Sebelum melangkah memasuki lembaga perkawinan, kita akan dihadapkan pada berbagai pertanyaan. Berkaitan dengan pasangan hidup pertanyaan yang muncul biasanya meliputi: ‘Dengan siapa saya akan menikah? Dapatkah saya menikah dengan siapa saja yang dikehendaki? Jawaban pertanyaan ini akan sampai pada kesimpulan ternyata tidak ada kebebasan mutlak dalam memilih pasangan hidup. Setiap masyarakat memiliki berbagai kesepakatan tentang batasan memilih pasangan, baik secara tersurat maupun tersirat. Pada sebagian masyarakat seseorang hanya boleh menikah dengan kelompoknya saja atau kelompok tertentu. Secara umum masyarakat tidak menerima laki-laki dari kelas bawah menikah dengan perempuan dari kalangan atas. Namun pada beberapa kondisi tertentu hal ini dapat terjadi dan diterima oleh masyarakat.
Tulisan ini akan membahas beberapa prinsip penting yang berkaitan dengan pemilihan pasangan. Prinsip tersebut mengacu pada serangkaian aturan kelompok mana saja yang dapat dijadikan pasangan. Atau sebaliknya orang seperti apa yang tidak dianjurkan untuk dipilih sebagai pasangan. Beberapa prinsip tersebut berlaku universal tanpa memandang waktu dan tempat. Sebagiannya lagi hanya dapat diterapkan pada masyarakat tertentu dan masa yang khusus pula.
1. Dengan siapa seseorang tidak boleh menikah?
Hubungan suami istri antara kerabat dekat atau sedarah (incest) merupakan hal yang terlarang pada sebagaian besar budaya dan masyarakat. Rentang dan cakupan larangan tersebut tidak sama pada setiap masyarakat. Namun perkawinan ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya dan saudara laki-laki dengan saudara perempuannya dilarang pada sebagain besar budaya. Semakin dekat pertalian darah, kemungkinan terjadinya perkawinan akan semakin kecil.
Larangan menikah tidak hanya terbatas pada kekerabatan atas dasar orang tua dan kakek yang sama. Persaudaraan laki-laki dan perempuan yang didasari satu ibu susu juga diliputi larangan tersebut. Islam melarang pernikahan dengan ibu susu, putri ibu susu, paman dan bibi sang ibu susu baik dari pihak ayah maupun pihak ibunya. Pernikahan juga dapat menjadi terlarang disebabkan satu hal misalnya perkawinan. Ketika dua orang menjalin kekerabatan melalui jalan pernikahan, ibu mertua tidak boleh menikah dengan menantu laki-laki. Sebagaimana ayah mertua tidak boleh menikah dengan menantu perempuan.
Terdapat perbedaan larangan pernikahan yang disebabkan pertalian darah pada agama-agama besar seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Dari tiga agama tersebut, Yahudi memiliki batasan terkecil berkaitan dengan larangan pernikahan sedarah. Sedangkan larangan pernikahan atas dasar kekerabatan pada agama Kristen paling luas cakupannya. Agama Yahudi hanya melarang pernikahan dengan saudara laki-laki, saudara perempuan, orang tua, anak dan cucu. Dalam Islam selain hal telah yang disebutkan, pernikahan dengan paman dan bibi baik dari pihak ayah dan ibu juga dilarang. Ajaran Kristen tidak hanya melarang pernikahan yang diharamkan dalam Islam. Lebih dari itu, pernikahan dengan anak dari mereka yang telah disebutkan juga tidak diperbolehkan.
Dalam ajaran Islam, seorang laki-laki tidak dapat menikahi 3 golongan perempuan berikut:
a. Wanita yang memiliki hubungan kedekatan secara garis keturunan dengan dirinya seperti: ibu, nenek, anak perempuan dan keturunannya, adik perempuan ayah dan adik perempuan ibu.
b. Wanita yang memiliki kekerabatan melalui jalan ibu susu dengan dirinya seperti: ibu susu, saudara perempuan satu persusuan dan seterusnya.
c. Ibu mertua dan menantu perempuan. Saudara perempuan istri juga tidak diperbolehkan untuk dinikahi selama masih ada ikatan perkawinan dengan saudaranya. Namun dapat dinikahi jika telah bercerai dengan saudaranya (setelah melewati masa iddah) atau istrinya meninggal dunia.
2. Menikah dengan satu golongan atau golongan yang lain?
Pada zaman dahulu, kemungkinan seluruh anggota kabilah diangap satu keluarga layaknya saudara kandung. Prinsip larangan menikah atas dasar pertalian darah berlaku umum bagi seluruh anggota kelompok. Karena itu, mereka harus pergi mencari pasangan hidupnya pada suku atau kabilah lain. Dalam istilah sosiologi dan humaniora bentuk perkawinan seperti ini disebut dengan exogamy.
Sebagaimana ikatan kuat yang terjadi atas perkawinan antar kelompok, hal ini dapat terwujud dalam perkawinan internal golongan (endogamy). Seseorang hanya diperbolehkan mencari dan memilih pasangan yang sama dengan kelompoknya sendiri. Selain pola kekerabatan dan kelas sosial, faktor agama menjadi sangat penting dalam pemilihan pasangan pada endogamy. Setiap agama membuat batasan bagi pengikutnya ketika menjalin relasi dengan pengikut agama lain. Hal ini didasarkan pada pernyataan setiap agama yang membatasi kebenaran pada dirinya. Di sisi lain agama memperkuat hubungan internal penganut agama yang sama.
Perkawinan merupakan ikatan yang paling dekat dan menimbulkan keakraban antara dua orang. Agama memberi perhatian besar terhadap perkawinan. Karena ikatan yang demikian dekat pengikutnya dengan pengikut agama lain dapat menjadi ancaman keberagamaan mereka dan keturunannya. Sebagai contoh, al-Quran dalam surah al-Baqarah ayat 221 melarang pernikahan mukmin dengan orang musyrik: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik dengan perempuan yang beriman sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak kamu ke neraka, sedangkan Allah mengajak kamu ke surga dan kepada ampunan dengan izin-Nya”.
Selain melarang muslim menikah dengan musyrik, berdasarkan ayat tersebut di atas sebagian besar ulama Syiah tidak membolehkan pernikahan lainnya. Seperti pernikahan muslim dengan orang yang beragama lain dan pengikut mazhab Syiah dengan pembenci Ahlul Bait Nabi salallahu alaihi wa alihi. Meskipun terdapat pengecualian larangan ini pada keadaan darurat dan hanya dibolehkan pada pernikahan tammatu’(Wasail as-Syiah jil. 14: 410-435). Dalam salah satu riwayat, secara khusus disebutkan kekhawatiran agama keturunan mereka menjadi alasan larangan pernikahan muslim dengan non-muslim. Penekanan ajaran Islam atas pernikahan seagama kemungkinan besar sebagai antisipasi pertentangan yang biasanya terjadi atas pernikahan beda agama.
(Sumber: Buku Islam wa Jameehsyenasi Khanewadeh)