Sayidah Fathimah a.s. memiliki seorang ibunda (Khadijah binti Khuwailid) yang berasal dari keluarga bangsawan, yang mempunyai kedudukan dan kemuliaan di kalangan Quraisy. Mereka terkenal dengan ilmunya, para ulamanya, pengorbanannya,
Ketika Rasulullah ingin menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Abu Thalib datang menghadap bersama keluarganya dan seorang dari kabilah Quraisy ke tempat Waraqah bin Naufal, paman Khadijah. Abu Thalib pun berbicara, “Segala puji bagi Tuhan rumah ini, yang telah menjadikan kita anak cucu Ibrahim dan keturunan Ismail, memberikan Tanah Haram yang aman kepada kita, menjadikan kita penguasa terhadap manusia, dan memberikan keberkahan kepada kita di negeri ini. Selanjutnya, sesungguhnya anak saudaraku ini -Muhammad Saw- adalah orang yang jika dibandingkan dengan pria-pria Quraisy lainnya, niscaya ia mengunggulinya. Tidak ada satu makhluk pun yang menandinginya sekalipun hartanya sedikit, karena harta adalah pemberian yang akan berlalu dan bayangan yang akan hilang. Ia senang terhadap Khadijah. Kami datang kepadamu untuk meminangnya dengan kerelaan dan perintah dari Khadijah sendiri. Maharnya adalah tanggunganku dari hartaku menurut yang kalian minta, cepat atau lambat. Demi Tuhan, anak ini mempunyai masa depan yang agung, agama yang akan tersebar luas, dan pikiran yang sempurna.”
Kemudian Abu Thalib diam. Paman Khadijah menjawab dengan gagap, tidak mampu menjawab kata-kata Abu Thalib, padahal ia seorang yang alim. Maka Khadijah pun memotong, “Wahai Paman, engkau lebih utama dari padaku dalam hal memberikan kesaksian, tetapi engkau tidak lebih utama dari padaku mengenai masalah diriku sendiri. Aku nikahkan diriku denganmu, wahai Muhammad, dan maharnya adalah tanggunganku sendiri. Maka suruhlah pamanmu untuk menyembelih seekor unta dan buatlah walimah dengan itu.”
Baca: DIA FATIMAH
Ketika Abu Thalib selesai membacakan khotbahnya yang terkenal dan akad nikah telah dilaksanakan, Muhammad Saw berdiri untuk pergi bersama Abu Thalib. Maka berkatalah Khadijah, “Hendak ke rumahmu? Rumahku ini adalah rumahmu dan aku adalah sahayamu.”
Demikianlah Rasulullah Saw menikah. Pernikahan tersebut merupakan faktor yang penting dalam kehidupannya, karena dari satu sisi ia sebelumnya adalah seorang yang fakir dan dari sisi lain ia tinggal seorang diri dan tidak mempunyai keluarga. Maka, dengan pernikahan yang diberkahi itu, hilanglah kefakiran dan kemiskinannya. Nabi juga mendapatkan seseorang yang dapat menemaninya dalam kesedihan, dapat diajak bermusyawarah dalam urusannya, dan dapat saling berbagi dalam pahit dan manisnya kehidupan.
Muhammad Saw dengan Khadijah telah bersatu. Telah berdiri sebuah mahligai rumah tangga, telah dibangun sebuah rumah yang dipenuhi oleh perasaan cinta, kebahagiaan, kasih sayang, kehangatan keluarga, dan saling pengertian. Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada dakwah Rasulullah yang mulia. Ia kerahkan semua kemampuannya untuk tujuan-tujuan Rasulullah yang suci. Ia berikan kekayaannya kepada beliau seraya mengatakan, “Semua yang aku miliki kuserahkan kepadamu dan kini berada di bawah kekuasaanmu. Gunakanlah sesukamu dalam rangka meninggikan kalimat Allah dan menyebarluaskan agama-Nya.”
Hisyam mengatakan, “Rasulullah sangat mencintai Khadijah, menghormatinya, dan bermusyawarah dengannya dalam semua urusannya. Ia adalah seorang yang jujur dan wanita pertama yang beriman kepadanya. Tak pernah Rasulullah menikah dengan wanita lain di saat Khadijah masih hidup.”
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan Aisyah berkata, “Tidak pernah aku merasa cemburu kepada seorang pun dari istri-istri Rasulullah seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah sering kali menyebut-nyebutnya. Jika ia memotong seekor kambing, ia potong-potong dagingnya, dan mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Maka, aku pun berkata kepadanya, ‘Sepertinya tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah…’ Maka berkatalah Rasulullah, ‘Ya, begitulah ia, dan darinyalah aku mendapat anak.’”
