Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tak Ada Jalan Meraih Tujuan Selain Tunaikan Tugas dan Kewajiban

Ada tujuan-tujuan agung yang telah ditentukan sebagai kebijaksanaan dari Sang Pencipta dan harus diwujudkan oleh kita sebagai manusia. Itulah perwujudan nikmat ilahiyah.

Kehidupan dan kapasitas diri manusia merupakan nikmat terbesar. Sementara kehendak dan ikhtiar manusia merupakan ujian, saringan dan jalan untuk mewujudkan tujuan itu.

Allah Swt telah meringkas hikmah dan tujuan penciptaan itu dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Q.S. Ad-Dzariyat [51]:56)

Jalan untuk meraih kesempurnaan manusia itu ialah dengan menghamba kepada Allah Swt, yaitu melalui ketaatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta serta melaksanakan segala perintah-Nya.

Baca: Pesan Moral Tragedi Asyura: Peran Cemburu dalam Menjaga Fitrah Manusia dan Martabat Masyarakat

Ketaatan atau ibadah merupakan bentuk global yang memiliki rincian terkait dengan dimensi kemanusiaan. Sementara melaksanakan tugas dan kewajiban merupakan jalan penghambaan terhadap Sang Pencipta.

Siapakah Penentu Tugas dan Kewajiban?

Tugas dan kewajiban di pundak kita ada dua macam:
Pertama, hal-hal terkait ketentuan syariat secara umum dan permanen, seperti ibadah dan muamalah, salat, puasa, haji, jual-beli dan pinjam meminjam.

Kedua, hal-hal terkait kondisi, identifikasi kepentingan dan keburukan dalam hal manajemen dan kepemimpinan masyarakat.

Adalah Rasulullah Saw yang menentukan dua macam tugas dan kewajiban tersebut. Sedangkan sepeninggal beliau, silih berganti para Imam Ahlulbait mengambil tongkat estafet dari Rasulullah Saw sebagai perwujudan Ulul Amr dalam ayat,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (Q.S. An-Nisa’ [4]:59)

Karena itu, segala hal terkait urusan kepemimpinan, pemangku kekuasaan dan putusan pada sisi ini mengikat dan wajib untuk ditaati dalam hal ibadah dan muamalah.

Sudah barang tentu segala perkara tersebut berasal dari identifikasi Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait atas asas kepentingan yang mesti diterima sepenuhnya. Allah Swt berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Q.S. An-Nisa’ [4]:65)

Manfaat Komitmen Melaksanakan Tugas dan Pengaruhnya

Melaksanakan tugas memiliki pengaruh dan keberkahan di dunia dan akhirat, yaitu keabsahan amal saleh kita dan terbebas dari hutang.

1. Persatuan dan kesuksesan
Penentuan prioritas dan tugas seorang pemimpin akan menyatukan sudut pandang dan melenyapkan perselisihan. Ia akan mewujudkan kesuksesan agung pada medan amal. Manusia akan selamat dari kegagalan yang berasal dari perselisihan. Allah Swt berfirman,

وَأَطِيعُواْ ٱللهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar. (Q.S. Al-Anfāl, [8]:46)

Satu-satunya jalan untuk mengikat umat ialah dengan ketaatan terhadap seseorang yang diwajibkan Allah kepada kita untuk menaatinya. Rasulullah Saw bersabda, “Simaklah dan taatilah orang yang diberikan wilayah (kekuasaan) oleh Allah atasnya, sebab itu sistem Islam.”[1]

Baca: Asyura: Panggung Kasih Sayang Ahlulbait Nabi terhadap Manusia

2. Berfokus pada Upaya
Ketika kita telah selesai menentukan tugas dan kewajiban kita, kita akan berfokus pada upaya kita, yaitu melaksanakan tugas itu. Hal itu akan mengarahkan kita pada fokus upaya melaksanakannya dengan ketelitian. Ia akan menguatkan daya inovasi kita.

3. Kemenangan dan Kesuksesan
Allah Swt menjamin kesuksesan pelaksanaan tugas dalam ketaatan:

وَمَن يَتَوَلَّ ٱللهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَإِنَّ حِزۡبَ ٱللهِ هُمُ ٱلۡغَٰلِبُونَ

Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang. (Q.S. Al-Mā’idah [5]:56)

4. Kemantapan jiwa
Melaksanakan tugas dan kewajiban akan melahirkan kemantapan jiwa tanpa ada rasa canggung dan kebingungan dalam identifikasi.

Spiritualitas Pelaksanaan Tugas

Tugas dan kewajiban dari Allah Swt secara langsung kepada kita seperti hal-hal berdimensi ibadah: salat, puasa, dan haji adakalanya kita tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan ketaatan itu. Namun ketika perintah itu untuk menaati makhluk seperti kita, di sinilah banyak orang mengalami kegagalan.

Iblis adalah makhluk pertama yang gagal dalam urusan ketaatan untuk sujud kepada Adam sebagaimana halnya orang-orang yang menolak komitmen ketaatan terhadap para Imam Ahlulbait.

Kesuksesan itu terletak pada ketaatan terhadap orang-orang yang diperintahkan Allah untuk menaati mereka. Karena itu, spiritualitas dalam pelaksanaan tugas itu ialah penerimaan dan penyerahan diri secara total. Allah Swt berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِـَٔايَٰتِنَا وَكَانُواْ مُسۡلِمِينَ
(Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka berserah diri. (Q.S. Az-Zukhruf [43]:69)

Amirul Mukminin a.s. berkata, “Sesungguhnya Islam itu penyerahan diri.”[2]

Dengan demikian kita harus berkomitmen secara praktis untuk melaksanakan tugas ketentuan Ilahi secara paripurna dalam medan yang luas meski ia bertentangan dengan pendapat dan keinginan kita.

Tujuan Prinsipil Kebangkitan Imam Husein: Melaksanakan Tugas

Sayid Ali Khamenei dzh menjelaskan tentang tujuan prinsipil gerakan Imam Husein a.s.:
“Ketika Imam Husein a.s bergerak menuju Karbala, bukanlah bertujuan untuk kekuasaan atau pun syahadah. Tujuan beliau semata-mata menjalankan tugas.
Andai akhirnya beliau berhasil menegakkan pemerintahan, maka alangkah indahnya ia. Suatu perkara yang indah jika beliau bergerak dan berhasil mendirikan pemerintahan dengan menumpas Yazid dalam pertempuran.
Jika syahadah itu akhir dari kebangkitan Imam, ia merupakan salah satu dari dua keindahan, dan beliau memang mempersiapkan dirinya untuk meraih syahadah. Demikianlah orasi-orasi yang disampaikan di hadapan khalayak untuk menjelaskan keindahan syahadah yang benar-benar indah.”[3]

Catatan kaki:
[1] Syekh al-Mufid, al-Āmālī, h. 14
[2] Syekh al-Kulaini, al-Kāfī, j. 2, h. 45
[3] Pernyataan Imam Ali Khamenei dalam pertemuan dengan keluarga Syuhada, 11 Desember 1983


No comments

LEAVE A COMMENT