Kedua: Posisi Muawiyah
Di masa itu, masyarakat, khususnya penduduk Syam, memiliki pendapat positif tentang Muawiyah. Wajar jika hal ini akan menempatkan para penentangnya dalam posisi sulit, karena ia dianggap sebagai seorang sahabat Nabi saw, ipar beliau, dan penulis wahyu. Di mata mereka, Muawiyah adalah orang yang berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan sekitar Syam, khususnya Damaskus.
Selain itu, Muawiyah selalu menonjolkan sisi pengalaman politik dan usianya yang lebih tua dari Imam Hasan dan Husain as. Dalam salah satu suratnya, ia menganggap dua faktor ini sebagai bagian dari sisi kelayakannya menjadi khalifah . Wajar bila ia akan menggunakan keduanya sebagai senjata untuk mengelabui umat sewaktu-waktu ia bertikai dengan Imam Husain as.
Tiga: Politik Muawiyah
Setelah kesepakatan perdamaian dibuat, Muawiyah memanfaatkan setiap peluang untuk memukul Bani Hasyim-khususnya keluarga Ali as-bahkan ia sampai berani meracuni Imam Hasan as . Tentu ia melakukannya sedemikian rupa, sehingga seolah bukan dia yang menjadi aktor intelektual kejahatan-kejahatan itu. Misalnya, ia ‘meminjam’ tangan Ja’dah dalam meracuni Imam Hasan dan menyatakan tidak tahu menahu soal pembunuhan ini. Oleh karena itu, secara lahiriah, sebisa mungkin ia menampakkan penghormatannya kepada mereka, terkhusus Imam Husain as. Salah satu bentuknya berupa hadiah-hadiah bulanan atau tahunan yang dikirimkan Muawiyah kepada pribadi-pribadi seperti Imam Hasan as, Imam Husain as dan Abdullah bin Jafar. Dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki hak di Baitul Mal dan juga memiliki alasan untuk menggunakan hadiah-hadiah itu, maka mereka menerima kiriman hadiah-hadiah itu.
Tradisi “penghormatan” ini tetap dipelihara oleh Muawiyah, bahkan menjelang kematiannya, ia berwasiat kepada Yazid untuk tidak membunuh Imam Husain as.
Sebab politik ini sangat jelas, karena dengan kesepakatan damainya, Muawiyah menyelamatkan pemerintahannya dari krisis legalitas dan bisa mengenalkan dirinya kepada masyarakat sebagai khalifah yang sah. Ia tidak ingin citranya ternoda di mata masyarakat karena telah mengotori tangannya dengan darah cucu Nabi saw. Sebaliknya, ia berusaha menampakkan kedekatan dirinya dengan keluarga Nabi saw sehingga ia dapat menjaga citranya.
Menurut pikirannya, dengan cara ini, ia bisa meredam kemungkinan pemberontakan keluarga Nabi saw. Suatu kali, setelah ia memberi hadiah besar kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as, demi menunjukkan jasanya, ia berkata,”Ambillah harta ini dan ketahuilah bahwa aku adalah putra Hindun. Demi Allah, sebelumku dan setelahku, tidak akan ada orang yang memberi kalian hadiah semacam ini.”
Demi menunjukkan bahwa hadiah-hadiah itu tidak membuat Ahlulbait berhutang budi, Imam Husain as menjawab,”Demi Allah, tidak ada orang sebelummu atau sesudahmu yang bisa memberikan hadiah seperti ini kepada dua orang yang lebih mulia dan agung dari kami berdua.”
Dari sisi lain, Muawiyah tahu bahwa politik dengan kekerasan akan memberikan hasil yang tidak diinginkan, karena masyarakat akan bersimpati kepada Ahlulbait as dan dalam jangka panjang, akan menyebabkan keruntuhan kekuasaannya. Lebih penting dari itu, di zaman itu, Muawiyah tidak merasakan bahaya serius dari Imam Husain as dan dengan cara ini, ia berupaya mencabut akar-akar bahaya bagi pemerintahannya.
Di lain pihak, Imam Husain as selalu berusaha mempertanyakan keabsahan kekuasaan Muawiyah di setiap kesempatan. Contoh nyatanya adalah surat beliau kepada Muawiyah yang menyebutkan kejahatan dan bidah-bidahnya serta penentangan beliau terhadap kedudukan Yazid sebagai putra mahkota. Tentu Imam as juga mengetahui bahwa bila ia bangkit melawan Muawiyah, dengan melihat opini umum di waktu itu, ia tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat dan dengan sarana-sarana propaganda penguasa, mereka akan berada di pihak Muawiyah.
Empat: Kondisi Zaman
Meski sebagian orang-orang Kufah menulis surat kepada Imam Husain as segera setelah Imam Hasan as wafat dan menyatakan kesiapan mereka mendukung beliau, namun dengan melihat faktor-faktor seperti kekuatan pemerintah pusat di Syam, kekuasaan antek Bani Umayah di Kufah, latar belakang penduduk Kufah yang tidak setia terhadap ayah dan saudara beliau, dan citra ‘baik’ Muawiyah di kebanyakan kawasan Islam, Imam Husain as tahu bahwa revolusi yang dilakukannya hanya akan sia-sia. Tiada hasil yang diperoleh kecuali tertumpahnya banyak darah, citra beliau sebagai pembelot, dan kekalahan dirinya sendiri.
Sedangkan ketika beliau melakukan revolusi di zaman Yazid, situasi waktu itu sangat berbeda dan bertolak belakang dengan zaman Muawiyah. (BT)
* Referensi: Porseshha va Pasokhha (vizheye Moharram)