Sebagian berpendapat bahwa ilmu ghaib hanya Allah yang memilikinya, dan tidak berlaku bagi selain Dia, termasuk para utusan-Nya sekalipun. Memang, tak diragukan, bahwa ilmu Allah swt meliputi segala wujud. Tiada satupun wujud yang ghaib bagi Allah, dan bahwa ghaib dan nyata adalah sama bagi-Nya. Sebab, wujud-Nya tak terbatas.
Beberapa ayat Alquran yang dijadikan dalil bagi pendapat tersebut, di antaranya: “Dan mereka berkata: Mengapa tidak diturunkan kepadanya suatu mukjizat dari Tuhannya? Maka katakanlah: Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah; sebab itu tunggu (sajalah) olehmu. Sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu.” (QS: Yunus 20)
Banyak ayat lainnya yang terkait, yang menjadi dalil bagi satu pendapat, bahwa ilmu ghaib adalah kepunyaan Allah semata, dan bahwa para nabi termasuk Nabi Muhammad saw secara tegas mengakui tidak mempunyai ilmu ghaib. Oleh karena itu tiada yang mengetahui ghaib selain Allah.
Tetapi Alquran tak Meniadakan Ilmu Ghaib bagi Selain-Nya
Pendapat lainnya mengatakan, bahwa keghaiban mutlak hanya bagi Allah swt. Wujud-Nya yang tak terbatas, secara esensial Dia meliputi alam ghaib. Ilmu-Nya yang tak bergantung pada yang lain, dan bahwa Dia mengetahui semua yang ghaib, pengetahuan-Nya ini adalah khusus bagi Allah. (Baca: Menjaga Kehormatan Di Sisi Allah-1)
Bila para nabi menyaksikan dan juga mengetahui alam ghaib, pengetahuan mereka ini tidaklah secara esensial. Meskipun kesempurnaan mereka di atas selain mereka, tetapi eksistensi mereka tetaplah terbatas dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab, mereka tak mencapai keghaiban mutlak dan ruang eksistensi mereka yang terbatas tak cukup menampung alam metafisik yang teramat luas.
Dengan keterbatasan tersebut, tak berarti mustahil bagi manusia terhubung dengan alam ghaib. Allah Yang Mahakuasa Sang Pemilik segala yang ghaib dan yang nyata, mampu menghubungkan hamba-hamba-Nya yang saleh dengan alam ghaib. Dia membukakan pintu alam ghaib itu di hadapan mereka dan menampakkan hakikat-hakikatnya bagi mereka.
Alquran tak menafikan itu, bahkan menetapkan ilmu ghaib bagi para nabi, firman Allah:
(Dia adalah Tuhan) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS: Al-Jin 26).
Diterangkan dalam ayat suci ini bahwa Allah Yang Maha mengetahui semua yang ghaib, tak ada yang mengetahui keghaiban-Nya kecuali hamba-hamba pilihan-Nya, dan di antara mereka adalah para utusan Allah. Hal ini merupakan pengecualian, dan atas kehendak serta dukungan Allah, seorang rasul dapat berhubungan dengan alam ghaib. (Baca: Doa Imam Ja’far Shadiq Untuk Memudahkan Urusan)
Allah swt berfirman: Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya. (QS: Al Imran 179)
Dapat dipetik pengetahuan dari ayat ini dan ayat lainnya yang terkait, bahwa seorang nabi dapat berhubungan dengan yang ghaib. Selain itu, ayat-ayat lainnya juga menerangkan bahwa Allah menyampaikan berita-berita ghaib kepada nabi-Nya:
Yang demikian itu adalah sebagian dari berta-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad). (QS: Al Imran 44, dan ayat-ayat lainnya seperti Yusuf 102 dan Hud 49)
Melalui wahyu, Allah swt memberitahu sebagian hakikat dan perkara yang ghaib kepada para utusan-Nya, dan menghubungkan mereka dengan alam ghaib. Jadi, berdasarkan ayat-ayat di atas:
1-Tidak diragukan bahwa para rasul menerima wahyu.
2-Wahyu merupakan hubungan khusus, rahasia dan luar biasa, yang terjalin antara nabi dan alam ghaib.
3-Allah Yang Maha pemurah membukakan pintu ghaib di hadapan hamba dan utusan-Nya.
Syaikh Ibrahim Amini mengungkapkan: Sinar dari alam yang bercahaya ini menerangi kalbu suci Nabi, dan ia menyaksikan alam itu dengan mata batinnya. (Baca: Imam, Seumpama Jantung dan Otak Manusia)
Kendati mereka yang mempunyai koneksi dengan alam ghaib, mereka takkan mencapai keghaiban mutlak; pengetahuan mereka tak lebih dari kapasitas eksistensi mereka yang berbatas dan tidak mandiri di dalamnya.
Kesimpulan
Syaikh Ibrahim Amini menyimpulkan bahwa semua ayat di atas terbagi dua kelompok:
Yang pertama, adalah ayat-ayat yang meniadakan ilmu ghaib bagi selain Allah.
Yang kedua, adalah ayat-ayat yang menetapkan ilmu ghaib bagi selain Allah dengan suatu batasan.
Jika direnungkan, kedua kelompok ayat tersebut dapat dihimpun dalam satu pemikiran, dan akan menjadi jelas makna bagi ayat-ayat berikut ini:
Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku,” (QS: al-Ahqaf 9). Bahwa, Rasulullah saw mengungkapkan: “Aku dan kalian tidak mengetahui tentang nasibku sendiri dan nasib kalian!. Setelah itu beliau mengatakan: (Tetapi) Aku mengikuti wahyu Allah. (Baca: Urgensi Wahyu dalam Kehidupan Manusia)
Adalah jelas bahwa Nabi saw mengetahui tentang masa depan beliau dan orang lain, melalui wahyu samawi.
Ayat-ayat lainnya, Allah berfirman: Di antara orang-orang Arab badui yang di sekelilingmu, ada orang-orang munafik, dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka tetap dalam kemunafikannya. Kami tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. (QS: at-Taubah 101)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS: al-Isra 36)
Jadi, kendati ayat-ayat ini meniadakan ilmu (yang ghaib) dari Rasulullah saw, tetapi dalam konteks ayat-ayat sebelumnya dan dalam hadis-hadis dikatakan bahwa: Secara esensial beliau tak mengetahui yang ghaib, tetapi melalui wahyu beliau dapat berkomunikasi dengan yang ghaib.[*]
Baca: Seorang Imam juga Berpengetahuan Ghaib