Rasulullah saw mencintai Khadijah dari lubuk hatinya yang terdalam dan sangat menghormatinya. Khadijah pun membalas cinta dengan cinta, kesetiaan dengan kesetiaan, dan pengorbanan dengan pengorbanan. Ia beriman kepadanya, kepada dakwahnya, kepada tujuan-tujuannya yang suci, dan mencurahkan keseluruhan dirinya untuk itu. Khadijah berkata kepada beliau dengan kerendahan hati dan ketundukan. Ia selalu membantu Rasulullah dalam urusan-urusannya. Dengan itulah Allah meringankan kesulitan Rasulullah Saw. Tidak pernah beliau mendengar sesuatu yang ia benci, baik penolakan terhadapnya atau perbuatan orang yang mendustakannya yang membuatnya sedih, melainkan Allah lapangkan hal itu dari dirinya dengan sebab Khadijah. Jika beliau pulang ke rumah, Khadijah meneguhkan hatinya, menenangkannya, dan mendorongnya untuk menganggap ringan urusan orang-orang.
Ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk di pinggir sungai, tiba-tiba turun malaikat Jibril seraya memanggilnya, “Wahai Muhammad, Allah Yang Mahatinggi mengucapkan salam untukmu, dan Dia menyuruhmu untuk memisahkan diri dari Khadijah selama 40 hari.”
Rasulullah mengutus Ammar bin Yasir ke tempat Khadijah dan berpesan, “Katakanlah kepada Khadijah, ‘Wahai Khadijah, kamu jangan menyangka aku memisahkan diri dari dirimu karena ingin pindah atau karena benci. Tetapi Tuhanku menyuruhku melakukannya agar urusan-Nya dapat terlaksana. Kamu jangan menyangka selain yang baik. Sesungguhnya Allah Taala membanggakanmu di hadapan para malaikat-Nya setiap hari berkali-kali. Jika malam telah gelap, tutuplah pintu dan tidurlah di tempat tidurmu. Saya berada di rumah Fatimah binti Asad.’”
Nabi menjalankan masa 40 hari dengan berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari. Khadijah berkali-kali merasa sedih setiap hari karena kehilangan Rasulullah Saw. Ketika telah selesai masa 40 hari, malaikat Jibril turun dan berkata, “Wahai Muhammad, Allah Yang Mahatinggi mengucapkan salam untukmu dan Dia menyuruhmu untuk bersiap siap menerima penghormatan-Nya dan persembahan-Nya.”
Nabi Saw bertanya, “Wahai Jibril, apa persembahan dari Tuhan semesta alam ini? Dan apa pula penghormatan-Nya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Jibril.
Sesaat kemudian, turunlah Malaikat Mikail datang membawa sebuah mangkok yang ditutupi sapu tangan dari sutera dan meletakkannya di hadapan Nabi dan menghadap Jibril, Mikail mengatakan, “Wahai Muhammad, Tuhanmu menyuruhmu agar kamu berbuka dengan makanan ini pada malam ini.”
Nabi pun makan dari makanan itu sampai kenyang dan minum sampai puas. Kemudian Nabi bangkit untuk salat. Tiba-tiba Jibril menghampirinya dan berkata, “Salat (yaitu salat sunah) diharamkan atasmu sampai engkau datang ke rumah Khadijah, karena sesungguhnya Allah Taala menginginkan untuk menciptakan dari sulbimu keturunan yang baik pada malam ini.” Maka, bergegaslah Rasulullah Saw ke tempat Khadijah.
Baca: Siti Fatimah Zahra as : Hababah dan Sayyidah
Khadijah bercerita, “Aku telah menjadi terbiasa seorang diri. Jika malam telah gelap, aku tutup kepalaku, aku turunkan tiraiku, aku tutup pintu, dan aku melaksanakan salat seorang diri. Lalu aku matikan lampu dan pergi tidur. Di malam itu, aku tidak tidur dan juga tidak terbangun. Tiba-tiba datang Nabi. Ia mengetuk pintu. Aku bertanya, ‘Siapa yang mengetuk tempat yang tidak pernah diketuk selain oleh Muhammad?’ Nabi menyahut dengan perkataan yang manis, ‘Bukalah Khadijah, aku Muhammad.’ Aku pun membuka pintu, dan Nabi masuk ke dalam rumah. Demi Allah yang meninggikan langit dan mengeluarkan air, Nabi tidak pernah jauh dariku sampai aku merasa berat dengan Fathimah yang ada dalam perutku.”
*Disarikan dari buku Biografi Fathimah Zahra, Wanita Teladan Sepanjang Masa – Ayatullah Ibrahim Amini