Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Sumber Syariat Menurut Mazhab Imamiyah dan Hadis Para Imam Ahlulbait as (Bag. 1)

Mazhab Syiah Imamiyah dalam masalah akidah syariat, bersumber pada Alquran dan juga sunah Ahlulbait a.s. Imamiyah memandang ucapan, perbuatan, dan persetujuan mereka sebagai dalil atau hujah. Hal ini dikarenakan Ahlulbait adalah orang­orang yang memelihara ilmu Nabi saw, dan para penjaga sunah sepeninggalnya. Maka ucapan, perbuatan dan persetujuan mereka adalah bersumber dari sunah Nabi yang mulia. Oleh karena itu, berdalil dengan hadis-hadis mereka pada dasarnya adalah berdalil dengan hadis dan ucapan Nabi saw.

Para Imam Ahlulbait adalah Para Wasi Nabi Saw

Para ulama Imamiyah sepakat bahwa para Imam dua belas adalah para wasi (orang yang menerima wasiat tentang kepemimpinan) Rasulullah saw. Mereka adalah para Imam umat ini dan salah satu dari tsaqalain (dua hal yang berat) yang telah diwasiatkan Rasulullah saw di beberapa tempat. Beliau bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain, yaitu kitab Allah dan keluargaku.”

Imamiyah, seperti kaum Muslim lainnya, meyakini keuniversalan risalah Nabi saw, sebagaimana mereka juga meyakini risalahnya sebagai risalah penutup. Kedua hal itu ditunjukkan dengan firman Allah Swt: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah ayah dari seorang laki­laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Ahzab: 10)

Baca: Hubungan Alquran dan Ahlulbait Nabi Saw

“Dan sesungguhnya Alquran itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji. (QS. Fushshilat: 41-12)

Serta beberapa ayat dan hadis yang lain. Keberadaan risalah Nabi saw sebagai risalah penutup termasuk prinsip-prinsip ajaran agama. Hal itu dijelaskan oleh Alquran dan hadis-hadis yang mencapai tingkat mutawatir. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw ketika pergi menuju Perang Tabuk. Ketika itu Imam Ali a.s. bertanya: “Bolehkah aku ikut?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka Imam Ali pun menangis. Kemudian Rasulullah saw berkata kepada Ali: “Tidakkah engkau rela dengan posisimu di sampingku seperti kedudukan Harun di sisi Musa as. Namun, tidak ada nabi lagi sesudahku?” (Amali ash-Shaduq, hal. 99)

Amirul Mukminin Ali a.s, selaku Imam pertama dari rangkaian Dua Belas Imam, ketika memandikan jenazah Rasulullah saw berkata: “Yang ayah dan ibuku sebagai tebusanmu! Dengan kewafatanmu, terputuslah apa yang tidak terputus oleh kematian orang selainmu. Yaitu, kenabian, berita dan kabar dari langit.” (Nahj al-Balaghah, khotbah ke-199)

Dalam kesempatan lain, Imam Ali as pernah berkata: “Rasulullah saw adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Rasulullah menutup para nabi hingga Hari Kiamat.” (Nahj al-Balaghah, khotbah ke-930)

Para ulama Imamiyah menghukumi murtad kepada orang yang mengingkari risalah itu sebagai risalah yang universal dan penutup. Oleh karena itu, paham-paham Babiyah den Bahaiyah, demikian pula Qadiyaniyah, menurut mereka adelah murtad.

Imamiyah dan Kehujahan Ucapan Keluarga Suci

Imamiyah memandang hadis-hadis dari keluarga suci Nabi saw seperti memandang hadis-hadis Nabi saw. Hal ini dikarenakan;

Pertama, Nabi saw memerintahkan kaum Muslim agar berpegang pada ucapan keluarga suci itu. Beliau bersabda: “Aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain (dua hal yang berat). Yaitu kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbaitku.”

Baca: Ayat-ayat Alquran yang Turun Untuk Sayidah Fathimah a.s.

Berpegang pada hadis-hadis dan ucapan-ucapan mereka merupakan pengamalan sabda Nabi saw yang tidak bersumber kecuali dari al-Haqq. Barang siapa yang mengambil tsaqalain berarti dia telah berpegang pada sesuatu yang akan menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya, siapa yang hanya mengambil salah satu saja darinya, dia telah menentang Nabi saw.

Kedua, kami memandang bahwa Nabi saw memerintahkan kepada umat ini agar bersalawat kepada keluarga Muhammad dalam salat-salat fardu dan sunah. Selain itu, kaum Muslim di seluruh penjuru bumi menyebut keluarga itu setelah menyebut nama Nabi saw dalam tasyahud mereka. Kaum Muslim juga bersalawat kepada mereka seperti bersalawat kepada Rasulullah saw.

Para fukaha, kendati berselisih pendapat tentang redaksi tasyahud itu, tetapi mereka sepakat tentang wajibnya bersalawat kepada Nabi dan keluarganya. Tentang hal itu, Imam Syafi’i berkata: “Wahai Ahlulbait Rasulullah! Mencintaimu adalah kewajiban dari Allah dalam Alquran yang diturunkan. Cukuplah keagungan bagi kalian. Siapa yang tidak bersalawat padamu, tidaklah sah salatnya.”

Kalau Ahlulbait tidak memiliki kedudukan dalam memberikan hidayah kepada umat ini dan keharusan mengikuti mereka, lalu apa artinya menjadikan salawat kepada mereka sebagai amalan wajib dalam tasyahud dan mengulang-ulangnya dalam seluruh salat siang dan malam, baik fardu maupun sunah?

Ini menunjukkan adanya rahasia yang tersembunyi dalam perintah Nabi saw dalam masalah ini. Yaitu, bahwa keluarga Muhammad itu memiliki kedudukan khusus dalam urusan-urusan duniawi dan terlebih lagi dalam kepemimpinan Islam. Ucapan dan pendapat mereka adalah hujah bagi kaum muslim. Mereka juga memiliki kedudukan sebagai rujukan utama (al-marja’iyah al-kubra) setelah wafat Rasulullah saw, baik dalam masalah akidah dan syariat maupun dalam masalah-masalah lain.

Ketiga, Rasulullah saw mengibaratkan keluarga suci itu dengan Bahtera Nuh a.s. Barang siapa yang menaikinya, dia selamat. Tetapi barangsiapa yang meninggalkannya, dia tenggelam (Hakim, al-Mustadrak, jil. 2, hal. 151; Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, jil. 2, hal. 966; Ibnu Hajar, al-Shawaiq, hal. 191). Ini menunjukkan kehujahan ucapan dan perbuatan mereka. Masih banyak lagi wasiat-wasiat yang berkenaan dengan Ahlulbait yang dinukil dalam kitab-kitab Shahih dan Musnad.

Baca: Tambahan dan Pengurangan di Hadapan Alquran

Siapa yang mau mengkajinya, silakan merujuk para sumber­sumbernya. Setiap muslim mengimani kesahihan wasiat-wasiat ini tidak meragukan kehujahan ucapan-ucapan keluarga Nabi, baik dia diberitahu tentang sumber-sumber ilmu mereka maupun tidak diberitahu. Allah Swt berfirman. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.(QS, al-Ahzab: 36)

*Dikutip dari buku karya Ayatullah Jafar Subhani – 15 Permasalahan Fikih yang Hangat Kontroversial


No comments

LEAVE A COMMENT