Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Oleh: Dr. Muhsin Labib

Berpindah agama adalah sesuatu yang lumrah, apalagi mazhab. Tak perlu sedih bila yang ditinggalkan adalah keyakinan yang anda anut anut dan tidak gembira bila yang dianut adalah keyakinan yang anda anut karena keyaknan adalah buah keputusan personal, tak dipengaruhi oleh keputusan dan penilaian orang lain, sedikit maupun banyak.

Isu “pindah keyakinan” biasanya hanya dipandang sebagai bagian dari dinamika sosial bagi yang berusaha mengedepankan sikap moderat dan toleran atau sebagai tindakan negatif bagi yang tak mengenal kensbian perspesi alias lumpuh logika. Namun bila berusaha melihatnya secara komprehensif, perpindahan keyakinan berupa agama, mazhab, pandangan politik, paradigma atau lainnya menguak sebuah problema krusial segitiga filsafat, agama dan sains.

Perpindahan adalah perubahan. Dalam konteks keyakinan, perubahan bisa terjadi karena salah satu dari tiga hal; yaitu objek yang diyakini, subjek yang meyakini dan keyakinan itu sendiri. Dengan kata lain, yang bisa berubah adalah objek, subjek dan keyakinan objek yang diyakini, subjek yang meyakini adalah konsep keyakinan itu sendiri. Masing-masing memerlukan klarifikasi yang gamblang.

Konsep Keyakinan

Perubahan bisa diasumsikan terjadi pada konsep keyakinan. Dengan kata lain, keyakinan atau produk persepsi juga bisa mengalami perubahan kualitatif dari kenir-tahu-an (kebodohan) ke ke-tahu-an juga sebaliknya. Ini adalah persoalan pengetahuan.

Baca: Pengaruh Keyakinan yang Bersumber dari Ibadah

Bila subjek dari predikat “perubahan” adalah “keyakinan”, maka keyakinan bisa berubah seiring dengan perubahan perolehan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Dengan kata lain, perubahan secara primer adalah predikat bagi subjek “pengetahuan” dan secara sekunder bagi “keyakinan” karena keyakinan (dalam dunia logika, bukan dalam dogma) adalah pengetahuan.

Konsep keyakinan (dalam pengertian pengetahuan khusus tentang realitas abstrak dan transenden) dapat dibagi berdasarkan konten premis ke beberapa level sebagai berikut:
1. Kebertuhanan atau divinitas atau at-ta’alluh (meyakini adanya Tuhan);
2. Keberagamaan atau relijiusitas atau at-tadayyun (meyakin ajaran Tuhan sebagai agama);
3. Keberislaman (meyakini Islam sebagai ajaran Tuhan yang dibawa oleh Muhammad SAW);
4. Kebermazhaban, yaitu meyakini satu dari dua sumber otoritas yang sebagai representasi legal dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi; a) Kesyiahan (meyakini para imam dari Ahlulbait sebagai representasi ajaran Nabi Muhammad dengan prinsip kesucian (ishmah) mereka; b) kebersunnian (meyakini para sahabat sebagai representasi ajaran Nabi Muhammad SAW dengan prinsip keadilan (‘adalah) mereka.

Baca: Jangan Tanggalkan Pakaian Agama

Kebermazhaban, bila dipahami sebagai keputusan memilih sumber otoritatif setelah Nabi Muhammad SAW hanya terbatas pada dua peradaban Islam, yaitu mazhab Sunni alias teologi Ahlsunnah dan mazhab Syiah alias teologi Ahlulbait. Dengan kata lain, kebermazhaban dengan salah satu dari dua sumber tersebut bagi setiap penganut Islam adalah keniscayaan meski mungkin sebagian besar tak menyadarinya atau merasa tak bermazhab (karena hanya ingin menjadi Muslim) atau menganggap keduanya sebagai sekadar menu-menu opsional yang diambil secara eklektik (pilih-pilih) sebagai racikan sendiri.

