Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Perjuangan Imam Ali Zainal Abidin a.s. Pasca Tragedi Karbala

Di dalam sejarah hidup para Imam a.s., kita dapati banyak dalil yang menjelaskan sebab perbedaan antar Imam yang satu dengan Imam yang lainnya dalam metode yang digunakan saat memandu gerakan Islam. Suatu kali ketika Imam Sajjad tengah dalam perjalanan menuju Mekah beliau ‘ditegur’ oleh Ubbad al-Basri, “Mengapa Anda tidak melakukan jihad dengan segala kesulitannya dan justru melaksanakan haji dengan segala kemudahannya. Bukankah Allah Swt telah berfirman, ‘Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. at-Taubah: 111)

Maka Imam Sajjad a.s. menjawab: “Bacalah ayat yang setelahnya, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.’”

Kemudian Imam a.s. melanjutkan perkataannya: “Jika telah muncul orang-orang tersebut, yaitu orang-orang mukmin dengan karakteristik yang dinyatakan dengan ayat tadi maka tak ada sesuatu pun yang lebih kami utamakan dari jihad.” (Man La Yahdhuruhu al-Faqih: 2/141)

Dengan jawaban ini, Imam a.s. memberikan batasan secara tajam tentang politik, bentuk perjuangan serta model gerakan yang beliau lancarkan pada masa itu, untuk kemudian menyebutkan sebab-sebab yang mengharuskan dilakukannya metode tersebut. Keputusan Imam untuk tidak melakukan perjuangan bersenjata dan konfrontasi militer terhadap penguasa Umayah tidak dikarenakan rasa kecintaan Imam kepada kehidupan dunia dan kesenangannya sebagaimana yang digambarkan oleh Ubbad al-Basri. Keputusan itu diambil oleh Imam karena faktor-faktor yang dapat mendukung kemenangan dijalankannya operasi militer tidak terpenuhi. Juga karena hasil yang diharapkan dari perlawanan apa pun pada kondisi seperti itu justru akan berbalik sepenuhnya (menjadi kekalahan).

Setelah peristiwa Karbala, Imam Sajjad dan wanita- wanita mulia Ahlulbait seperti Zainab dan Ummu Kultsum langsung melaksanakan strategi politik menyingkap cadar yang digunakan oleh Bani Umayah untuk menutupi wajah politik muram dan mesum mereka yang amat berbahaya bagi umat. Mereka mengarahkan umat akan tanggung jawab historis mereka kepada Allah dan risalah-Nya.

Atas dasar ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa khotbah-khotbah dan penjelasan-penjelasan yang dikeluarkan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s dan para srikandi Ahlulbait di Irak terkonsentrasi sepenuhnya pada upaya menyentuh hati nurani manusia pada waktu itu dan menyadarkan manusia akan besarnya bahaya yang sedang mereka hadapi serta besarnya kejahatan yang telah dilakukan oleh Bani Umayah terhadap hak risalah Allah Swt.

Sedangkan di Syam, sabda-sabda Imam terkonsentrasi pada upaya menjelaskan jati diri para tawanan, bahwa mereka semua adalah keluarga Rasul Saw. Kemudian Imam membeberkan aib penguasa Umayah di depan khalayak Syam yang telah disesatkan oleh penguasa Bani Umayah sehingga tidak bisa melihat fakta yang sebenarnya.

Sebelum memasuki kota Madinah, Imam a.s. melaksanakan aksi membangkitkan opini dan kesadaran islami publik serta mengarahkan mereka untuk memahami ujian dan musibah yang menimpa risalah Islam yang termanifestasikan dalam pembantaian Thuff (Karbala). Khotbah yang beliau sampaikan kepada khalayak menyiratkan pengertian-pengertian ini.

Pengalaman Asyura telah memberikan indikator praktis yang menunjukkan bahwa umat Islam tengah berada dalam keadaan stagnan dan kedunguan yang parah. Hal tersebut telah menjadikan semangat juang yang ada pada mereka lumpuh, untuk tidak mengatakan lenyap sepenuhnya. Karena alasan inilah maka Sajjad a.s. selaku Imam dan pemimpin umat yang secara otomatis beliau menjadi rujukan umat, menyikapi fenomena tersebut dengan penuh pertimbangan dan kecermatan. Oleh karenanya beliau melaksanakan perannya dalam lapangan keislaman dan mengambil tindakan untuk meningkatkan kesadaran islami dan membuka wawasan pemikiran praktis bagi lapisan masyarakat yang beragam.

Beliau juga telah menciptakan kepemimpinan khas yang mengemban pemikiran islami yang murni dan bukan pemikiran yang disebarluaskan oleh para penguasa Umawiyin. Kebijaksanaan yang ditempuh oleh Imam ini mempunyai serangkaian pengaruh obyektif. Sebab lembaga-lembaga politbiro penguasa selama bertahun-tahun berposisi sebagai pengendali pemikiran masyarakat telah berhasil sedemikian jauh dalam menenggelamkan segenap generasi masyarakat dalam lautan penyimpangan.

Langkah-langkah yang diambil Imam a.s. menampakkan hasil dalam banyak bidang sesuai dengan target kebijakan yang beliau kehendaki. Dalam bidang sosial, kebijakan beliau memperoleh respek dan loyalitas dari berbagai lapisan luas masyarakat pada masa itu. Sumber-sumber sejarah sepakat atas kebenaran fakta ini.

