu yang sengaja ingin memecah-belah Islam.

Hargailah perbedaan untuk memperkaya wawasan keilmuan kita, bukan untuk menjadi ajang saling membenci apalagi saling melabelkan kafir atau sesat kepada sesama Muslim. Perbanyaklah introspeksi diri, perbaiki diri, dan yang terpenting janganlah membuat murka Allah Swt dengan membuat Rasulullah Saw bersedih dengan lontaran fitnah kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan dan ketidaktahuan kita.

Mudah-mudahan tulisan dari artikel di atas dapat membuka wawasan kita semua, bahwa banyak sekali kajian-kajian ilmu dalam Islam terutama ilmu sejarah yang wajib kita pelajari, agar dapat saling menghormati perbedaan yang ada di antara Muslim dan tidak terjadi kesalahpahaman antara sesama Muslim, agar kita semua menjadi manusia-manusia yang mendapat syafaat Allah dan Rasul-Nya.

Baca: Kisah Perjalanan ke Ghadir

Aamiin yaa Allah yaa Rabb. Allahuma shalli ‘ala Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.


No comments

LEAVE A COMMENT