Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tafsir Surat al-Fajr (Bagian 2)

Orang-orang dan kaum yang mendapatkan siksaan dari Allah Swt, yang disebutkan dalam surat ini adalah;

1) Kaum ‘Ad

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa mereka adalah kaum Nabi Hud a.s. Mereka terkenal dengan badan mereka yang besar dan kuat. Mereka pernah tinggal di daerah Iram, Yaman. Pada waktu itu, mereka mampu menciptakan peradaban yang sangat tinggi dan maju, sehingga Allah Swt menyebut Iram sebagai negeri yang sebelumnya tidak ada yang menyerupainya di dunia dari sisi kemajuan dan kekuatan fisik.

2) Kaum Tsamud

Mereka adalah kaum Nabi Saleh a.s. Mereka tinggal di lembah Alquran yang terletak di antara Madinah dan Syam. Mereka juga bangsa yang kuat sehingga dapat membuat perkampungan dengan membelah gunung dan batu, seperti yang dikisahkan dalam ayat, “Dan mereka dahulu memahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah sebagai tempat berlindung” (QS. al-Hijr: 82), dan ayat, “Dan kalian memahat dengan rajin sebagian gunung­gunung untuk dijadikan rumah” (QS. asy-Syu’ara: 149).

3) Fir’aun

Ia dan pasukannya yang Tangguh dan kuat telah melakukan kejahatan dan kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, Allah Swt menimpakan kepada mereka siksaan yang terus menerus sampai mereka habis dan sirna dari permukaan bumi. Tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali peninggalan mereka saja yang menjadi pelajaran bagi umat manusia yang datang berikutnya.

Hal ihwal mereka dan siksaan terhadap mereka sengaja diungkapkan oleh Allah Swt dalam Alquran dengan tujuan agar orang-orang kafir pada saat diturunkannya wahyu Tuhan kepada umat manusia di setiap zaman menyadari bahwa Allah Swt tidak akan diam melihat tingkah laku umat manusia yang jahat dan melakukan kerusakan. Allah Swt tidak hanya membidik dan menyiksa kaum ‘Ad, Tsamud dan Fir’aun saja, tetapi siapa pun yang mengikuti jejak mereka akan dibidik dan disiksa oleh-Nya.

Tafsir 15 – 20

Kemudian Allah Swt menjelaskan watak manusia dalam menghadapi gelombang kehidupan di dunia. Kehidupan di dunia tidak lepas dari ujian, dalam istilah Alquran seperti yang dijelaskan dalam ayat, “(Dia) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, Siapakah di antara kalian yang paling baik perbuatannya?” (QS. al-Mulk: 2)

Ujian bisa dalam bentuk kesenangan dan bisa juga dalam bentuk kesengsaraan, seperti dijelaskan dalam ayat “Dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian” (QS. al-Anbiya: 35). Tetapi manusia, pada umumnya, ketika diuji dengan kesenangan, maka dia merasa mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt, dan sebaliknya ketika diuji dengan kesengsaraan, maka dia merasa mendapatkan kehinaan dari-Nya. Keadaan manusia ini dijelaskan pula dalam ayat, “Dan jika Kami berikan kesenangan kepada manusia, maka dia berpaling dan menjauhkan diri, dan jika tertimpa kesulitan, maka dia banyak berdoaa” (QS. Fushshilat: 51), dan ayat, “Dan jika Kami cicipkan pada manusia rahmat dari Kami, kemudian Kami ambil kembali darinya, maka dia sangat kecewa dan kufur. Dan jika Kami cicipkan padanya kesenangan setelah kesengsaraan yang dialaminya, maka dia berkata, “Telah pergi dariku keburukan-keburukan. Sesungguhnya Dia sangat senang dan bangga.” (QS. Hud: 9-10)

Padahal dalam pandangan Alquran, kemuliaan dan kehinaan tergantung pada dekat dan jauhnya manusia dari Allah Swt, bukan pada perolehannya terhadap kesenangan duniawi. Dalam surat ini disebutkan beberapa contoh perbuatan yang memuliakan manusia di sisi Allah Swt dan perbuatan yang merendahkannya di sisi-Nya.

Perbuatan yang memuliakan manusia di sisi Allah Swt adalah menyayangi anak yatim dan menghargai orang miskin dengan memberinya makanan. Dalam Alquran dan hadis Nabi Saw banyak kita dapatkan keterangan-keterangan yang menyuruh kita menyayangi dan menghargai mereka. Kemudian Allah menjelaskan dua sebab manusia tidak menyayangi anak yatim dan tidak menghargai orang miskin, dan keduanya juga merupakan perbuatan yang menghinakan manusia di sisi Allah Swt.