Ibnu Khalkan menuliskan bahwa suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik melaksanakan ibadah haji pada masa pemerintahan ayahnya. Ia bertawaf dan mengerjakan ritual-ritual haji lainnya hingga sampai pada saat ketika ia hendak mencium Hajar Aswad. Ia berusaha untuk sampai ke Hajar Aswad untuk meraihnya, namun ia tidak berhasil karena banyaknya orang yang berdesak-desakan. Lalu para pengawalnya membuatkannya mimbar dan ia duduk di atasnya sembari memperhatikan orang-orang yang melaksanakan ritual haji. Dalam kesempatan itu ikut bersamanya sejumlah tokoh terkemuka Syam.

Pada saat seperti itu, tiba-tiba datang Imam Ali bin Husain dalam kerumunan orang, ia tampak paling tampan dan beraroma paling wangi. Beliau bertawaf mengelilingi Kabah. Ketika beliau hendak menuju ke Hajar Aswad untuk menciumnya tiba-tiba orang-orang yang tadi berkerumun tersibak dan memberikan jalan menuju Hajar Aswad. Lalu salah seorang yang ikut bersama Hisyam bin Abdul Malik bertanya kepada Hisyam siapakah orang ini yang datang dan dimuliakan begitu rupa oleh orang-orang itu? Karena takut kalau-kalau warga Syam yang menyertainya ikut mencintai Ali bin Husain maka Hisyam menjawab tidak tahu.

Namun, ketika itu Farazdaq ada bersama mereka dan kebetulan ia mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Hisyam tadi. Maka ia pun berkata kepada orang yang bertanya itu, “Aku mengenal orang itu.” Orang Syam itu berkata kepadanya, “Siapakah orang ini, wahai Abu Firasy?” Maka Farazdaq kemudian menyenandungkan untaian puisi yang menjelaskan orang yang ditanyakan oleh orang Syam tadi:

Dialah yang dikenal jejak langkahnya oleh butiran pasir yang dilaluinya

Rumah Allah (Kabah) pun mengenalnya, juga dataran tanah suci sekelilingnya

Dialah putra insan termulia dari hamba Allah seluruhnya, 

Dialah manusia yang hidup berhias takwa

Kesuciannya ditetapkan oleh fitrahnya.

Apabila orang Quraisy melihatnya berkatalah penyambung lidah mereka:

Pada keagungan pribadinya berpuncak semua sifat mulia bernasab setinggi bintang kejora, seanggun langit di cakrawala tak tersaingi insan mana pun juga, baik Arab maupun Ajam di jagad raya….

Ketika Hisyam mendengar puisi ini, Hisyam tampak marah sekali dan ia kemudian menahan Farazdaq. Lalu Imam Ali Zainal Abidin membebaskannya dan memberinya uang sebesar 12.000 dirham. Ketika Imam memberikan uang tersebut Farazdaq menolak seraya berkata kepada beliau, “Aku melantunkan pujian itu semata-mata karena Allah Ta’ala dan bukan untuk mengharapkan pemberian.” 

Lalu Imam berkata kepadanya: “Kami adalah tuan (Ahlulbait) yang ketika memberi sesuatu maka pantang baginya untuk mengambilnya kembali.” Maka Farazdaq kemudian menerima pemberian itu. (Wafayat al-A‘yan, Ibnu Khalkan: 6/96)

Kejadian semacam ini menegaskan bahwa Imam a.s. telah mendapatkan loyalitas massal dalam pengertian yang sesungguhnya dari banyak kalangan. Sedemikian hingga loyalitas itu tetap hidup bahkan pada saat-saat paling sakral dan di tempat peribadatan yang disaksikan oleh banyak mata sekalipun. Ketika massa yang jumlahnya sangat banyak itu berjumpa dengan Imam mereka yang hak, mereka meluaskan jalan baginya agar beliau mudah melaksanakan manasik-manasik haji tanpa suatu gangguan dan kesulitan. Meskipun sebenarnya umat kala itu mengetahui permusuhan yang terjadi antara penguasa Bani Umayah dengan Ahlulbait serta sikap-sikap Bani Umayah terhadap pendukung dan pengikut setia Ahlulbait a.s.

Aktivitas Imam a.s. berhasil mewujudkan target-target yang dikehendaki. Masjid Nabawi yang mulia dan rumah Imam a.s. menjadi saksi selama 35 tahun, yang merupakan masa imamah beliau, aktivitas intelektual dengan model unik. Pada sisi ini Imam a.s. berhasil menghimpun para penuntut ilmu-ilmu Islam dalam semua bidang, dan tidak terbatas hanya di Madinah al-Munawwarah dan Mekah saja melainkan juga mencakup belahan dunia Islam secara keseluruhan. Sampai-sampai beliau berhasil menciptakan benih bagi suatu mazhab pemikiran dengan karakteristik dan konsep-konsepnya yang khas. Lembaga dan mazhab pemikiran yang dibentuk Imam itu berhasil melahirkan para ahli pikir, muhaddis dan ahli fikih terkemuka. Imam telah menetapkan metode jihad yang dengannya beliau bangkit dengan menanggung segala kepayahan yang memang merupakan tuntutan dari fase kehidupan yang kritis waktu itu.

*Dikutip dari Buku Biografi Imam Ali Zainal Abidin terbitan Majma Jahani Ahlulbait

No comments

LEAVE A COMMENT