Imam Ali a.s. membagi masyarakat yang terjerat dunia menjadi dua kelompok. Beliau berkata: “Sebagian dari sekawanan ternak ini tertambat dan diikat, sementara sebagian yang lain dilepas dan dibiarkan begitu saja.”
Namun, mengapa Imam Ali as membagi masyarakat yang terjerat oleh dunia menjadi dua kelompok hewan di atas?
Para mufasir Nahj al-Balaghah mempunyai penjelasan yang beragam dalam hal ini. Sebagian mufasir berkata: “Dalam pembagian ini, sekelompok hewan yang terikat atau kakinya diberi pemberat adalah gambaran dari orang-orang yang lebih lemah dan geraknya lebih lambat di tengah masyarakat; mereka adalah orang-orang yang gerak dan kemampuan manuvernya lebih sedikit dibandingkan yang lain. Mereka itulah yang diumpamakan seperti hewan-hewan yang terikat atau yang kakinya diberi pemberat. Adapun sebagian yang lain, lepas dan bebas; mereka lebih kuat dan lebih banyak melakukan gerak serta manuver daripada kelompok yang pertama.”
Yang dimaksud oleh Imam Ali a.s. adalah bahwa sebagian mereka yang terjerat oleh dunia mempunyai kekuatan yang lebih dalam mencari dunia , mereka memaksimalkan usahanya tanpa pernah lelah dan berhenti, namun sebagian yang lain karena lebih lemah, tidak mempunyai daya jelajah seperti kelompok pertama sehingga mereka tidak dapat menggunakan seluruh waktunya untuk mencari dan mengejar dunia.
Baca: Membebaskan Diri dari Belenggu Duniawi
Sebagian mufasir yang lain berpendapat bahwa pembagian ini mengarah pada macam-macam bentuk penghambaan pada dunia; karena masyarakat berbeda-beda berkaitan dengan penghambaan mereka terhadap dunia. Sebagian dari mereka, meskipun gandrung dan cinta kepada dunia, namun karena masih menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang masih mempunyai nilai dan kemuliaan, maka mereka masih membatasi diri dalam pencarian dunia dan tidak mau melakoni sembarang pekerjaan. Namun, sebagian yang lain tidak seperti itu halnya; mereka meletakkan semua nilai kemanusiaan dan norma agama di bawah kaki dan sanggup melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya, yaitu harta dunia.
Pada zaman sekarang cara berpikir bebas dan tidak terikat oleh nilai dan norma apa pun, akan dianggap sebagai sebuah nilai yang sangat tinggi bagi manusia. Bahkan sebagian berpendapat, letak kesempurnaan nilai insani adalah membebaskan diri sebebas-bebasnya dan melepaskan semua belenggu yang mengikat untuk mencapai apa pun yang menjadi keinginan dan hasrat manusia. Seperti halnya paham liberalisme yang menjadikan kebebasan mutlak dan demokrasi sebagai motto dari berbagai aktivitas dan gerak hidupnya, tanpa sedikit pun mau adanya norma atau agama yang membatasi ruang geraknya.
Inilah sebenarnya berhala besar masa kini. Mereka mengatakan bahwa manusia itu bebas untuk melakukan apa saja, kecuali apabila mengganggu orang lain atau menimbulkan kekacauan. Segenap perbuatan manusia, selama tidak mengganggu orang lain, boleh dilakukan, dia bebas dan boleh melakukan apa saja dalam hidupnya tanpa ada sekat dan batas. Mereka yang bebas dan tidak terikat oleh aturan dan norma apa pun ini adalah sekawanan hewan yang dalam wasiat Imam Ali a.s. disifati dengan sifat “lepas dan tak terikat” sehingga dia bebas untuk bergerak ke sana kemari dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki.
Pada sebagian salinan dan kitab yang memuat wasiat Ilahi Imam Ali ini, ungkapan qad adhallat ‘aqlaha ditulis qad adhallat ‘uqulaha. Apabila yang tertulis adalah ‘uqulaha, mengingat dalam metafora ini manusia yang terjerat oleh dunia diumpamakan sebagai hewan, maka maksudnya adalah bahwa manusia yang terjerat oleh dunia tak ubahnya seperti hewan-hewan yang dilepas bebas, yakni manusia itu bahkan membebaskan dirinya dari hukum akal dan syariat sekaligus.
Baca: Jalan-Jalan yang Mengantarkan Kita pada Kecintaan Ilahi
Imam Ali kemudian melanjutkan, bahwa mereka yang terjerat oleh dunia ibarat sekawanan ternak yang terkena penyakit dan lepas dan dibiarkan di padang tandus yang kering; tidak ada gembala yang mengurusi mereka atau mengajak mereka untuk merumput. Mereka telah diajak dunia untuk bermain dan mereka pun menerima ajakannya sehingga mereka lupa diri dan terlena dalam permainan dunia. Karena mereka sibuk dengan dunia, mereka melupakan kehidupan akhirat yang ada di hadapannya. Nah, apabila keadaan dan kondisi orang-orang yang terjerat oleh dunia seperti ini adanya, manusia yang berakal tidak seharusnya meniru dan mengikuti jejak sesat mereka.
*Disarikan dari buku 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi