Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tabuik Pariaman: Dari Tradisi Keluarga Menjadi Budaya Masyarakat

Tidak ada kepastian sejarah bagaimana masuknya tradisi Asyura dalam bentuk tabut ke wilayah Pariaman. Pendapat pertama menyebutkan tradisi ini dibawa oleh pedagang Arab dan Persia. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan keberadaan tradisi ini terkait dengan gelombang ke dua Islam berpengaruh di Nusantara melalui jalur India. Kartomi Margaret menyatakan terdapat dua tipe ritual tabut yang ada pada berbagai Indonesia di Indonesia, yaitu tipe sederhana dan kompleks. Tipe pertama masuk pada abad 14 menyebar dari arah Utara menuju Selatan pulau Sumatera, seperti yang tabut Asan-Usen di Aceh, Barus, Sibolga dan Riau. Tipe ke dua dalam bentuk teatrikal yang diduga masuk gelombang ke dua Islam berpengaruh ke Indonesia sekitar abad ke-17. Tabuik yang dijumpai di Pariaman merupakan ritual yang dielaborasi menjadi ritual yang kompleks. Selain itu, Tabuik memiliki kesamaan dengan tabot di India dan Bengkulu (Siregar, 1995).

Peringatan peristiwa Asyura di Pariaman awalnya dilaksanakan di keluarga yang diperkirakan datang dari Bengkulu. Setelah melalui asimilasi perkawinan dengan penduduk setempat, tradisi ini kemudian berkembang dan menjadi tradisi masyarakat. Hingga hari ini Tabuik masih dapat disaksikan setiap tahun pada awal bulan Muharram. Sangat disayangkan ketika sebagian dari generasi muda di Pariaman mengeluarkan pernyataan negatif  ketika keberadaan Tabuik dikaitkan dengan Asyura. Tak dapat dipungkiri, Tabuik dan Asyura di Pariaman tak lepas dari sejarah pengaruh Islam di wilayah tersebut.

Tabuik Piaman dari masa ke masa

Hampir dua abad lamanya Tabuik telah menjadi tradisi dan budaya yang tak terpisahkan dari masyarakat Minangkabau di Pariaman. Selama masa itu pula, Tabuik mencatatkan sejarahnya dengan melewati arus pasang surut dan berbagai perubahan. Ia menjadi ancaman bagi penjajah sehingga pernah dilarang pelaksanaannya pada  masa kolonialis Belanda pada tahun 1920 an dan waktu pendudukuan Jepang.

Tahun 1930 an, Tabuik menjadi sasaran kritik kaum muda Muhammadiyah yang merupakan kelompok ulama di luar komunitas tabuik. Mereka menginterpretasi tradisi ini menyimpang dari tatanan normatif agama Islam dan berusaha mengeliminasi unsur yang dianggap peninggalan Syiah. Pihak yang memegang otoritas di keluarga Tabuik tidak tinggal diam menjawab gerakan neo-ortodoksi Islam di Minangkabau tersebut. Bersama pemuka adat dan pemuka agama setempat, Tabuik dirancang sebagaimana yang ditemui sekarang mengikuti supremasi agama atas adat. Sehingga tidak menyebabkan kepunahan tradisi ini.

Pasca revolusi kemerdekaan, Tabuik muncul kembali melalui campur tangan partai saat itu seperti PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Situasi tersebut melahirkan kebijakan pemerintah melarang pelaksanaan ritual ini sejak tahun 1965 hingga pertengahan tahun 1970 an.

Pada tahun 1980 an, pemerintah berinisiatif mengembangkan potensi tradisi Tabuik menjadi sumber devisa bidang pariwisata. Pada waktu inilah muncul slogan “Piaman tadanga langang, de’ batabuik mangkonyo rami” untuk menghidupkan kembali tradisi tabuik. Intervensi ini merubah keberadaan tradisi yang sebelumnya disebut sebagai Tabuik adat menjadi Tabuik pariwisata. Muchtar (2014) menyatakan perubahan tujuan ini perayaannya menjadi Tabuik Pariwisata justru mengubah ‘nasib’ Tabuik menjadi meriah. Bahkan selanjutnya berubah nama dengan julukan Pesta Budaya Tabuik yang bernilai sekuler.

