Sumber dari ilmu para Imam Ahlulbait a.s. mereka dapatkan dalam berbagai metode seperti yang akan dirincikan di bawah ini. Ini juga dapat menjadi kehujahan ucapan mereka tidak menunjukkan bahwa mereka itu nabi, tetapi washinya.
Mendengar dari Rasulullah Saw
Para Imam a.s. memandang bahwa hadis-hadis Rasulullah Saw itu didengar dari beliau, baik tanpa perantara maupun dengan perantaraan para moyang mereka. Oleh karena itu, dalam banyak periwayatan tampak bahwa Imam Shadiq a.s. berkata: “Ayahku telah menyampaikan hadis kepadaku, dari Zainal Abidin, dari ayahnya Husain bin Ali, dari Ali Amirul Mukminin, dari Rasulullah Saw.”
Periwayatan semacam ini banyak terdapat dalam hadis-hadis mereka. Diriwayatkan dari Imam Shadiq a.s. bahwa beliau berkata: “Hadisku adalah hadis ayahku. Hadis ayahku adalah hadis kakekku.”
Melalui cara inilah mereka menerima banyak hadis dari Nabi Saw dan menyampaikannya tanpa bersandar kepada para rahib dan pendeta, orang-orang bodoh, atau pribadi-pribadi yang menyembunyikan kemunafikan. Hadis-hadis seperti itu tidak sedikit jumlahnya. Sebagian hadis lain mereka ambil dari kitab Imam Amirul Mukminin a.s. yang didiktekan oleh Rasulullah Saw dan dicatat oleh Imam Ali a.s. Para penulis kitab-kitab Sahih dan Musnad telah menunjukkan beberapa kitab ini. (Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jil. 1, hal. 81; Shahih Muslim, jil. 1, hal. 917; Baihaq, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, hal. 96 yang dinukil dari Imam Syafi’i)
Imam Ali a.s. memiliki buku khusus untuk mencatat apa yang didiktekan oleh Rasulullah Saw kepadanya. Para anggota keluarga suci telah menghafalnya, merujuk padanya tentang banyak topik dan menukil teks-teksnya tentang berbagai permasalahan. Hurr Amili dalam kitabnya alMausu’ah al-Haditsiyah telah menyebarluaskan hadishadis dari kitab tersebut menurut urutan kitab-kitab fikih dari Bab Bersuci (Thaharah) hingga Bab Denda (Diyat). Barang siapa yang mau menelaahnya, silakan merujuk pada kitab al-Mawsu’ah al-Haditsiyah.
Baca: Sumber Syariat Menurut Mazhab Imamiyah dan Hadis Para Imam Ahlulbait as (Bag. 1)
Imam Shadiq a.s. ketika ditanya tentang buku catatan itu berkata: “Di dalamnya terdapat seluruh apa yang dibutuhkan manusia. Tidak ada satu permasalahan pun melainkan tertulis di dalamnya hingga diyat cakaran.”
Kitab Imam Ali a.s. merupakan sumber bagi hadis-hadis keluarga suci itu yang mereka warisi satu persatu, mereka kutip dan mereka jadikan dalil kepada para penanya. Imam Muhammad Baqir a.s. berkata kepada salah seorang sahabatnya yakni Hamran bin A’yan sambil menunjuk pada sebuah rumah besar: “Hai Hamran. Di rumah itu terdapat lembaran (shahifah) yang panjangnya 70 hasta, berisikan catatan Ali a.s. dan segala hal yang didiktekan oleh Rasulullah Saw. Kalau orangorang mengangkat kami sebagai pemimpin, niscaya kami akan menetapkan hukum berdasarkan apa yang Allah turunkan. Kami tidak akan berpaling dari apa yang terdapat dalam lembaran ini.”
Sulaiman bin Khalid berkata: “Saya pernah mendengar Abu Abdillah a.s. berkata: “Kami memiliki sebuah lembaran yang panjangnya 70 hasta, berisikan hal-hal yang didiktekan oleh Rasulullah Saw dan dicatat oleh Ali a.s. dengan tangannya sendiri. Tidak ada yang halal dan haram melainkan termuat di dalamnya hingga diyat cakaran sekalipun.”
Imam Muhammad Baqir a.s. berkata kepada seorang sahabatnya: “Hai Jabir! Kalau kami berbicara kepada kalian menurut pendapat dan hawa nafsu kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka. Melainkan kami berbicara kepada kalian dengan hadishadis yang kami warisi dari Rasulullah Saw.”
