Mengapa kita mencintai dan mengikuti Muhammad saw? Apakah karena figurnya ataukah karena ke-muhammad-annya? Dengan kata lain, manakah yang mesti diutamakan, figur atau konsep dan kriterianya?
Banyak orang mengabaikan konsep dengan fokus pada figur yang menjadi manifest konsep. Orang pada umumnya mengutamakan siapa atas apa. Dan karena ini pula, orang dengan mudah menolak sebuah gagasan dan pandangan karena terfokus pada siapa.
Kenabian tentu mendahului figur sang nabi. Kenabian adalah sebuah konsep teologis yang merupakan konsekuensi logis dari konsep ketuhanan. Artinya tanpa kenabian, keyakinan seseorang pada figur nabi kehilangan landasan teologis. Kecintaan kepada Muhammad tanpa dasar keyakinan akan perlunya lembaga mediasi Tuhan dan makhluk adalah kekaguman non teologis. Karena itu, tidaklah mengherankan bila seorang non Muslim bahkan yang tidak beragama sekalipun mengagumi Muhammad sebagai figur.
Kenabian adalah garis pemisah antara manusia beragama dan tidak beragama, dan titik temu semua yang mengimani agama wahyu. Kata “nabi” memiliki dua arti. Jika “nabi” berasal dari kata naba`, maka maksud dari kata tersebut adalah pemilik kabar dan berita penting. Sedangkan, jika kata tersebut diambil dari akar kata nubuwah, maka arti nabi adalah orang yang mempunyai posisi atau kedudukan yang tinggi.
Dalam istilah ilmu Kalâm, nabi adalah seorang yang telah diutus oleh Tuhan dengan membawa wahyu dengan tujuan membimbing manusia dalam mencapai kesempurnaan akhir.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa mengenal nabi tanpa wahyu merupakan hal yang amat mustahil.
Wahyu secara etimologis berrarti isyarat, penulisan, tulisan, risalah, misi, dan wangsit (perkataan yang yang tidak diketahui asal muasalnya).
Secara terminologis, wahyu memiliki banyak pengertian, antara lain a) petunjuk yang samar; b) bimbingan instingtif; c) ajakan buruk. Al-Qur’an juga menyebut bisikan setan sebagai sebuah wahyu. Al-Qur’an mengatakan, ”Dan sesungguhnya setan membisikan pada kroni-kroninya untuk bangkit dan berdebat dengan kalian, dan jika kalian menaati mereka, niscaya kalian akan mejadi orang-orang yang menyekutukan Allah. d) Wahyu risâlî. Wahyu ini khusus turun atas para nabi. Inilah petunjuk Ilahi yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan untuk membimbing manusia menggapai kebahagiaannya, dan mereka adalah penerima misi dan tugas Tuhan yang bertugas menyampaikannya kepada manusia. Mereka adalah pribadi-pribadi agung dan sempurna yang memiliki kelayakan dan potensi untuk menerima dan mengemban tugas berat itu. Tuhan pun mengetahui kelayakan ini. “Allah lebih mengetahui di mana Ia harus menempatkan tugas risalah-Nya”. (Al An’âm : 124)
Kendati fenomena wahyu merupakan hal non-indrawi, pengaruh dan dampaknya bisa dirasa dan diketahui, sebagaimana keberanian, ketakwaan dan kejiwaan lain yang tak bisa dilihat, didengar atau diraba. Namun, kita dapat memahami keberadaan sifat-sifat tersebut melalui dampak dan pengaruhnya terhadap figurnya.
Karena itu, hubungan kita dengan Muhammad berdimensi rasional lalu berdimensi emosional. Setelah terikat oleh keyakinan rasional tentang konsep kenabian Muhamamd saw, maka kita akan terikat secara emosional spiritual pada figurnya, berupa cinta dan ketataan. Artinya, ke-muhammad-an harus mendahului Muhammad.
Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
Memperingati kelahiran Nabi berarti menghormatinya. Menghormati Nabi berarti memuliakan sesuatu yang membuatnya dihormati. Yang membuatnya dihormati adalah fungsi, tugas, jasa, ajaran, perilaku, pengorbanan dan semua aspek kehidupannya. Dan yang terpenting, menghormatinya karena ingin mematuhinya.
Bila mematuhi Allah, maka tentulah maksudnya adalah mematuhi Nabi atau mematuhiNya melalui Nabi. Kepatuhan tak horisontal tapi vertikal gradual. Artinya, Allah dan Nabi dan para pemuka agama tak berada dalam posisi sejajar.
Ayat populer terkait dengan tema ini dalam al-Quran, “Patuhilah Allah dan patuhilah Rasul serta para pengemban amanat di antara kamu” bermakna “patuhilah Allah dengan mematuhi Nabi dan Ulul Amr di antara kamu”.
Mengapa kepatuhan sejati bersifat vertikal? Penjabarannya antara lain sebagai berikut:
A. Allah adalah pemilih wujud, bahkan Dialah wujud tunggal, sedangkan selainNya adalah wujud-wujud kopulatif yang secara abadi bergantung kepadaNya. Makhluk yang bergantung kepadaNya tak bisa berhubungan denganNya secara langsung karena Dia tak sama dengan makhluk dalam segala hal kecuali dalam wujud; Artinya, yang menghalangi makhluk berhubungan secara langsung dengan Tuhan adalah sistem gradualitas eksistensi.
