Allah SWT berfirman;
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ * فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُن جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”[1]
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْماً كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيراً * وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوراً * إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْماً عَبُوساً قَمْطَرِيراً * فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُوراً.
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.”[2]
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”[3]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa takut dan sedih memiliki kesamaan dari segi derita dan beban batin, dan bahwa perbedaannya ialah bahwa sedih adalah beban batin atas apa yang telah hilang, sedangkan takut adalah beban batin atas apa yang akan terjadi.[4]
Dijelaskan pula bahwa rasa takut yang dialami oleh kalangan umum adalah berkenaan dengan azab. Takut demikian menjadi bukti sahnya keimanan karena lahir dari kepercayaan kepada ancaman, ingatan kepada kesalahan, dan kewaspadaan terhadap akibatnya. Sedangkan rasa takut yang dialami oleh kalangan khusus adalah berkenaan dengan keterhijaban. Dua kategori takut ini juga berbeda dengan pengertian takut yang dialami kalangan yang lebih khusus lagi, karena rasa takut kalangan ini berkenaan dengan wibawa Allah SWT semata.[5]
Tiga kategori atau tingkatan rasa takut ini tak dapat dipungkiri adanya, dan bahwa kategori yang ketiga sebenarnya merupakan sesuatu yang melampau rasa takut. Takut dalam kategori pertama disinggung dalam firman Allah SWT;
إِنَّ فِي ذَلِكَ لاَ يَةً لِّمَنْ خَافَ عَذَابَ الآخِرَةِ ذَلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوعٌ لَّهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُودٌ.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).”[6]
Sedangkan rasa takut pada kategori kedua diisyaratkan antara lain dalam Doa Kumail;
فهبني يا إلهي وسيّدي ومولاي صبرت على عذابك فكيف أصبر على فراقك.
“Wahai Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku, sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksaMu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dariMu?”[7]
Sedangkan keterhijaban maksudnya ialah keterhalangan spiritual, bukan keterhalangan dari memandang Allah SWT dengan pandangan secara materi, karena memandangNya dengan mata yang bersifat materi ini memang mustahil bagi siapapun, termasuk para insan maksum as, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya;
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ مُوسَى صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.’”[8]
لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ.
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”[9]
(Bersambung)
[1] QS. Al-Sajdah [32]: 16 – 17.
[2] QS. Al-Insan [76]: 7-11.
[3] QS. Al-Nazi’at [79]: 40-41.
[4] Syarah Manazil al-Sa’irin, Kamaluddin Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 48 – 49.
[5] Syarah Manazil al-Sa’irin, Kamaluddin Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 48 , dan Syarah Manazil al-Sa’irin karya Sulaiman al-Talmasi, hal. 124 – 125.
[6] QS. Hud [11]: 103.
[7] Mafatih al-Jinan, Doa Kumail.
[8] QS. Al’A’raf [7]: 143.
[9] QS. Al-An’am [6]: 103.