Yang Diyakini

Perubahan terjadi karena objek diyakini ditentukan oleh salah satu dari dua fakta; material atau fisikal dan fakta immaterial atau metafisikal.

Fakta material adalah realitas komplek yang merupakan komponen potensi dan aktus berupa raga yang disebut materi (jism).

“Saya kemarin meyakini benda yang saya pegang ini adalah gelas. Hari ini saya meyakininya sebagai serpihan kaca (beling) adalah premis yang tidak salah bila a) sesuatu yang disebut gelas itu adalah sebuah entitas fisikal (memiliki ukuran, kedalaman dan sifat-sifat atomik lainnya) pada fakta objektifnya; b) gelas itu sejak semula berbahan kaca pada fakta objektifnya; c) esensi kegelasannya sirna karena mengalami transformasi atau perubahan bentuk akibat pecah pada fakta objektifnya.

Dengan kata lain; pernyataan kemarin berupa predikasi “adalah gelas” atas benda itu tidak bertentangan dengan pernyataan hari ini berupa predikasi “bukanlah gelas” atau “adalah serpihan kaca” atas benda itu tidaklah salah. Artinya, perubahan predikasi dalam contoh “gelas” secara saintifik justru valid.

Sains sebagai konsep yang disusun dari fakta material yang dinamis tidak akan menghadirkan fakta yang statis dan permanen kecuali bila diabstraksi ke bilangan tak berhingga (matematika) yang merupakan fakta-fakta abstrak. Namun bila matematika diperlakukan sebagai ilmu rasional murni dan dipisahkan dari sains, maka sains tidak punya dasar validitas sendiri.

Sains adalah premis-premis sains tidak permanen karena objeknya adalah fakta sensual dan terikat oleh “waktu” empiris nya. Upaya memberikan nilai valid dengan probilitas kalkulus atas pengetahuan saintifik hanya menghasilkan validitas general, bukan kebenaran universal yang permanen. Dengan kata lain, nilai-nilai general yang diperoleh sains, tak berpijak pada sains itu sendiri (karena itu paradoks siklus), tapi berpijak pada probabilitas kalkulus, yang tak lain adalah metematika sebagai aksioma non empiris.

Perlu diketahui, sains memerlukan dua postulat non saintifik yang abstrak, yaitu: a) matematika adalah pijakan sains; b) kebenaran saintifik adalah produk kebenaran matematik.

Sains tidak bisa menghasilkan premis-premis permanen (dulu disebut eksakta) karena objeknya hanya fakta-fakta dinamis kecuali bila diabstraksi dengan angka yang merupakan fakta abstrak yang tak berhingga.

Eksistensi, Tuhan, agama dan mazhab juga nilai-nilai kualitatif bukanlah realitas material yang dinamis namun statis. Karena statis, fakta objektifnya tak berubah. Karena tak berubah, citranya dalam benak pun tidak berubah.

Yang Meyakini

Bila subjek bagi predikat “perubahan” adalah jiwa seseorang yang memiliki keyakinan, maka predikat “perubahan” secara primer melekat bukan pada “keyakian” atau “objek yang diyakini”, melainkan predikat bagi subjeknya yang bernama “jiwa”.

Perubahan jiwa yang juga disebut fluktuasi hati adalah akibat akumulatif rendah atau tingginya kesadaran moral dan kualitas kejernihan batin. Perubahan jenis ini bisa terjadi pada siapa pun. Karena itu, kita selalu dianjurkan untuk meminta backup pengetahuan supra-rasional (hudhuri) guna memperkuat pengetahuan rasional (hushuli) “Ya Muqallibal qulub, tsabit qalbi ala dinika” (Wahai Pencipta hati yang selalu berubah karena ragam citra sensual dan konseptual berilah aku pengetahuan eksistensial tanpa citra agar lestari dan permanen).

Baca: Skeptisisme terhadap Keyakinan pada Imam Mahdi

Tak Punya Keyakinan

Perpindahan dari sebuah keyakinan ke keyakinan lain (tentang realitas abstrak) secara epistemologis bukanlah perubahan. Ia hanyalah bukti belum terbentuknya keyakinan sama sekali.

