Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tingkat Kemaksuman Nabi Muhammad saw

maksum, nabi muhammadBukhari dari Abul Walid dari Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Abi Mulaikah dari Miswar bin Makhramah, menukil bahwa Rasulullah bersabda: فاطمة بضعة مني فمن اغضبها اغضبني; “Fatimah (putriku) belahan diriku. Siapa yang membuat ia marah, telah membuat aku marah” (Shahih al-Bukhari, juz 4, Fadhail ash-Shahabah, bab Manaqib Qarabatu Rasulillah saw, hal 210, hadis 3510; dan bab Manaqib Fathimah, hal 219, hadis 3556)

Pengkajian riwayat ini dari dua sisi; dalil dan makna:

Sisi yang pertama, kesahihan riwayat ini jelas tanpa dipersoalkan lagi. Dzahabi (Mizan al-I’tidal, juz 2, hal 491) juara pengkritik di kalangan Ahlussunnah menilai hadis (serupa di atas) ini, فاطمة بضعة مني يريبني ما رابها ويؤذيني ما اذاها; “Fatimah (putriku) belahan diriku. Meragukan aku siapa yang meragukan dia, dan menyakiti aku siapa yang menyakiti aku.” adalah sahih. Selain itu, riwayat terkait mencapai tingkat kemutawatiran ijmali (secara global). Datangnya dari Rasulullah saw dipastikan tanpa disangsikan.

Ridha Tingkat Akal dan Hati

Sisi yang kedua, riwayat (sebagaimana dari Sahih Bukhari) di atas merupakan premis bagi riwayat yang kedua berikut ini:

Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah:

ان الله يغضب لغضبك ويرضى لضاك; “Sesungguhnya Allah murka dengan murkamu dan ridha dengan ridhamu.” (al-Ahad wa al-Matsani/adh-Dhahhak, juz 5, hal 313, dan kitab-kitab hadis lainnya). Bahwa, ridha dan murka tersebut berasal dari tabiat alami (haiwani) yang sampai pada kehidupan insani. Level kehidupan manusiawi dicapai ketika prinsip ridha dan murka sepenuhnya adalah akal. Karena, دعامة الانسان العقل; “Tonggak identitas manusia adalah akal.” (al-Kafi, juz, hal 25)

Insaniyah ini takkan dicapai oleh orang yang ridha karena suatu kedudukan, walau bukan –dan termasuk- karena masalah perut dan syahwat. Atau ketika seseorang berpaling darinya, dia menjadi tertekan. Atau dia menjadi kesal karena orang itu lebih unggul darinya. Tetapi insaniyah hanya bisa dicapai bila ridha dan murkanya itu bersumber dari akal. (Baca: Berbahagialah Para Pencinta Fatimah Az-Zahra a.s.)

Dalam hidup seseorang apabila ridhanya satu kali bersumber dari akal, pada saat itu satu kali ia menjadi manusia, yakni menjadi yang berakal. Jika ridhanya mutlak, bukan kesekian kalinya tetapi seterusnya demikian itu, maka ia menjadi manusia yang selalu berakal; “Ia ridha karena akalnya ridha dan murka karena akalnya murka.” Namun bila satu kali ridhanya karena perut atau kedudukan, pada saat itu juga ia menjadi binatang, dan sampai ketika ridhanya bersumber dari akalnya saat itu ia menjadi manusia.

Kemudian, level di atas akal (insaniyah) tersebut menurut Ayatullah Uzhma Wahid Khurasani ialah maqam yang kehendaknya menjadi fana dalam kehendak Allah. Bila kehendak hamba fana dalam kehendak Tuhan, maka “Ia ridha karena Tuhan ridha dan murka karena Tuhan murka.”

Mengenai siapa yang telah mencapai maqam akal saja -sebagaimana di atas- Ayatullah Wahid Khurasan mengatakan: “Kenalkan dan tunjukkan kepada saya di mana dia di atas bumi ini, kita akan datang untuk menemuinya, akan saya cium tangannya bahkan debu di kakinya.” Yang sampai pada tingkat ini, ia adalah calon pencapai tingkat “ridha karena Tuhan ridha dan murka karena Tuhan murka.” Dalam semua urusan keberadaannya, termasuk seandainya orang-orang membunuh anaknya, lalu dia murka maka itu karena Allah, dan apabila mereka tidak membunuhnya, lalu dia ridha maka itu juga karena Allah. (Baca: Ridha Kepada Allah)

Hal tersebut susah dibayangkan, apalagi diwujudkan. Demikian itulah puncak kedudukan yang disebut oleh Ayatullah Wahid Khurasani, maqam ishmah khatamiyah (penutup kenabian saw). Kemaksumannya tiada tara. Yakni, cinta dan benci seorang yang mencapai kedudukan ini menjadi lenyap dalam cinta dan benci Tuhan. Ia suka sesuatu yang Allah suka dan tidaknya juga demikian. Ialah kemaksuman khatamiyah yang di atas level kemaksuman para nabi. Ialah kemaksuman Sang Nabi Penutup saw.

Pribadi agung yang demikian mencapai apa yang Allah firmankan: وَما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى‏ إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحى; “dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS: an-Najm 3-4). Inilah maqam “yurdhi li ridha ar-rabb wa yaghdhabu li ghadabi ar-rabb”; ridha karena Allah ridha dan murka karena Allah murka.[*]

Referensi:

Halaqe-e Washle Resalat wa Emamat/Ayatullah Syaikh Wahid Khurasani

Baca: Apakah Imam juga Maksum seperti Nabi?


No comments

LEAVE A COMMENT