“Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu mungkin ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau ia ingin mendapatkan pelajaran, sehingga pelajaran itu memberi manfaat kepadanya (orang buta)? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya? Padahal tiada (celaan) atasmu jika dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang ia takut (kepada Allah dalam hatinya) maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah satu peringatan.” (QS. Abasa: 1-11)
Sebab turunnya surah ini merupakan peristiwa sejarah yang terjadi. Suatu ketika Nabi Muhammad Saw tengah bersama sejumlah orang kaya Quraisy dari suku Umayah, di antaranya adalah Utsman bin Affan. Ketika Rasulullah tengah mengajari mereka, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad datang kepadanya. Nabi Muhammad pun menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya.
Namun bagaimanapun, Nabi tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy. Karena Abdullah miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayah bermuka masam dan berpaling kepadanya.
Baca: Ciri dan Karakter Khas Rasulullah Saw
Perbuatan pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah Swt dan pada gilirannya Allah Swt menurunkan Surah Abasa melalui malaikat Jibril di waktu yang sama. Surah ini memuji kedudukan Abdullah kendati ia papa dan buta. Dan dalam ayat-ayat belakangan Allah ‘mengingatkan’ Nabi Muhammad bahwa mengajari seorang kafir tidaklah penting andai kata orang kafir itu tidak cenderung untuk menyucikan dirinya dan menyakiti seorang Mukmin hanya karena ia tidak kaya dan sehat.
Sekelompok mufasir menuduh Nabi Muhammad menghina Abdullah, dan dengan itu mereka mencoba mengatakan bahwa Rasulullah tidak bebas dari kelemahan karakter dan perilaku. Ini terjadi ketika orang yang menghina si miskin tadi adalah seorang kaya dari Bani Umayah yang masih non-Muslim, atau baru masuk Islam. Namun sebagian orang demi membersihkan wajah sahabat dari perilaku buruk semacam itu tidak segan dan sungkan menuduh Rasulullah berbuat seperti itu (bermuka masam) dan mengkritik Rasulullah demi membela Bani Umayah.
Ulangan peristiwa yang sama dilakukan oleh Umayah selama kekuasaan mereka melalui (lisan dan tulisan) para perawi bayaran. Terkenal dalam sejarah bahwa Umayah adalah musuh paling sengit terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw dan Islam. Demikianlah, para ulama yang bekerja untuk Umayah dipaksa menulis bahwa ayat ini diperintahkan untuk menegur Rasulullah, bukannya kalangan sahabat. Omong kosong semacam itu adalah untuk menjaga wibawa dan kehormatan mereka dengan harga menghinakan Rasulullah Saw sebagai penghulu para Nabi.
Bagaimanapun, faktanya adalah Alquran tidak memberikan keterangan apapun bahwa orang yang bermuka masam kepada orang buta adalah Nabi Muhammad Saw dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Dalam ayat-ayat di atas Allah Swt tidak mengalamatkan kepada Nabi Muhammad Saw entah oleh nama atau julukannya (yakni wahai Muhammad, atau wahai Nabi, atau wahai Rasulullah). Lebih dari itu, terjadi perubahan kata benda dari `dia’ dalam dua ayat pertama kepada ‘engkau’ dalam ayat-ayat terakhir dalam surah tersebut. Allah tidak menyatakan, ‘Engkau bermuka masam dan berpaling’. Alih-alih, Yang Mahakuasa menyatakan, “Dia bermuka masam dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa” (QS. Abasa: 1-3).
Baca: Tahapan-tahapan Risalah Rasulullah Saw
Kendatipun kita mengandaikan bahwa ‘engkau’ dalam ayat ke tiga tertuju kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah dari tiga ayat di atas bahwa kata-kata ‘dia’ (orang yang bermuka masam) dan ‘kamu’ tertuju pada dua orang yang berbeda. Dua ayat selanjutnya mendukung gagasan ini: “Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya” (QS. Abasa: 5-6).
Dengan demikian, orang yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad Saw karena ada perbedaan antara `dia’ dan ‘kamu’. Dalam surah Abasa ayat 6 Allah berfirman kepada Nabi Saw dengan mengatakan bahwa mendakwahi orang-orang yang sombong dari bangsa Quraisy yang bermuka masam kepada seorang buta tidaklah pantas dan tidaklah apa-apa untuk lebih mendahulukan mendakwahi seorang yang buta, sekalipun orang buta datang belakangan. Alasannya, mendakwahi siapapun yang tidak bermaksud untuk menyucikan dirinya (sampai ke tingkat ia bermuka masam kepada seorang Mukmin) tidaklah berguna. Lebih dari itu, bermuka masam bukanlah perilaku yang berasal dari Nabi Muhammad Saw terhadap musuh-musuhnya yang nyata, apalagi (bermuka masam) terhadap orang beriman yang mencari petunjuk.
Satu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bisa seorang rasul yang diutus sebagai rahmat untuk umat manusia berbuat tidak senonoh ketika seorang Mukmin awam tidak berbuat seperti itu? Dakwaan ini juga berlawanan dengan pujian Allah Swt sendiri atas moral luhur dan etika mulia dari Nabi Muhammad Saw: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4).
Baca: Hadis-hadis Perihal Penghormatan untuk Rasulullah Saw
Mereka yang memahami Bahasa Alquran dan membaca bahasa Arab, Alquran yang orisinal menyadari lompatan konstan antara gaya penulisan Alquran orang pertama, kedua, dan ketiga. Dalam banyak ayat Allah mengubah objek pembicara (sasaran) secara tajam, dan dengan sendirinya, adalah tidak selalu mudah untuk melukiskan siapakah yang dituju ketika nama sasaran pembicaraan tidak diungkapkan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw memerintahkan kita untuk merujuk pada Ahlulbait a.s. dalam hal penafsiran ayat-ayat Alquran karena mereka adalah ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’. (QS. Ali Imran: 7), ‘ahli zikir’ (QS. An-Nahl: 43)
Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq a.s.berkata: “Ia diturunkan sekaitan dengan seorang lelaki dari Bani Umayah. Ia tengah berada di majelis Nabi Muhammad Saw, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang. Ketika ia melihat Ibnu Ummi Maktum ia merasa kesal kepadanya, bermuka masam, dan berpaling darinya. Maka Allah Swt mengatakan apa yang Dia sebut sebagai ketidaksukaan atas perbuatannya.”
*Dikutip dari buku Antologi Islam terbitan Al-Huda