Pertama, sifat rakus terhadap harta warisan dengan tanpa memperhatikan mana yang menjadi bagiannya dan mana yang bukan bagiannya. Dengan sifat rakus itu, seseorang tidak memberikan kepada anak-anak yatim bagian mereka.

Kedua, mencintai harta secara berlebihan. Cinta seperti ini menyebabkan seseorang menjadi kikir dan enggan membantu fakir miskin.

Tafsir Ayat 21 – 26

Kiamat sebagaimana yang diterangkan dalam ayat­ayat yang lain dimulai dengan guncangan bumi yang sangat dahsyat sekali. Setelah guncangan itu, semua manusia dibangkitkan kembali, kemudian Allah akan mengadili mereka satu persatu.

Apa yang dimaksud dengan “dan datanglah Tuhanmu”, para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dating adalah urusan dan keputusan Allah Swt, atau tanda-tanda kebesaran atau ilmu-Nya yang luas dan rinci, bukan Zat-Nya dalam arti seperti kita datang. Wujud Allah Swt tidak berbentuk fisik, karena segala yang befisik terbatas. Wujud-Nya meliputi segala yang ada. Tiada satu tempat, ruangan dan arah yang tidak dihadiri-Nya, “Dan milik Allah timur dan barat. Kemana pun kalian berpaling, maka disanalah ada Allah.” (QS. al-Baqarah: 115)

Dalam ayat lain dijelaskan makna datangnya Allah Swt, “Tidakkah mereka menunggu kecuali datang kepada mereka para malaikat atau datang urusan Tuhanmu” (QS. an-Nahl: 33). Oleh karena hari itu adalah hari penghitungan (yaum hisab) atas amal perbuatan manusia, maka sesesuatu akan tampak dengan sebenarnya. Neraka Jahannam akan diperlihatkan kepada mereka yang tidak mengikuti ajaran Allah Swt. Mereka mengetahui bahwa Jahannam akan menjadi hunian mereka, sehingga mereka sadar dan menyesali apa yang mereka lakukan selama di dunia.

Namun, apa artinya sadar dan menyesal di hari itu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada lagi kesempatan untuk merevisi perbuatan yang telah dikerjakannya. Tentang hari itu, Imam Ali a.s. berkata, “Hari itu adalah hari perhitungan, sedangkan hari ini adalah hari perbuatan”. Lalu mereka berandai-andai, jika di dunia dahulu mereka melakukan kebajikan dan ketaatan, maka nasib mereka tidak seperti itu. Pada hari itu juga, Allah tunjukkan murka-Nya sehingga tiada satupun yang dapat menandingi murka dan siksaan-Nya, karena hari itu milik-Nya dan hanya Dia satu­satunya Hakim yang bijak dan tegas.

Tafsir Ayat 27 – 30

Pada penghujung surat ini, Allah Swt dengan panggilan-Nya yang indah dan lembut, memanggil manusia yang mempunyai jiwa yang tentram karena keimanan yang dimilikinya, “Ketahuilah,bahwa dengan zikrullah akan tentramlah hati” (QS. al-Ra’d: 28). Pada dasarnya, semua manusia akan kembali kepada Allah Swt karena mereka adalah berasal dari-Nya dan milik-Nya, “Kita semua berasal dari Allah (milik Allah), dan kita akan kembali kepadaNya” (QS. al-Baqarah: 156). Namun, ketika kembali kepada-Nya, keadaan jiwa mereka berbeda-beda, seperti dijelaskan dalam surat al-Ghasyiyah.

Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang kondisi orang yang beriman dan berbuat kebaikan ketika kembali kepada Allah Swt. Mereka datang dengan jiwa yang rela dan puas atas segala ketetapan-Nya, baik ketetapan syariat maupun ketetapan takdir. Kecuali itu, mereka juga menghadap Allah Swt dengan mendapatkan ridha dari-Nya karena ketaatan dan ketulusan mereka kepada-Nya. Keadaan ini merupakan puncak kenikmatan yang hakiki dan tiada tara.Lalu mereka akan digabungkan bersama hamba­hamba Allah yang telah mencapai maqam ‘ubudiyyah yang sempurna. Mereka berkumpul di surga-Nya yang istimewa.

Alamah Thabathabai mengatakan bahwa penisbatan kata surga kepada diri Allah Swt (surga-Ku) merupakan sebuah keistimewaan yang ada pada surga mereka itu, karena dalam ayat lain tentang surga tidak ada penisbatan semacam ini.

*Dikutip dari Tafsir Quran Juz Amma, yang disusun oleh Ustadz Husein Alkaff

Baca: Tafsir Surat al-Fajr (Bagian 1)

No comments

LEAVE A COMMENT