Klaim perpindahan keyakinan lebih mudah dimaklumi bila alasan menganut keyakinan sebelumnya adalah pengaruh bawah sadar ketokohan yang cenderung irrasional. Artinya, menganut sebuah keyakinan setelah menderita beragam risiko sebagai akibatnya lalu kembali lagi ke keyakinan sebelumnya bukanlah keputusan intelektual sebagai cermin kemandirian individu, tapi akibat romantisme dan primodialisme ikatan sentimentil yang berporos pada satu person atau lainnya. Justru kepulangannya ke keyakinan yang sempat ditinggalkannya bisa dipahami sebagai kesadaran akan ketergesa-gesaannya mengambil keputusan berganti keyakinan. Sekuat apapun keinginan seseorang memaksakan diri menganut sebuah keyakinan tanpa proses inteleksi dan beradaptasi dalam lingkungan pergaulan baru yang tak dibayangkan sebelumnya pada akhirnya mencapai titik jenuh.

Ringkasnya, relasi keyakinan dengan realitas yang diyakini dan subjek yang meyakini adalah niscaya mengikuti hukum kausalitas. Atas dasar itu, perpindahan atau perubahan, terutama di kalangan awam, bisa dimaklumi sebagai proses pencarian keyakinan atau indikator kegamangan karena beragam faktor yang bisa diasumsikan, bukan perubahan atau perpindahan secara harfiah.

Mencari cara benar menganut sebuah keyakinan (agama dan mazhab) lebih penting dari menganut atau wira wiri antar ajaran keyakinan.

Hormati Keyakinanmu

Kadang menyembunyikan keyakinan berarti menjaga hak orang lain yang tak sekeyakinan. Kadang tidak menyampaikan apa yang kita benar kepada orang lain berarti memberinya kenyamanan menikmati keyakinannya.

Kalau kamu sebarkan info seputar keunggulan keyakinanmu itu di kalangan sekeyakinanmu, itu adalah mubazir dan bisa membosankan.

Kalau kamu sebarkan info seputar keunggulan keyakinanmu itu di kalangan tak sekeyakinan denganmu, itu adalah agresi dan bisa menimbulkan konflik.

Berhentilah mencoba jadi influencer dengan mendaur ulang isu-isu lawas dan menshare atau mengirimkannya (mention atau tag banyak orang berulang kali) klaim-klaim kebenaran sepihak dan info-info sejarah yang bisa mengundang perdebatan.

Baca: Memelihara Agama

Sekeyakinan denganmu tak berarti mendukung caramu menjajakan keyakinan apalagi menjadikannya sebagai tantangan untuk debat dan polemik.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu motifmu bukan meneguhkan keyakinanmu sendiri yang sedang goyang atau menguji kekuatan keyakinanmu sendiri saat berpolemik.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu motifmu bukan ingin menikmati rasa uggul saat lawan debatmu terlihat tak mampu membantah argumenmu.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu motifmu bukan ingin membuat orang yang mungkin tertarik kepada keyakinan yang kamu sodorkan menjadi orang yang kamu kendalikan.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu motifmu bukan ingin dianggap sebagai narasumber representatif keyakinanmu di mata orang-orang sekeyakinan dan tak sekeyakinanmu.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu itu adalah tindakan sesuau taklif atau beban normatif yang dilpikulkan atasmu berdasarkan identifikasi subjek hukum sebagaimana diatur dalam fikih.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu itu tidak bertentangan dengan arahan pemegang otoritas yang mewakili pertimbangan kemaslahatan dan kemudaratan bagi umat dan komunitas.

Bila ingin menyebarkan keyakinanmu, pastikan dulu itu tidak melanggar hukum negara dan tidak bertentangan dengan kearifan lokal.

