Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tentang Agama, Bolehkah Semua Bicara?

Oleh: Ustaz Husein Alkaff

Agama Islam diyakini oleh sebagian pemeluknya sebagai agama yang sempurna dan lengkap. Saya katakan sebagian karena tidak sedikit dari Umat Islam yang meyakini bahwa Islam hanya mengurusi urusan ritual, kehidupan domestik saja, sehingga pada gilirannya, di tengah Umat Islam ada Muslim Sekuler dan Muslim Liberal. Mereka tetap ingin dianggap sebagai bagian dari Umat Islam.

Lebih dari itu dan pada kenyataannya, menjadi Muslim sangat mudah dan cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu, dia bebas mengatakan apapun tentang ketuhanan, kenabian, hari akhir, syariat, dan lain sebagainya. Bukankah Islam mengajarkan kebebasan berpendapat?

Berdasarkan keyakinan seperti itu, maka tidak perlu lagi adanya penerus Nabi Muhammad Saw., seperti Ahlulbait yang diyakini Syiah, atau para ulama dan mujaddid setiap satu abad seperti yang diyakini Ahlusunnah, yang bertugas menjaga kemurnian agama Islam dan meluruskan pemahaman umat Islam tentang Islam. Karena setiap Muslim boleh berpendapat tentang apapun selama mereka mengimani Allah, Nabi, dan Hari Akhir.

Akan tetapi tdak demikian halnya bagi orang Muslim yang meyakini Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna. Islam diyakini mengisi dan mengurusi seluruh sisi kehidupan manusia; urusan pribadi, keluarga, dan sosial dengan segala variannya. Sebagai sebuah agama yang sempurna, dalam Islam ada ajaran yang berkaitan dengan pemikiran dan keyakinan (teologi atau aqidah), ada ajaran yang berkaitan dengan perbuatan dan sikap sehari-hari (hukum syariat)dan ada pula ajaran yang berkaitan dangan hati (akhlak).

Kata mereka, untuk memahami ajaran-ajaran tersebut, khususnya teologi dan hukum syariat, membutuhkan keahlian dan kecakapan (malakah) selain pengetahuan yang luas (kognitif).

Sebenarnya sekedar mempunyai pengetahuan yang luas cukup dengan banyak membaca buku, tapi untuk memiliki “malakah” harus melalui perdebatan dan diskusi ; mempertahankan pendapat dan menolak pendapat dengan argumentasi yang teruji, dalam waktu yang panjang untuk setiap masalah.

Pada era digital sekarang ini, menjadi manusia yang luas pengetahuannya sangat mudah sekali asalkan dia rajin duduk sambil berselancar di dunia maya dengan computer, tablet, atau HP.

Tidak demikian untuk memiliki keahlian dan kecakapan dalam satu masalah agama.

Masih menurut keyakinan mereka, tidaklah patut seseorang yang tidak memiliki malakah dalam ilmu agama untuk berpendapat tentang ajaran agama kecuali sekedar mengutip pendapat para ahli saja bahkan urusan akhlak sekalipun, karena pembahasan akhlak juga tidak semudah yang dibayangkan. Ghazali, misalnya, menulis buku tentang kerumitan hati dalam bukunya, “Ajaib al Qalbi. Betapa sulit mengatur hati agar tidak terjangkit penyakit sombong, riya’, ujub, dan lainnya, kecuali jika akhlak diartikan sebagai norma, maka setiap orang mengetahui mana norma yang baik dan mana norma yang buruk, dan bahkan menjadi pendakwah dengan bekal ilmu tentang norma-norma tidak perlu belajar.

Saya kira keyakinan mereka logis dan realistis serta tidak berlebihan, karena dalam dunia saintis-akademis juga seperti itu. Ada seorang teman dokter spesialis saat saya bertanya tentang satu penyakit yang bukan bidang spesialisnya, dia menjawab, “Saya tidak paham masalah itu”. Ada kerendahan hati dalam berilmu dan ada etika dalam menyampaikan pendapat. Ketika dia sadar bahwa satu masalah itu bukan bidangnya, maka dia mengatakan, “tidak tahu”, atau dia menghargai orang yang ahli di bidang itu.

Ajaran dan ilmu agama tidak kalah pelik dan rumit dari ilmu-saintis, bahkan boleh jadi memahami ajaran agama lebih rumit, karena obyek ilmu-saint adalah materi yang bisa diuji-coba lewat laboratorium atau perangkat material lainnya. Sementara memahami ajaran agama diambil dari teks-teks yang suci; Alquran dan Hadis, yang alat uji-coba pemahamannya bukan materi sehingga tingkat relativitas kebenarannya lebih tinggi dari saintis.

Karena itu, memahami ajaran agama lebih sulit dan rumit, dan pada gilirannya, mestinya yang berpendapat tentang ajaran agama lebih sedikit ketimbang berpendapat tentang saintis.

Yang aneh bin ajaib, beberapa akademisi di bidang ilmu saintis tidak konsisten saat bicara agama. Mereka ikut memberikan pandangan tentang agama; membenarkan atau menyalahkan, dan saat yang sama mereka tidak melakukan itu dalam bidang sains yang tidak dikuasainya. Sebuah paradoks dan inkonsinstensi.

Sekali lagi keluasan pengetahuan seseorang tentang ilmu agama karena hasil bacaan yang banyak tidak otomatis menjadikannya ahli dalam ilmu agama sehingga boleh berpendapat. Untuk menjadi dokter tidak cukup dengan membaca buku kedokteran berjilid-jilid sehingga melakukan diagnosa terhadap sebuah gejala penyakit dan lalu memberikan resep.

Dua keyakinan tentang agama Islam tersebut melahirkan cara pandang dan sikap yang berbeda. Pemegang keyakinan yang pertama akan dengan mudah berbicara tentang agama Islam, karena agama Islam disederhanakan dengan dua kalimat syahadat sehingga tidak membutuhkan keahlian untuk bicara agama.

Pemegang keyakinan kedua akan berhati-hati dalam bicara tentang agama, karena agama Islam adalah agama yang mengatur seluruh sisi kehidupan manusia yang sangat luas bahkan rumit. Pilih yang mana Bang?

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT