Oleh: Ustaz Husein Alkaff
Pada perang Shiffiin yang terjadi pada tahun 37 Hijriah, pasukan Muawiyah nyaris kalah dihadapan pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib as. Telah mati dari mereka ratusan prajurit. Menyaksikan pasukannya yang tak berdaya dan demi menyelamatkan pasukannya yang tersisa, Muawiyah bersama ‘Amr bin ‘Ash berencana melakukan sebuah tipu muslihat. Rencana itu dibangun berdasarkan sebuah fakta bahwa di tengah pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib as. terdapat orang-orang yang beragama secara tekstual bukan secara konstekstual.
Yang dimaksud dengan beragama secara tekstual adalah mengikuti teks agama apa adanya, sedangkan beragama secara kontekstual adalah mengikuti teks agama dengan mempertimbangkan situasi yang terjadi pada setiap masa.
Syahdan, Muawiyah menyuruh pasukannya agar mengangkat Qur’an di atas tombak seraya menyatakan ingin berdamai. Khalifah Ali as. dengan bashirah-nya yang tajam memahami dengan baik dan benar maksud dari tindakan Muawiyah itu. Dalam mengomentari tindakan Muawiyah itu, beliau mengatakan, “Ungkapan yang benar tapi tujuannya jahat (Kalimatu haqqin uriida biha bathil).
Sementara itu, beberapa orang dari pasukan Khalifah Ali as. merasa bahwa Muawiyah sudah sadar karena mengangkat Qur’an.
Baca: Bencana Beruntun dan Keputusan Tuhan
Karena itu, mereka tidak mau melanjutkan perang dan menyalahkan Khalifah Ali as. yang hendak melanjutkan perang.
Khalifah Ali as. bukanlah seorang yang ingin memerangi orang yang mengikuti Qur’an tapi oleh karena beliau paham bahwa Muawiyah dan pasukannya mengangkat Qur’an dalam konteks ingin menyelamatkan diri mereka bukan karena benar-benar ingin mengamalkan Qur’an.
Dalam peristiwa ini, beliau adalah contoh seorang yang memahami teks agama secara kontesktual, sedangkan mereka adalah gambaran dari orang yang memahami teks agama secara tekstual. Mereka ini kemudian hari dikenal sebagai kelompok Khawarij.
Ringkas cerita, terjadilah perundingan antara Khalifah Ali as. dan Muawiyah. Beberapa waktu kemudian pasukan Khalifah yang terkecoh oleh tindakan Muawiyah itu menyadari bahwa mereka mengangkat Qur’an hanya sebuah tipu muslihat untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
Baca: Sekilas Fakta Dinamika Pemikiran dan Improvisasi Ajaran para Sayid Ba ‘Alawi dari Masa ke Masa
Pasukan Khalifah Ali as. yang menghendaki perang berhenti menyesali perundingan itu dan menganggap perundingan itu sebuah dosa besar sehingga mereka yang terlibat di dalamnya harus bertaubat. Oleh karena itu, mereka meminta Khalifah Ali as. agar bertaubat.
Tentu dalam konteks yang berbeda dengan perundingan di atas, baik isi, situasi, kondisi dan waktunya, telah terjadi perundingan di Wina, ibukota Austria, seputar nuklir Iran. Berkaitan dengan perundingan ini, Pemimpin Spiritual Iran, Sayyid Ali Khamenei berpesan kepada pemerintahan Iran dan juru bicaranya, baik dalam perundingan yang lalu tahun 2015 maupun perundingan akhir-akhir ini, agar tidak percaya dengan janji Amerika Serikat dan para sekutunya; Inggris, Prancis dan Jerman yang terlibat dalam perundingan nuklir Iran.
Pemimpin Ali Khamenei menyatakan bahwa kalaupun harus dilakukan perundingan, maka Amerika harus mencabut semua sanksinya terhadap Iran secara bersamaan. Menurut sebuah sumber, Amerika telah menjatuhkan lebih dari 1500 sanksi terhadap Iran, baik terhadap person, perusahaan swasta maupun pemerintahan Iran. Tanpa itu, beliau menolak melakukan perundingan nuklir Iran.
Baca: Ungkapan Imam Ali Soal Kematian: Ringankanlah Diri Kalian, Niscaya Kalian Kelak Menyusul
Pada gilirannya, Amerika menyambut tawaran Iran dan siap mencabut sanksinya namun secara bertahap, dan Iran harus membuka akses secara terbuka kepada Badan Pengawas Nuklir Dunia agar dapat melakukan pengawasan terhadap program nuklir Iran, dan juga agar Iran tidak mengembangkan rudal balistiknya serta tidak ikut campur dalam urusan beberapa negara Teluk.
Pihak Iran tetap bertahan bahwa perundingan dibatasi hanya seputar nuklir saja dan sanksi harus dicabut bersamaan tidak bertahap-tahap.
Jika permintaan Iran tidak diterima, maka Iran tidak akan mematuhi kesepakatan-kesepakatan dalam perundingan nuklirnya.
Melalui pernyataannya itu, Sayyid Ali Khamenei ingin menyadarkan pemerintahan Iran dan juru rundingnya bahwa janji Amerika untuk mencabut sanksi terhadap Iran secara bertahap adalah sebuah tipu muslihat yang membahayakan, dan Amerika sedang menjalankan rencana tipu muslihatnya.
Pernyataan beliau itu boleh jadi terinspirasi oleh ucapan kakeknya, Imam Ali as. yang berbunyi “Kalimatu haqqin uriida biha bathil“, dan diingatkan agar pengikut Ali abad ini tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh beberapa pasukan Khalifah Ali as. setelah perang Shiffin berhenti, dan agar juru bicara nuklir Iran tidak melakukan keteledoran yang dilakukan oleh juru bicara Khalifah Ali as. waktu itu.
Sejarah membuktikan bahwa kemenangan Umat tergantung pada kepatuhan mereka terhadap pemimpinnya. Sebaik apapun seorang pemimpin, jika tidak diikuti oleh umatnya, maka kemenangan tidak akan berpihak kepada mereka.
Dewasa ini dirasakan bahwa optimisme kemenangan Umat makin kuat dan besar karena kepatuhan mereka kepada pemimpinnya.
Hari-hari yang lalu telah menyaksikan kemenangan demi kemenangan mereka. Semoga hari-hari yang akan datang pun akan menyaksikan kemenangan demi kemanangan hingga tibanya Sang Pemegang Kemenangan Global untuk seluruh umat manusia.