Allamah Majlisi telah menghimpun hadis-hadis tentang kitab-kitab Imam Ali a.s. dalam ensiklopedinya, Biharal-Anwar. Untuk hadis-hadis dapat dilihat pada juz 67 halaman 18-29, di bawah judul Bab ‘Ulumihim wa ma ‘Indahum min al-Kutub. Silakan lihat hadis ke-1, 10, 30, dan 192.
Istinbat dari Alquran dan Sunah
Sumber selanjutnya bagi ucapan mereka adalah pemahaman dan pengkajian mereka terhadap Alquran dan Sunah. Dari kedua sumber utama ini mereka menyimpulkan segala hal yang khusus berkaitan dengan akidah dan syariat secara mengagumkan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Inilah yang menjadikan mereka istimewa di tengah kaum muslim dalam hal kesadaran, serta kedalaman ilmu dan pemahaman.
Para imam fikih di berbagai tempat tunduk kepada mereka. Sampai-sampai Imam Abu Hanifah setelah berguru kepada Imam Shadiq a.s. (selama dua tahun) mengatakan: “Kalau tidak ada dua tahun itu, tentu binasalah Nu’man.” Sebab, dalam banyak hukum, mereka berdalil dengan Alquran dan Sunah. Mereka mengatakan: “Tidak ada sesuatu apa pun melainkan memiliki landasan dalam kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya.”
Syeikh al-Islam al-Kulaini meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Umar bin Qais, dari Abu Ja’far a.s. berkata: “Saya pernah mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya, Allah Swt tidak membiarkan sesuatu yang diperlukan umat melainkan Dia menurunkannya dalam kitab-Nya dan menjelaskannya kepada Rasul-Nya, serta memberikan batasan bagi setiap sesuatu. Dia jadikan atasnya dalil yang menunjukkannya dan menetapkan hukuman bagi siapa saja yang melanggar batasan itu.’”
Isyraqat Ilahiyah (Pancaran Cahaya Ilahi)
Sumber selanjutnya hadis-hadis mereka dinyatakan sebagai isyraqat ilahiyyah. Tidak ada halangan bagi Allah Swt untuk mengistimewakan sebagian hambaNya dengan ilmu-ilmu khusus yang manfaatnya kembali kepada masyarakat umum tanpa menjadikan mereka sebagai nabi dan tidak pula termasuk para rasul. Allah Swt mengisahkan beberapa orang sahabat Nabi Musa a.s. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami. (QS. al-Kahfi: 65)
Padahal, sahabat Nabi Musa a.s. itu bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali di antara wali-wali Allah Swt yang ilmu dan makrifatnya telah mencapai tingkatan tertentu. Sehingga Musa a.s. -seorang nabi yang diutus membawa syariat- berkata kepadanya: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al-Kahfi: 66)
Allah Swt juga mengisahkan sahabat Nabi Sulaiman a.s. yang bernama Ashif bin Barkhiya dengan firman-Nya: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Alkitab, “aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “ini termasuk karunia Tuhanku…” (QS. al-Naml: 40)
Baca: Tradisi Penulisan Hadis dalam Mazhab Syiah
Sahabat Nabi Sulaiman itu bukanlah seorang nabi. Akan tetapi, dia memiliki ilmu pengetahuan dari alKitab. Dia tidak memperolehnya dengan cara biasa, melainkan ilmu itu merupakan ilmu Ilahi yang dilimpahkan kepadanya untuk menjernihkan hati dan rohnya. Oleh karena itu, ilmunya dinisbatkan kepada Tuhannya dan dia berkata, “Ini adalah karunia dari Tuhanku.”
Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa di tengah umat Islam seperti umat-umat sebelumnya ada orang-orang ikhlas yang diajak bicara (oleh Allah) dan dilimpahi hakikat-hakikat alam gaib walaupun mereka bukan nabi. Jika Anda ragu dalam hal itu, silakan merujuk pada hadis-hadis yang juga diriwayatkan Ahlusunnah tentang masalah ini. Bahkan Bukhari dalam kitabnya meriwayatkan bahwa dari umat Nabi Muhammad, Umar bin Khatab diajak bicara dengan Allah Swt: “Di tengah kaum Bani Israil sebelum kami terdapat orang orang yang diajak bicara (oleh Allah) padahal mereka bukan nabi. Jika di tengah umatku ada orang seperti mereka, Umarlah orangnya.” (Bukhari, al-Shahih, jil. 2, hal. 149)
*Dikutip dari buku karya Ayatullah Jafar Subhani – 15 Permasalahan Fikih yang Hangat Kontroversial