Telah disinggung sebelumnya bahwa ada dua hikmah yang dapat dipetik dari keadaan menangis karena takut kepada Allah SWT, atau karena sesuatu yang telah hilang, dan berbagai faktor lain yang menyebabkan seseorang menangis karena Allah SWT. (Baca sebelumnya: Sedih Karena Allah – 3)
Dua hikmah yang sangat penting ini ialah sebagai berikut;
Pertama, keadaan menangis karena Allah SWT merupakan salah satu keadaan yang di mana seseorang secara emosional berada dalam posisi paling dekat dan komunikatif denganNya.
Kedua, kondisi demikian merupakan momentum untuk tarbiyah, tazkiyah dan pengembangan jiwa di mana seseorang dapat menekan dirinya semaksimal mungkin untuk meninggalkan segala perbuatan dan sifat yang tercela, atau berkomitmen pada perbuatan dan sifat yang terpuji. Ini merupakan momen kejernihan dan keterbukaan diri di depan alam keagungan sehingga lebih mudah menerima tekanan demikian, sedangkan di momen-momen lain tak semudah itu diri menyerah kepadanya. (Baca: Imam Ali Khamenei: Jangan Pernah Gentar Hadapi Tantangan Hidup)
Mewaspadai Jebakan
Betapapun demikian, menangis sedemikian rupa juga berpotensi menyebabkan seseorang terjebak pada hal-hal negatif yang jika terjadi maka sebabnya tak lain adalah lemahnya diri orang tersebut. Sebab, menangis karena Allah SWT pada prinsipnya harus mendorong seseorang kepada kebaikan, bukan sebaliknya. Hal-hal negatif yang patut diantisipasi ini ialah sebagai berikut;
Pertama, “ujub” atau rasa takjub kepada diri, atau merasa hebat. Perasaan demikian bisa muncul pada semua bentuk ibadah dan kepatuhan kepada agama, termasuk menangis karena Allah SWT, padahal ujub tergolong dosa besar. Jiwa yang lemah tentu rawan terkena penyakit ini segera setelah dia beribadah sehingga harus benar-benar diwaspadai. (Baca: Ingin Masuk Surga, Hindari Sifat Sombong)
Cara mewaspadai dan mengendalikan kelemahan ini ialah dengan mengingatkan diri tepat di saat ia sedang menjalani proses kesempurnaan bahwa setinggi apapun jenjang yang sudah dicapainya kekurangan tetap saja membayangi diri. Diri juga harus ingat bahwa apa yang telah dicapai adalah berkat anugerah, rahmat serta daya dan kekuatan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya;
وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنكُم مِّنْ أَحَد أَبَداً…
“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih selama-lamanya,…”[1]
Imam Abu Ja’far al-Baqir as berkata;
قال رسول الله) : (صقال الله عزّ وجلّ: لا يتّكل العاملون على أعمالهم التي يعملون بها لثوابي فإنّهم لو اجتهدوا وأتعبوا أنفسهم أعمارهم(2) في عبادتي كانوا مقصّرين غير بالغين في عبادتهم كنه عبادتي فيما يطلبون من كرامتي والنعيم في جنّاتي ورفيع الدرجات العلى في جواري ولكن برحمتي فليثقوا وفضلي فليرجوا وإلى حسن الظنّ بي فليطمئنّوا فإن رحمتي عند ذلك تدركهم وبمنّي أُبلّغهم رضواني وألبسهم عفوي فإنّي أنا الله الرحمن الرحيم بذلك تسمّيت
“Rasulullah saw bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman; ‘Orang-orang yang beramal bukanlah mengandalkan amal perbuatan yang mereka lakukan demi pahala (dari)-Ku, karena kalaupun mereka bersusah payah, meletihkan diri dan (menghabiskan) usianya dalam beribadah kepadaKu maka yang terbaik di antara mereka masihlah berkekurangan dalam beribadah yang layak kepadaKu berkenaan dengan apa yang mereka minta berupa kemurahanKu, kenikmatan dalam surgaKu, jenjang-jenjang tertinggi di sisiKu, melainkan mereka hendaklah yakin kepada kasih sayangKu, berharap kepada anugerahKu, dan percaya akan prasangka baik kepadaKu. Ketika itulah kasih sayangKu akan menjangkau mereka, dan dengan anugeraKu Aku akan menyampaikan mereka ke surga Ridhwan-Ku, dan aku kenakan pada mereka gaun maafKu. Sesunggunya dengan itulah Aku Allah menamakan DiriKu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.’”[2]
Al-Fadhl bin Yunus meriwayatkan bahwa Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim as berkata;
اللّهمّ لا تجعلني من المعارين ولا تخرجني من التقصير.
“Perbanyaklah berkata:’Ya Allah, janganlah Engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dipinjami (agama/keimanan), dan jangan Engkau keluarkan aku dari kekurangan.’”
Al-Fadhl berkata, “Saya mengerti mengenai orang-orang yang dipinjami, yakni seseorang dipinjami agama lalu dia keluar darinya. Lantas apa arti ‘Jangan keluarkan aku dari kekurangan.’ (Baca: Munajat Orang Yang Berkekurangan)
Imam al-Kazhim as. menjawab;
كلّ عمل تريد به الله عزّ وجلّ فكن فيه مقصّراً عند نفسك، فإنّ الناس كلّهم في أعمالهم فيما بينهم وبين الله مقصّرون، إلاّ من عصمه الله عزّ وجلّ.
“Dalam segala amalan yang kamu niatkan untuk Allah Azza wa Jalla hendaklah kamu merasa ada kekurangan dalam diriMu, karena semua orang pasti berkekurangan dalam amal perbuatan mereka antara mereka dan Allah, kecuali orang yang dijaga oleh Allah Azza wa Jalla.”[3]
(Bersambung)
[1] QS. Al-Nur [24]: 21.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 71, hal. 228.
[3] Ibid, hal. 233.
Baca: “Sedih Karena Allah (5/Selesai)“