Maka siapa yang membantahmu sesudah datang ilmu kepadamu, maka katakanlah kepadanya, Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu, kemudian marilah kita bermubahalah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali Imran: 61)
Para pakar hadis dan tafsir seperti Fakhrurazi dalam Al-Tafsfr al-Kabir, Abu Ishaq al-Tsalabi dalam Tafsif Kasyf al-Bayan, Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur, Qadhi Badhawi dalam Anwar al-Tanzil, Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyyaf, Muslim bin Hajjaj dalam Shahih-nya, Ibnu Hajar al-Makki dalam Al-Shaw’iq al-Miriqah, serta banyak lagi lainnya menyebut -dengan sedikit perbedaan redaksional, bahwa ayat 61 surat Ali Imran tersebut turun pada Hari Mubahalah, 24 Zulhijah.
Mereka menyebutkan bahwa Nabi Saw mengajak kaum Nasrani Najran untuk memeluk Islam. Para tokoh dan ulamanya yang jumlahnya mencapai 40 orang menerimanya. Ketika mereka sampai di Madinah, mereka bertemu Rasulullah Saw dan beberapa kali melakukan dialog di mana mereka mendengarkan pembicaraan Nabi Saw, argumentasi-argumentasi ajaran yang disampaikannya baik berupa tauhid, kenabian dan hukum-hukum Islam lainnya. Mereka tak mampu membantahnya, namun kemegahan dunia telah menggoda mereka dimana jika masuk Islam mereka takut kehilangan jabatan dan kedudukanrya di masyarakat.
Ketika Nabi Saw melihat keengganan dan penolakan, beliau mengajak mubahalah sehingga Allah Swt memberikan keputusan kepada mereka dan menyingkapkan siapa yang menolaknya. Mereka pun menerimanya. Ketika waktunya tiba, yaitu di sebuah lereng bukit, di mana jumlah kaum Nasrani lebih dari 70 orang yang terdiri dari tokoh dan pembesar mereka, sementara Nabi Saw datang bersama keluarga yang paling dicintainya, yaitu menantunya Ali bin Abi Thalib a.s, puterinya Fathimah Zahra a.s, dan dua cucunya, Hasan dan Husain a.s.
Tokoh terbesar mereka berkata kepada yang lainnya, “Lihatlah Muhammad, dia datang dengan keluarganya yang paling mulia untuk bermubahalah dengan kita. lni menunjukkan keyakinan dan keteguhannya akan kebenaran dan risalah langit yang dibawanya. Maka tidak layak bagi kita untuk bermubahalah dengannya, tetapi lebih baik kita melakukan kompromi dengan menawarkan kekayaan yang diinginkannya. Kalaulah bukan karena ketakutan kita kepada umat dan kaisar Romawi, pasti kita sudah beriman kepada Muhammad dan agamanya.”
Di antara mereka juga berkata: “Demi Allah, tidaklah nabi bermubahalah dengan pengikut suatu agama melainkan akan turun siksa kepada mereka dan mereka akan binasa. Saya memperhatikan kelima wajah mereka, Muhammad dan keluarganya, jika mereka berdoa kepada Allah dengan hancurnya gunung, pasti itu akan terjadi”.
Anfusana dalam ayat ke-61 surat Ali Imran menunjukkan bahwa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain a.s. adalah makhluk yang paling mulia setelah Nabi Saw di sisi Allah Swt sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama. Zamakhsyari dan Fakhrurrazi menyebutkan penjelasan mengenai ayat mubahalah secara rinci tentang kelima orang mulia tersebut dengan bukti-bukti keutamaan dan kedudukan mereka di sisi Allah Swt. Dia mengatakan: “Ayat ini adalah argumentasi yang paling kuat tentang keutamaan mereka atas yang lainnya”.
Kedua, Dari ayat tersebut kita melihat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling mulia setelah Rasulullah Saw karena Allah Swt menjadikannya sebagai jiwa Nabi Saw, karena kata anfusana bukan berarti diri Nabi Saw sendiri, karena ajakan beliau tidak pantas ditujukan kepada dirinya, tetapi dari seseorang untuk yang lainnya. Maksud kata anfusana dalam ayat di atas adalah Ali a.s. yang menempati jiwa Nabi Saw. Karenanya beliau dengan perintah Allah mengajak dan datang bersamanya untuk mubahalah. Maka secara majazi menurut istilah Al-Quran, Imam Ali a.s. adalah jiwa Rasulullah Saw dan bersatu secara i’tibari bukan hakiki.
Riwayat hadis Rasulullah Saw tentang arti majazi ini cukup banyak, satu di antaranya adalah, Nabi Saw bersabda: “Ali adalah bagian dariku dan Aku adalah bagian darinya. Barangsiapa mencintainya dia telah mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku dia mencintai Allah.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad, Ibn Maghazili dalam al-Manaqib, Muwaffaq bin Ahmad Khawarizmi dalam al-Manaqib, dan yang lainnya.
*Disarikan dari buku Mazhab Sang Pencinta, karya Ayatullah Sayyid Muhammad Musawi