Perubahan lainnya terlihat dalam berkurangnya otoritas ninik-mamak pawang tabut menjadi yang menyebabkan memudarnya sakralitas ritual ini. Sebagai contoh, menurut norma pelaksanaan tabut, waktu sakral pelaksanaannya berawal tanggal 1 dan berakhir tanggal 10 Muharram kalender Hijriah. Namun, kebijakan atas pertimbangan pariwisata menyebabkan ritual tabuik berlangsung lebih dari 10 hari. Hal ini untuk menyesuaikan waktu akhir sekaligus puncak ritual pada hari Minggu agar menarik lebih banyak pengunjung. Misalnya, tahun 2014  ritual tabuik berlangsung selama 16 hari, seperti tahun ini yang dijadwalkan sejak tanggal 1-16 Oktober 2016.

Ketika Tabuik adat menjadi Tabuik pariwisata

Banyak hal yang mempengaruhi perubahan tabuik adat menjadi tabuik pariwisata. Saat ini, keberadaan tabuik tidak dapat dipisahkan dari kepentingan masyarakat yang berada di Pariaman. Selain komunitas kedua Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang pendukung keberlangsungan pelaksanaan tradisinya, terdapat kalangan di luar komunitas yang menolak kelanggengannya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, mereka adalah kalangan ulama Muhammadiyah yang juga memiliki otoritas secara signifikan di masyarakat. Sedangkan pihak pemerintah yang memandang tabuik sebagai aset dalam pengembangan kepariwisataan tentu menghendaki pelaksanaan tradisi ini sesuai dengan tujuannya. Keberadaan dan intervensi kedua kelompok di luar komunitas tabuik ini pada akhirnya menghasilkan resolusi berupa sekulerisasi pertunjukan adat.

Desakralisasi ini bukan tidak mendapat pertentangan dari keluarga Tabuik. Pihak ini berdasarkan keyakinannya sangat berkepentingan menjaga tradisi sebagaimana yang diwariskan kepada mereka. Sebagai contoh, pihak perempuan dari keluarga Tabuik Subarang tidak mengeluarkan perlengkapan ritual Tabuik dan tidak lagi mau terlibat. Pihak tuo tabuik juga mengeluarkan pernyataan di media ketika urutan prosesi dari tanggal 1-10 Muharram tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Menghadapi kondisi ini, pihak pemerintah melakukan konsolidasi dengan terus melibatkan keluarga tabuik dalam pelaksanaannya setiap tahun. Sebagai jalan tengah atas perbedaan ini, keluarga tabuik mengambil sikap dengan menyatakan bahwa tabuik adat berbeda dengan tabuik pariwisata.

Saat ini tabuik yang dapat ditemui adalah tabuik pariwisita. Tabuik pariwisata dikemas dalam pesta adat yang lebih banyak menonjolkan kemeriahan dalam pelaksanannya ketimbang peringatan Asyura. Sejak prosesi maambiak tanah pada tanggal 1 Muharram hingga tabuik tabuang sebagai puncak ritual, kegiatan diramaikan dengan berbagai festival budaya. Seperti pertunjukan seni dan tari dari berbagai komunitas seni di wilayah Pariaman. Beberapa tahun belakangan pesta tabuik bahkan dimulai atau bersamaan dengan acara penyambutan tahun baru Hijriah. Menjadi pertanyaan, apakah tabuik pariwisata masih dapat menjadi media penyampai pesan perjuangan Al Husain alaihi salam di Karbala? Sejauh mana keluarga tabuik dapat mempertahankan dan menjaga tradisi yang telah diwariskan kepada mereka?

Referensi:

Siregar, Miko, Thesis “Tabuik Piaman: Kajian Antroplogis Terhdapa Mitos dan Ritual, UI, 1996

 

 

 

No comments

LEAVE A COMMENT