Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pentingnya Masalah Kepemimpinan dalam Islam: Suatu Analisis Al-Qur’an

“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang­-orang yang beriman yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan rukuk.” (QS. al-Maidah: 55)

Terkadang sebagian orang mempertanyakan, mengapa Al-Qur’an al-Karim tidak membahas kepemimpinan Ahlulbait, padahal Al­Qur’an membahas banyak masalah yang mungkin tidak sepenting masalah kepemimpinan sepeninggal Rasulullah Saw?

Pada hakikatnya, pertanyaan ini justru lebih banyak berisi kritikan kepada penanya sendiri daripada sebuah pertanyaan penolakan (istinkari) atas penjawab. Karena bagaimana mungkin Al-Qur’an al-Karim tidak berbicara tentang masalah kepemimpinan Islam, yang merupakan salah satu masalah terpenting dalam Islam, sementara masalah-masalah yang lain saja dibicarakan?

Bagaimana mungkin Al-Qur’an mengabaikan masalah yang sangat penting dan menentukan di dalam kehidupan Muslimin ini?

Bagaimana mungkin kita dapat mengatakan bahwa ia tidak membahas masalah yang sangat mendasar ini, padahal Al-Qur’an adalah penjelas bagi segala sesuatu. Mahasuci Allah dari meninggalkan umat Islam dalam keadaan sia-sia tanpa memiliki pemimpin yang memberikan petunjuk, padahal Allah Swt berkata kepada Rasul­Nya, “Sesungguhnya engkau adalah pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.”

Baca: Doa Imam Zaman dan Memohon Pemimpin yang Adil

Al-Qur’an pasti telah membahas masalah yang penting ini. Ini adalah kesepakatan Muslimin. Namun bagaimanakah Al­Qur’an membicarakan masalah ini? Apakah Al-Qur’an menentukan para pemimpin tersebut?

Inilah yang menjadi titik perbedaan di kalangan Muslimin: Sebagian ulama Muslim berpendapat bahwa masalah khilafah ditentukan sesuai dengan sistem musyawarah di dalam Islam. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt yang berbunyi, “Sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. asy-Syura: 38)

Namun sebagian lain menolak argumentasi ini. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya masalah khilafah tidak bisa ditentukan melalui asas musyawarah, meskipun musyawarah adalah suatu hal yang sangat penting pada banyak masalah.

Kepemimpinan di dalam Islam adalah menggantikan kedudukan Rasulullah Saw, mengurusi urusan Muslimin baik yang menyangkut masalah agama maupun masalah dunia, serta menyelenggarakan hukum sesuai dengan kehendak Ilahi. Untuk memenuhi peran ini, syarat-syarat, kemampuan, dan kelayakan yang ada pada Rasulullah Saw harus dipertimbangkan, kecuali dalam hal wahyu yang berhubungan dengan kenabian. Karena penetapan Nabi bersumber dari Allah Swt dan tidak dapat diganggu gugat, maka pemimpin yang menggantikan Rasulullah Saw juga harus dipilih dan ditentukan oleh Allah. Tidak ada yang mengetahui rahasia yang tersembunyi di dalam hati kecuali Allah, dan tidak ada yang lebih mengetahui siapa pemimpin yang layak menduduki kedudukan Ilahi ini selain Allah Swt.

Allah tidak akan memberikan urusan pemilihan ini kepada umat Muslim jika Dia mengetahui bahwa mereka akan terjerumus ke dalam kesalahan yang fatal dan menghasilkan akhir yang buruk. Kriteria pemilihan manusia berbeda dengan standar pedoman dalam risalah Ilahi. Faktor-faktor seperti akal, hawa nafsu, dan kepentingan manusia dapat mengubah pemilihan mereka terhadap sosok yang ideal. Faktor-faktor ini menyebabkan terpilihnya individu yang tidak layak untuk mengemban peran Ilahi ini, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kemunduran dan nasib buruk bagi umat Muslim.

