Dawud as, sebagai seorang nabi Allah, tentunya merupakan sosok maksum atau insan yang terpelihara dari segala jenis dosa yang biasa dilakukan oleh manusia-manusia non-maksum. Meski demikian, secara kasat mata beliau dalam bertaubat tak ubahnya dengan manusia biasa, sebagaimana dikisahkan Allah SWT dalam firmanNya;
وَظَنَّ دَاوُدُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعاً وَأَنَابَ
“Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.”[1]
Contoh lain adalah Imam Ali Zainal Abidin yang memiliki julukan al-Sajjad (banyak bersujud). Sebagai seorang imam maksum beliau juga terjaga dari dosa biasa, tapi beliau bertaubat laiknya seorang pendosa, sebagaimana tertera dalam Munajat al-Ta’ibin, dia berucap;
إلهي إن كان الندم على الذنب توبة فإنّي وعزّتك من النادمين، وإن كان الاستغفار من الخطيئة حِطّة فإنّي لك من المستغفرين، لك العتبى حتّى ترضى …
“Ilahi, apabila penyesalan atas dosa merupakan taubat maka, demi keagunganMu, sungguh aku tergolong orang-orang yang menyesal. Dan apabila beristighfar dari kesalahan merupakan permohonan ampunan maka sungguh aku tergolong orang-orang yang beristighfar. KepadaMulah pengakuan atas dosa agar Engkau ridha…”[2]
Baca: Jalinan Ruh Suci Imam Husein a.s. dengan Allah Kekasihnya Lewat Lantunan Doa
Sebagaimana diriwayatkan oleh Thawus al-Faqih[3], Imam al-Sajjad as juga bermunajat;
وعزّتك وجلالك ما أردت بمعصيتك مخالفتك، وما عصيت إذ عصيتك وأنا بك شاكّ ولا بنكالك جاهل ولا لعقوبتك متعرّض، ولكن سوّلت لي نفسي وأعانني على ذلك سترك المرخى به عليّ، فالآن من عذابك من يستنقذني؟ وبحبل من أعتصم إن قطعت حبلك عنّي؟ فوا سوأتاه غداً من الوقوف بين يديك إذا قيل للمخفّين: جوزوا، وللمثقلين حطّوا، أمع المخفّين أجوز؟ أم مع المثقلين أحط.
“Demi kemuliaan dan keagunganMu, aku bermaksiat kepadaMu bukan dengan maksud menentangMu. Tidaklah aku bermaksiat ketika aku bermaksiat kepadaMu. Aku meratap kepadaMu, bukannya aku tidak mengetahui siksaMu, dan bukan pula aku menghampiri siksaMu, melainkan hawa nafsuku telah membuatku menyukainya, dan tabirMu yang menutup akibat maksiat itu telah mendorong untuk berbuat demikian. Sekarang siapakah yang dapat menyelamatkan aku dari siksaMu? Kepada tali siapakah aku berpegang erat jika taliMu Engkau putus dariku? Maka alangkah buruknya kelak berdiri di hadapanMu manakala dikatakan kepada orang-orang yang timbangan dosanya ringan, ‘Biarlah mereka berlalu’, dan kepada orang-orang yang timbangan dosanya berat, ‘Hentikanlah mereka.’ Apakah aku berlalu bersama orang-orang yang ringan dosanya? Ataukah aku berhenti bersama orang-orang yang berat dosanya?”
Patut diingat bahwa taubat Nabi Dawud as dan taubat Imam al-Sajjad as berbeda dengan taubat kita, karena dosa-dosa keduanya berbeda dengan dosa-dosa manusia biasa non-maksum.
Baca: Tangan yang Dicintai Allah
Patut pula dikutipkan di sini ucapan sosok arif besar kontemporer, Ruhullah Imam Khomaini ra, yang dalam kitabnya, al-Arba’un Haditsan, telah meminta maaf karena tak dapat berkomentar banyak tentang jenis-jenis taubat. Dia berkata,
“Ketahuilah bahwa pada taubat terdapat hakikat-hakikat, keunikan-keunikan, dan rahasia-rahasia. Setiap pesuluk menuju Allah memiliki taubatnya sendiri sesuai maqam masing-masing. Karena kita tidak memiliki maqam-maqam itu maka tidaklah relevan berkomentar dan bicara lebih jauh tentang itu dalam kitab ini.”[4]
Apa yang beliau katakan ini didukung oleh riwayat dalam Mishbah al-Syari’ah bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
التوبة حبل الله ومدد عنايته، ولابدّ للعبد من مداومة التوبة على كلّ حال. وكلّ فرقة من العباد لهم توبة، فتوبة الأنبياء من اضطراب السرّ، وتوبة الأصفياء من التنفّس، وتوبة الأولياء من تلوين الخطرات، وتوبة الخاصّ من الاشتغال بغير الله، وتوبة العامّ من الذنوب. ولكلّ واحد منهم معرفة وعلم في أصل توبته ومنتهى أمره…
“Taubat merupakan tali Allah dan pertolongan inayahNya. Seorang hamba harus senantiasa bertaubat dalam segala keadaan. Setiap golongan hamba memiliki taubatnya sendiri. Taubat para nabi adalah taubat dari keguncangan batin, taubat orang-orang yang tulus adalah taubat dari penghelaan nafas (merasa letih), taubat para wali adalah taubat dari keberagaman benak, taubat kalangan khusus adalah taubat dari kesibukan dengan urusan selain Allah, dan taubat orang pada umumnya adalah taubat dari dosa. Masing-masing mereka memiliki pengetahuan dan ilmu perihal taubatnya sendiri dan ujung perkaranya…”
Baca: Kitab Allah dan Hadis Nabi
Selanjutnya kita akan mengupas hakikat taubat berdasarkan beberapa firman Allah Allah SWT sebagai berikut;
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَة ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيب فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً * وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً.
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.”[5]
(Bersambung)
[1] QS. Shad [38]: 24.
[2] Munajat pertama di antara 15 munajat yang masyhur.
[3] Bihar al-Anwar, jilid 46, hal. 81.
[4] Al-Arba’un Haditsan (edisi bahasa Arab), hadis ke-17, hal. 267, edisi bahasa Persia, hal. 283.
[5] QS. al-Nisa’ [4]: 17-18.