Naluri untuk bertobat dan beribadah termasuk salah satu fenomena spiritual manusia yang paling purba, bertahan lama, dan paling mengakar. Kajian terhadap berbagai peninggalan purbakala menunjukkan bahwa di mana saja manusia hidup, di sana pasti ditemukan jejak-jejak praktik peribadatan meskipun satu sama lain berbeda bentuk, cara, dan objeknya.
Bentuk peribadatan setiap kelompok berbeda-beda. Pada awalnya, mungkin manusia menari-nari dan menggelar ritual rutin secara berjamaah disertai zikir dan melantunkan puja-puji hingga pada puncaknya mereka larut dalam ketundukan dan kekhusyukan sakral, tenggelam dalam irama zikir dan pujian suci. Objek peribadatan mereka pun berkembang; mungkin pada awalnya mereka menyembah batu dan kayu, lalu akhirnya menyembah Zat Azali Yang Kekal, yang tak terikat batas ruang dan waktu.
Para nabi, yang membawa syariat dari Allah tak punya wewenang sedikit pun untuk menciptakan bentuk dan pola ibadah. Tugas mereka hanyalah menyampaikan dan mengajarkan kepada manusia cara beribadah -meliputi soal adab dan praktiknya- serta mencegah mereka agar tidak menyembah selain Allah Swt.
Baca: Ibadah, Pemuas Dahaga Jiwa
Para ahli agama, dan ajaran-ajaran agama itu sendiri menunjukkan dengan jelas bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk tauhid (penyembah Tuhan yang Esa). Dan jika ternyata mereka menyembah bintang, bulan, atau sesama manusia, itu adalah penyimpangan yang terjadi belakangan. Jadi, yang pertama disembah manusia bukanlah patung, manusia, atau objek-objek lainnya. Setelah masa penyimpangan itu, seiring dengan semakin majunya peradaban, mereka kembali menemukan akar tauhid. Hal ini, sekali lagi, menegaskan bahwa manusia memiliki naluri beribadah, atau kadang-kadang disebut naluri beragama.
Erich Fromm mengatakan: “Di antara manusia ada yang menyembah binatang, tumbuhan, patung batu, patung emas, tuhan yang tak kasat mata, atau sebangsa setan. Ada pula yang menyembah leluhur atau nenek moyang, marga, status sosial, harta, atau prestasi. Di antara mereka yang sudah mampu memilah antara keyakinan religius dan keyakinan non-religius, ada pula yang meyakini bahwa seluruh kepercayaan bersumber dari agama. Dengan demikian, yang menjadi permasalahan bukanlah ada atau tidaknya keyakinan religius dalam diri manusia, melainkan agama apakah yang ia yakini?”
Seraya mengutip Iqbal, William James menulis: “…Dorongan ibadah merupakan ciri naluriah manusia. Ia, bersama rasa sosial, merupakan sifat paling dominan baik pada tataran pemikiran maupun praktik. Manusia, dengan substansi rohaniah seperti itu, akan menjelajahi ruang pemikirannya yang terdalam. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia bersandar pada naluri ibadahnya itu, baik untuk selamanya maupun sesaat. Bahkan, manusia paling primitif pun punya cara tertentu untuk mengekspresikan perasaan yang agung ini dan menganggapnya sebagai sikap yang sangat bernilai.”
Penghormatan terhadap para ilmuwan, orang besar, dan para ulama, yang kemudian dianggap sebagai orang suci merupakan dasar penting bagi terbentuknya sikap untuk menyakralkan sesuatu. Perasaan inilah yang mendorong seseorang untuk menyakralkan, memuja, dan mengultuskan sesuatu hingga tampak irasional. Kecenderungan untuk mengultuskan pahlawan perang dan pahlawan nasional sebagaimana yang kita lihat sekarang, atau kesediaan untuk menjadi pengikut fanatik dari suatu golongan, ajaran dan pemikiran tertentu, identitas, tanah air, serta keberanian untuk berkorban demi itu semua, pada hakikatnya merupakan manifestasi perasaan seperti ini.
Dengan demikian, beribadah merupakan naluri untuk mencari sesuatu yang sempurna tanpa cela, yang indah tanpa noda. Orang yang menyembah makhluk sebenarnya telah memalingkan naluri ini dari garis asasinya. Melalui ibadah, sebenarnya manusia tengah berupaya melepaskan diri dari keterbatasan dirinya dan menjalin hubungan dengan Realitas Yang Sempurna dan Abadi. Hal ini sejalan dengan ungkapan Einstein: “Dalam kondisi seperti ini, seseorang akan menyadari betapa dangkal pengetahuan dan angan-angan manusia, sementara jauh di relung hatinya ia merasa bahwa di balik setiap perkara dan fenomena terdapat sesuatu yang agung dan besar tiada tara.” (Ihya’ al-Fikr al-Dini, hal. 105)
Ibadah mengubah wujud “kemungkinan” dan “hasrat” pada diri manusia; kemungkinan untuk melepaskan diri dari dunia materi yang terbatas, dan hasrat untuk mencapai realitas yang tertinggi dan tanpa batas. Hasrat seperti inilah yang menjadi salah satu ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Islam mengakui dan memuliakan naluri asasi yang dimiliki manusia ini. Karenanya, seruan utama Alquran adalah seruan tauhid, yang sekaligus menjadi inti seluruh seruan lainnya. Seruan tauhid tidak hanya berlaku untuk nabi pamungkas, Muhammad Saw, tetapi merupakan inti risalah semua nabi. Sejumlah ayat Alquran menyeru manusia agar menyembah Sesuatu Yang Ada, Allah Yang Mahatinggi dan Mahamulia.
Manusia tak bisa hidup tanpa ibadah. Bagaimanapun bentuk dan caranya, semua orang pasti pernah melakukan praktik ibadah, karena naluri untuk beribadah merupakan fitrah manusia. Jelasnya, manusia cenderung memandang suci sesuatu dan kemudian berusaha mendekatkan diri kepadanya. Semua manusia memiliki kecenderungan ini, bahkan kaum materialis sekalipun, termasuk Karl Marx yang pernah berkata: “Aku ingin membebaskan manusia dari penyembahan terhadap apa pun kecuali dirinya.”
Ucapannya itu sebenarnya mengakui bahwa manusia, tidak bisa tidak, harus menyembah sesuatu. Hanya saja, kecenderungan itu disesuaikan dengan definisinya sendiri tentang sesuatu yang disembah manusia.
Baca: Aspek Pendidikan dalam Ibadah
Alquran menyeru: “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu, Zat yang menguasai segala urusanmu.” Jika Tuhan yang mengendalikan segala sesuatu itu sedetik saja alpa, hancurlah segala yang ada. “(Dialah) yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu.” (QS. al-Baqarah: 21)
Dengan mengetahui bahwa zat dan sifat Allah Mahasempurna, suci dari segala kekurangan, dan bahwa Allah senantiasa melimpahi alam semesta dengan cinta dan kasih sayang-Nya, kita akan menempatkan seluruh perilaku kita dalam bingkai ibadah. Ibadah adalah wujud ketundukan dan pemujaan manusia kepada Tuhan. Hanya dengan Tuhanlah manusia bisa menjalin hubungan semacam itu, tidak dengan yang lain-Nya. Jika kita mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan penguasa alam semesta, kita harus mengabdi kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Alquran menegaskan bahwa ibadah hanya wajib dilakukan untuk Allah. Karenanya, dosa yang paling besar dan tak terampuni adalah dosa syirik.
*Disadur dari buku Energi Ibadah – Syahid Murtadha Muthahhari