Hal ini berlawanan dengan tujuan Ilahi dalam mengutus para rasul dan menurunkan Kitab Suci. Allah Swt berfirman, “Dan menghilangkan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. al-A’raf: 157)

Allah Swt juga berfirman, “Untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.” (QS. al-Baqarah: 257)

Mengapa Allah Swt akan mengabaikan mereka dan membiarkan mereka memilih pemimpin yang tidak memiliki kedekatan dengan-Nya, yang akan mengubah manusia dari cahaya menjadi kegelapan? Padahal, Allah mampu menerangi jalan dan memilih imam yang memberikan petunjuk, wali yang membimbing, dan pemimpin yang lebih layak untuk mengurus masalah mereka. Allah berfirman, “Allah adalah pemimpin bagi orang-orang yang beriman, yang mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.” (QS. al-Baqarah: 257)

Jika masalah kepemimpinan Islam dianggap berada di tangan manusia -sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa pihak- maka hal ini juga akan berarti bahwa masalah penentuan rasul pun berada di tangan manusia, berdasarkan prinsip musyawarah. Jika Allah tidak mungkin menyerahkan masalah penentuan Rasul kepada manusia, maka masalah penentuan khalifah Rasulullah pun tidak bisa diserahkan kepada mereka. Kriteria dan alasan yang mendorong pemilihan seorang rasul sama dengan kriteria dan alasan yang mendorong pemilihan washi dan khalifah setelah Rasulullah Saw.

Jika tidak demikian, maka Allah Swt akan menyerahkan masalah penentuan rasul kepada manusia, dan ini akan menyebabkan pertentangan antara rasul dan kaumnya serta protes terhadap kualitas pemilihan rasul. Allah Swt mencatat protes ini:

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa rasul ini makan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepada dia seorang malaikat sebagai pemberi peringatan bersamanya? Atau mengapa tidak ada harta karun yang diturunkan padanya, atau mengapa tidak ada taman bagi dia yang dia makan dari buahnya?’ Dan orang-orang yang berlaku zalim berkata, ‘Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang terkena sihir.’ Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan tentang kamu, lalu mereka tersesat, dan mereka tidak sanggup menemukan jalan (untuk menentang kerasulanmu).” (QS. al-Furqan: 7-9)

Cara berpikir manusia dalam memilih sesuatu didasarkan pada fenomena materi dan kedudukan sosial, sering kali tanpa mempertimbangkan kebenaran serta kualitas keilmuan dan spiritual. Ini terungkap dalam Al-Qur’an saat menjelaskan protes orang-orang musyrik terhadap Rasulullah Saw, “Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua kota (Mekah atau Tha’if)?” (QS. az-Zukhruf: 31)

Nada yang serupa juga diutarakan oleh Bani Israil kepada nabi mereka ketika nabi tersebut menyampaikan pesan Allah, “Nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja untukmu.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana Thalut yang memerintah kami, padahal kami lebih berhak menjadi pemimpin dari padanya, dan dia bahkan tidak dianugerahi banyak harta?’ Nabi mereka menjawab, ‘Allah telah memilihnya menjadi raja untukmu dan memberinya ilmu yang luas serta fisik yang kuat.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 247)

Karena itu, Allah tidak menyerahkan masalah pemilihan para rasul kepada manusia, “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan manusia.” (QS. al-Hajj: 75)

Begitu juga, pemilihan khalifah pengganti para rasul tidak bisa diserahkan kepada manusia. Manusia tidak mampu memahami rahasia batin. Banyak orang yang dipilih oleh manusia dengan keyakinan bahwa mereka memiliki kesempurnaan ilmu, kebaikan moral, dan keimanan yang tinggi, namun pada akhirnya mereka menyesal dan kecewa atas pilihan mereka. Bahkan, pemilihan para nabi pun kadang-kadang tidak tepat jika tidak bergantung pada petunjuk Ilahi. Banyak nabi yang memilih berdasarkan keyakinan pribadi terhadap individu yang saleh dan bertakwa di kalangan mereka, namun kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Al-Qur’an menceritakan bagaimana Nabi Musa as. kesulitan memilih individu saleh dari kaumnya untuk memenuhi janji pertemuan dengan Allah, meskipun telah berusaha dengan sungguh-sungguh.

Baca: Peran Kepemimpinan dalam Kehidupan Manusia

Selain itu, musyawarah hanya efektif ketika tidak ada ketetapan Ilahi dalam penentuan para washi. Jika tidak ada ketetapan Ilahi, tidak seorang Muslim pun dapat melanggar ketetapan tersebut. Jika seseorang melanggarnya, dia akan dianggap kafir atau fasik, tergantung pada kasusnya. Namun, jika sudah ada ketetapan Ilahi, Al-Qur’an menyatakan bahwa siapa pun yang tidak mengambil keputusan berdasarkan apa yang diturunkan Allah adalah orang yang kafir, lalim, atau fasik.

Sebagaimana dinyatakan oleh Al­Qur’an, “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir …. Barang­siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim…. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang fasik. (QS. al-Maidah: 45-47)

*Dikutip dari buku Artikel Pilihan – Syahid Muthahhari

No comments

LEAVE A COMMENT