Keberhasilan dalam perilaku sosial berhubungan langsung dengan aturan-aturan tertentu yang harus kita pelajari dan yang di atasnya, kita bangun perilaku kita. Karena, peranan manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan pengetahuannya tentang batas-batas kewajibannya adalah salah satu persoalan yang menentukan kesengsaraan atau kebahagiaannya.
Kebutuhan akan keserasian dan kemantapan hubungan antar manusia adalah perilaku yang tertanam secara mendalam pada watak manusia. Setiap orang cenderung kepada cinta dan keserasian; karena itulah manusia membenci kesepian dan keterpencilan. Namun, apabila seseorang tidak mencapai kedamaian akal dan jiwa, ia tak akan mampu hidup damai dengan orang lain atau dengan dirinya sendiri.
Kedamaian, keserasian, dan kerja sama adalah faktor-faktor yang hakiki bagi kehidupan bermasyarakat yang sehat dan damai. Menghormati hak-hak dan perasaan orang lain adalah syarat utama yang harus dilakukan dalam seni pergaulan yang membangun. Dalam hal ini, hubungan antar pribadi, beroleh kekuatan dan keberlanjutan. Orang yang tidak memiliki perilaku tersebut, secara alami akan kehilangan hubungan yang berimbang dengan orang lain, serta basis kasih sayang dan keserasian melemah dalam dirinya. Dalam keadaan bagaimana pun, ia tak dapat memelihara hubungannya dengan orang lain pada tingkat yang dapat diterima.
Salah satu perangai buruk yang sangat melukai perasaan orang lain dan menghancurkan hubungan cinta kasih antar manusia adalah perdebatan. Orang yang suka berdebat harus menyadari bahwa cinta diri yang berlebihan adalah salah satu faktor utama yang menciptakan perangai buruk ini. Perangai buruk ini hanya akan tumbuh bila diairi dengan arus naluri yang khianat ini.
Baca: Debat antara Yahya bin Aktsam dan Imam Muhammad al-Jawad a.s.
Orang yang suka berdebat, untuk memuaskan kehausannya akan kesombongan, menentang setiap pendapat yang mungkin diajukan di setiap pertemuan, bukan untuk menyuguhkan gagasan yang benar atau untuk menghapus pandangan keliru, tetapi untuk menghancurkan kepribadian lawan dengan tuduhan-tuduhan palsu. Ia berusaha menciptakan keluhuran palsu bagi dirinya dengan berbuat demikian. Orang semacam itu mungkin menyembunyikan tujuannya di balik gaya bicaranya atau perbendaharaan kata-katanya. Dengan cara ini, si pendebat menghilangkan ruh hakim yang adil, serta lancang melakukan segala macam kezaliman dan kenistaan di atas hak-hak orang lain.
Selanjutnya, reaksi lawan dalam hal ini tidak boleh diabaikan. Karena, bila kebanggaan seseorang dilanggar, pastilah ia akan bereaksi terhadap penyebabnya. Ia mungkin memanfaatkan kesempatan yang tepat untuk membalas dendam dengan menggunakan segala kekuatannya. Maka, apabila perilaku ini tersebar luas pada suatu kaum, hasilnya mungkin berupa perpecahan dalam cara berpikir maupun tata perilaku.
Akal adalah cahaya terang yang menuntun manusia menjauh dari gelapnya kejahilan, dan membebaskannya dari permasalahannya. Kita membanggakan diri sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki akal, seraya mengatakan bahwa dengan akal, kita memahami hal-hal, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, dan hubungannya dengan entitas lain. Namun, celakalah kita apabila berusaha mengungkapkan kebenaran lewat bantahan dan perdebatan, karena perdebatan hanya menghasilkan kecemasan mental belaka. Perdebatan juga mengungkapkan kejahilan orang yang berdebat dan kekeliruan mereka dalam bidang ilmiah; perdebatan tak pernah mengubah jalan pikiran orang lain dan tak akan membuat mereka menerima keyakinan kita.
Islam mempertimbangkan dengan cermat semua aspek kehidupan sosial, dan menguji dengan teliti setiap unsur cinta dan keserasian. Karena itu, Islam mengutuk dengan keras semua yang menciptakan perpecahan di kalangan kaum Muslimin dan menggoyahkan fundasi persatuannya. Para pemuka agama telah menunjukkan kepada para penganut mereka bagaimana mengikuti jalan kesucian dan melindungi hati dari segala kotoran dan kekaburan.
Rasulullah Saw bersabda: “Adalah suatu kebajikan apabila manusia mendengarkan saudaranya ketika saudaranya itu berbicara.” (Nahj al-Fashahah, hal. 633)
Imam Muhammad Baqir a.s. berkata: “Dan belajarlah mendengarkan dengan baik sebagaimana kamu belajar berbicara dengan baik, dan janganlah memotong pembicaraan orang.”
Maksumin telah berulang-ulang mengecam perdebatan, dan mengingatkan manusia akan akibat buruknya, sampai-sampai mereka melarang para pengikutnya berbantahan walaupun dalam hal-hal yang benar.
Imam Ja’far Shadiq berkata: “Orang yang beribadah tak akan mencapai hakikat keimanan sampai ia meninggalkan perbuatan membangga-banggakan diri, sekalipun ia benar.” (Safinah al-Bihar, 2/522)
Tak ada yang menang dalam gelanggang perdebatan. Imam Ali Hadi a.s. memberikan nasihat berikut kepada orang-orang yang menganjurkan untuk mengalahkan lawan dengan cara perdebatan. “Menyombongkan diri meruntuhkan hubungan yang telah terjalin lama, mengakhiri hubungan kuat; keburukannya yang paling kecil ialah persaingan (dalam usaha mengalahkan lawan), dan persaingan adalah faktor utama dalam keterasingan diri.”
Baca: Tak Bolehkah Debat dalam Agama?
Tak banyak manfaat dari perdebatan. Maksud si pendebat dapat berpindah ke pihak yang dibantah, karena perasaan dapat meledak selama perdebatan. Bagaimana pun tenangnya suatu perdebatan, tetap saja ia mengandung efek buruk di hati lawan. Maka, bilamana kita berusaha untuk mengalahkan kepintarannya, ia bersikeras pada pendapatnya. Sepatah kata dapat menghancurkan hubungan kasih sayang untuk selama-lamanya. Lagi pula, perdebatan tak pernah menyebabkan orang lain menerima jalan pikiran kita.
Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan: “Jauhilah perdebatan, karena ia membekas di hati, menghasilkan kemunafikan, dan menciptakan sakit hati.” (Ushul Kafi, 1/452)
*Dikutip dari buku Menumpas Penyakit Hati – Ayatullah Sayid Mujtaba Musawi Lari