Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Refleksi Doa di Hari Arafah

Pada hari ke-9 bulan Zulhijah, tanah suci Arafah adalah tanah suci doa. Doa adalah satu-satunya hal yang Allah berikan kepada manusia. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata, “Hamba tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya doa”. Ya, manusia tidak memiliki apa-apa selain doa. Manusia bukan pemilik harta, bahkan bukan pemiliki anggota tubuhnya sendiri.

Al-Quran al-Karim menyebutkan: “Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan…” (QS. Yunus: 31)

Maksudnya, pemilik mata dan telinga adalah Allah. Anggota tubuh kita adalah amanat Allah. Karena kita telah berbaiat kepada Allah, maka kita telah menjual jiwa, anggota tubuh, dan hati kita kepada Allah. Apabila Allah memandang tidak maslahat, maka Dia tidak akan memberikan kesempatan menutup mata kepada manusia. Jadi, mata dan telinga kita adalah milik Allah. Hanya penampakan kelemahan di hadapan Allah sajalah yang merupakan milik kita. Kita tidak memiliki apa-apa selain ketundukan di hadapan-Nya.

Baca: Infografis: Amalan Khusus Hari Arafah

Di hadapan musuh dalam diri (internal), kita tidak memiliki senjata apapun kecuali ratapan. Di hadapan musuh di luar diri, kita bisa lawan dengan senjata ringan atau berat. Namun, untuk musuh di dalam diri, kita tidak bisa melumpuhkannya dengan senapan atau tank. Musuh paling berat dalam diri manusia hanya bisa dikalahkan dengan tangisan.

Orang yang tidak bisa meratap (lantaran dosa-dosa), sebenarnya tidak memiliki senjata. Dan bila tidak bersenjata, ia tidak mungkin menang. Apa yang diucapkan oleh Amirul Mukminin a.s dalam doanya adalah, “Dan senjatanya adalah tangisan”.

Apabila seseorang terjatuh (dalam kesesatan), Allah Swt akan menggandeng tangannya. Namun, ketika manusia melawan Allah, ia hanya akan melihat dirinya sendiri dan tidak melihat Allah. Lantaran tidak melihat Allah, ia tidak mungkin akan meratap. Bila tidak meratap, ia akan dipecundangi musuh dan setan, baik dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Baca: Makna Penyempurnaan Karunia Allah dalam Doa Arafah

Ya, setiap kali manusia tidak melihat dirinya dan (hanya) melihat Allah, ia akan memahami kondisi dirinya dan meyakini keagungan Allah. Atau, ia akan merasa takut terhadap siksa-Nya atau menangis penuh rindu lantaran merasa bahwa dirinya belum mencapai surga-Nya.

Pelajaran dari Doa Arafah

Dalam doa Arafah, Imam Husain bin Ali a.s. berkata, “Ya Allah! Dalam Al-Quran Engkau (telah) berfirman bahwa seluruh alam semesta adalah tanda-tanda keesaan-Mu. Di antara tanda-tanda kebesaran-Mu terdapat tanda-tanda di segenap penjuru dan pada diri manusia sendiri. Ya Allah, jika Engkau palingkan kami dari (melihat) tanda-tanda kebesaran-Mu, maka perjalanan kami akan menjadi panjang. Apabila aku ingin sampai pada pemilik tanda-tanda kebesaran (itu) melalui tanda-tanda (juga), maka (itu) akan memakan waktu yang panjang. Tunjukkanlah diri-Mu kepadaku. Tanda-tanda itu tidak memiliki kemampuan untuk itu, di mana mereka menuntunku kepada-Mu secara sempurna, meskipun tanda-tanda itu berbentuk tanah suci Mekah, Arafah, dan Masy’ar.

Padahal, Engkau berfirman: ‘Di dalamnya terdapat tanda-tanda kebesaran yang menjelaskan’. Semua itu tidak memiliki penampakan, sehingga menunjukkan keberadaan-Mu. Apakah selain diri-Mu memiliki penampakan, hingga ia menjadi sesuatu yang menampakkan keberadaan-Mu? Ya Allah, Engkau adalah cahaya langit dan bumi, Engkau lebih dekat kepadaku daripada tanda-tanda itu. Engkau lebih nyata dari tanda-tanda kebesaran-Mu, mengapa Engkau kembalikan aku pada tanda-tanda itu? Kapankah Engkau menjadi tersembunyi, sehingga (aku) membutuhkan bukti untuk mengetahui keberadaan-Mu?

Bukti dibutuhkan untuk mengetahui sesuatu yang tersembunyi, sementara Engkau tidak pernah tersembunyi. Engkau tidak membutuhkan tanda atau bukti agar aku bisa mengenal keberadaan-Mu. Bukankah Engkau pernah berfirman:’ Dan apakah tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Tuhanmu menyaksikan  segala  sesuatu’. Ya Allah, tunjukkanlah diri-Mu sehingga aku mampu melihat-Mu tanpa melalui perantara.”

Benar, masalah ini tidak hanya khusus bagi para imam suci. Setiap manusia memiliki jalan tertentu. Antara manusia dengan Tuhannya tidak ada jarak pemisah. Hanya saja, jalannya yang berbeda-beda. Sebagian jalan sangat luas dan terang dan sebagian lagi samar-samar. Jadi, terdapat ikatan khusus antara manusia dengan Allah, di mana, di jalan tersebut, tidak ada yang menembus dan bergabung selain Allah.

Baca: Amalan-amalan Khusus Hari Arafah

Amirul Mukminin Ali a.s. dalam doa Kumayl, menyatakan, “Ya Allah, Engkau tidak memberikan izin kepada para malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan kami untuk mengetahui dan menuliskan sebagian di antara dosa-dosa kami. Dan Engkau menjadi saksi atas apa yang tersembunyi dari para malaikat dan dengan rahmat-Mu Engkau menyembunyikannya.”

Benar, Allah Swt tidak memberikan izin kepada para malaikat untuk mengetahui rahasia antara kita dengan Allah, padahal mereka diperintahkan untuk mencatat pikiran-pikiran, akidah, akhlak, dan amal perbuatan kita. Allah Swt, secara langsung, mengawasi beberapa amal perbuatan kita dan tidak memberikan izin kepada para malaikat untuk memahaminya, sehingga kita tidak merasa malu di hadapan para malaikat. Jadi, jelas sekali bahwa antara setiap manusia dengan Tuhannya terdapat sebuah hubungan khusus.

*Disadur dari buku Hikmah dan Makna Haji karya Ayatullah Jawadi Amuli

No comments

LEAVE A COMMENT