Bantulah rekan-rekan sekeyakinan yang telah menghadapi beragam tekanan dan intimidasi dengan tidak menambah beban sosial melalui pengulangan penyebaran isu dan tema yang bersumber dari teks riwayat atau sejarah yang bisa jadi tidak diterima oleh tak sekeyakinanmu, bahkan oleh sekeyakinanmu.

Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian

Hormatilah keyakinanmu dengan menghormati keyakinan orang lain. Silakan menikmati agamamu sebagai kebenaran. Silakan menikmati mazhabmu atau aliranmu sebagai kebenaran dalam agamamu seaya mengakui hak.selaimmu untuk meganggap keyakinannya sebagai kebenaran.

Risiko Menganut Keyakinan Baru

Yang sering diabaikan oleh banyak orang saat menentukan sebuah agama, mazhab dan ideologi sebagai ajutan pilihan adalah memahami konsekuensi prakris dan risiko sosial dalam aneka aspeknya. Bila tidak, penganut mengalami guncangan berat, terutama bila yang dianutnya adalah keyakinan yang dianut minoritas dan menjadi objek diskriminasi.

Banyak faktor yang menciptakan guncangan teologis. Antara lain sebagai berikut:

1. Menganutnya karena ikut-ikutan figur yang terlanjur diagungkan dan dianggap sebagai representasi kebenaran. Saat figurnya juga mengalami guncangan teologis karena miss-epistemik, para jelatanya pun “menari” bersamanya.
2. Menganutnya karena salah ekspektasi. Karena mengira akan mendapatkan posisi sosial yang diincarnya, ia pun guncang dan lompat. Fenomena ini kerap terjadi dalam kancah politik.
3. Menganutnya karena hubungan sosial atau kedekatan personal dalam interaksi bisnis atau ikatan kemitraan. Ketika hubungannya memburuk atau putus, keyakinan atau ideologi yang dipilih karena kepercayaan dan kekaguman kepada mitranya pun putus.
4. Menganutnya karena beratnya tekanan dan kegagalan dalam beradaptasi dengan lingkungan keyakinan atau ideologi yang mengakibatkan kecanggungan dan miskomunikasi. Ketika adaptasi gagal, semangat dan antusiasme teologis dan ideologisnya pun menguap.
5. Menganutnya karena tertolak oleh komunitas keyakinan atau ideologi sebelumnya karena divonis cacat moral akibat perilaku buruk atau fitnah yang menimpanya sehingga mendorongnya mencoba memasuki atmosfer baru dalam sebuah komunitas dengan keyakinan baru. Ketika mengalami penolakan dari komunitas keyakinan yang baru dianutnya, karena perilaku buruknya diketahui, dia hengkang.
6. Menganutnya karena mengira keyakinan yang baru dianutnya akan direspon oleh komunitas dengan jaminan sosial dan finansial sebagai ganti rugi atau semacan garansi atas keputusannya bergabung di dalamnya..
7. Menganutnya karena mengira keyakinan yang baru dianutnya tak menuntutnya berpikir serius (hanya cukup menyatakan diri sebagai penganut) dan bertanggungjawab atas kehidupan sosialnya sendiri. Ketika sadar ketakmampuan menjadi penganut sesuai standar baku dalam keyaninan baru, dia mengalami turbulensi dan mulai menunjukkan perubahan pandangan dan sikap dalam celoteh-celoteh.
8. Menganutnya karena pendekatan emosional dan historikal tanpa memulainya dari konsep kewenangan yang meniscayakan kepatuhan hierarkis dalam sikap dan tindakan. Ketika tak sanggup mengubur egonya menghadapi konsekuensi berat itu, ia pun mencari pembenaran apologetik melalui pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan penolakan teologis.

Bila keguncangan teologis dialami oleh seseorang yang dikenal bahkan mungkin orang yang memperkenalkan keyakinan itu kepadanya, mungkin situasi itu menularinya. Itulah mengapa perlu menjadikan akal sehat dengan logika dijadikan sebagai juri dalam menganut keyakinan dalam teologi, ideologo dan visi.


No comments

LEAVE A COMMENT