B. Kepatuhan kepada Nabi secara vertikal adalah konsekuensi kepatuhan primer dan hakiki kepada Allah, karena semua ajaran dan perintahNya dipatuh melalui wahyu dalam Al-Quran dan Sunnah yang dititipkan kepada Nabi.
C. Andai makhluk dan hamba bisa berhubungan langsung dengan Khaliq, tentu kenabian yang berfungsi sebagai lembaga mediasi tak diperlukan. Allah maha mampu berhubungan langsung namun keterbatasan makhluk menjadi kendalanya.
D. Andai makhluk yang maha berbatas bisa berhubungan langsung dengan maha tak terbatas, maka hilanglah perbedaan makhluk dengan Tuhan akibat hubungan langsung itu. Bila hilang perbedaan, tak ada lagi makhluk.
Karena itu, kepatuhan kepada Allah sebagai pemilih kewenangan primer hanya bisa terlaksana dan terjadi melalui perantara Nabi via Al-Quran dan Sunnahnya serta para wali suci pilihannya.
Setidaknya, memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah ekspresi penghormatan dan tanda keinginan mematuhi Allah melaluinya.
Muhammad Adalah Hamba Juga Rasul
Umat Muslim memang menolak klaim tentang Jesus sebagai putera Tuhan, Tapi Jesus diyakini sebagai manifestasiNya. Pandangan ini berlaku juga atas Muhammad yang diyakini sebagai manifestasi utamaNya. Artinya, mengagungkan Muhammad tak niscaya melucuti aspek humanitasnya. Umat Islam megimani kenabian Muhammad SAW dan meyakini posisi sebagai nabi termulia tapi juga meyakininya sebagai hamba. Dengan segala keagungannya, dia tetaplah hamba.
Kalimat syahadah yang lengkap memuat iman kepads kehambaannya sebelum iman kepada kerasulannya, “Asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh”. Muhammad SAW adalah entitas immanen yang menyejarah sebagai manusia sekaligus transenden sebagai manifestasi eksternal nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Ia adalah immanen sebagai hamba sekaligus transenden sebagai rasulNya.
Sebagai kombinasi imanensi dan transendensi, Muhammad SAW adalah manusia sempurna yang merupakan cahaya kedua yang bersih dari prilaku yang bertentangan dengan citra kesucian.
Dalam kesadaran mistikal yang berbasis aksioma filsafat, Muhammad bukan hanya sebuah entitas personal yang pernah hadir dalam sebuah etape masa, namun ia adalah entitas impersonal yang eksistensial.
Kedudukan Jesus yang begitu tinggi dalam teologi Kristiani mengungkap makna antropotesitas ini dalam pandangan sebagian umat Islam. Karena itu, ada harmoni lintas agama dalam pemaknaan tentang hakikat Tuhan dalam emanasi, iluminasi dan gradasi.
Sayangnya, karena piciknya pemahaman tentang eksistensi sebagai akibat penyanderaan filsafat dan mistisisme filosofis, sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut dan pencintanya justru mereduksi realitasnya.
Muhammad, Jesus dan para jejiwa suci dihadirkan sebagai prototipe dan model substansi humanitas yang tak lain adalah divinitas itu sendiri untuk ditiru dan diteladani, bukan diturunkan dan diimaginasikan sesuai standar estetika fisikal dalam temporalitas dan mortalitas.
“Mengkultuskan Nabi”
Kaum penyembah teks yang konservatif dan kaum anti teks yang mengaku inklusif kadang berkolaborasi dalam satu pandangan. Salah satunya adalah menganggap penghornatan kepada Nabi SAW sebagai kultus. Para penyembah teks mengharamkan atau membid’ahkan upacara Maulid karena menganggapnya kultus yang membuahkan syirik dan karena tak menemukan teks agama yang menganjurkannya. Sebagian kaum modernis mencemooh kecaman kepada penghina Nabi SAW dan merespon anjuran boikat dengan candaan tak lucu seraya menganggapnya sebagai kultus.
Dalam kamus bahasa Indonesia salah satu arti kultus adalah penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda.
Banyak orang tanpa dasar parameter logis tentang pengertian “berlebihan” menganggap sikap dan perlakuan tertentu kepada seseorang sebagai kultus. Kata kultus sering digunakan secara kultus pula. Padahal kultus adalah pengistimewaan yang tak istinewa atau perlakuan berlebihan kepada seseorang.
Tolok ukur berlebihan dan proporsional haruslah logis, impersonal dan permanen, bukan atas dasar interest personal, komunal, sektarian dan primordial.
Penghormatan besar atau perlakuan istimewa kepada seseorang tak selalu kultus. Kadang justru perlakuan proporsional kepada seseorang terlihat (di mata orang lain yang tak menemukan alasan dalam benaknya untuk memperlakukannya seperti itu) sebagai berlebihan atau kultus.
Mestinya sebuah sikap dan perlakuan khusus atau penghormatan disebut berlebihan karena melebihi atau melampaui kapasitas dan hak penghormatan yang sesuai kapasitas, kiprah dan tanggungjawabnya.
Yang perlu dihindari adalah “memukul rata” dengan anggapan bahwa semua penghormatan dan kepatuhan atau keterikatan kepada seseorang atau keyakinan atau apapun sebagai kultus.
Sumber anggapan serampangan tentang kultus ini adalah krisis nalar dalam memahami paradigma kenabian sebagai lembaga transenden mediasi antara Tuhan dan hamba.