“Dan Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24)
Kontrol perselisihan antara hawa nafsu dan akal dinamakan dengan sabar. Sabar memiliki tiga tingkatan, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar terhadap musibah. (Al-Kafi, 2/75)
Sabar merupakan sifat istimewa pada manusia. Sabar yang disandarkan kepada keimanan berkedudukan seperti kepala yang disandarkan kepada badan.
Imam Ridha as. berkata: “Keimanan seorang mukmin tidaklah sempurna kecuali jika dia memiliki tiga perkara, yaitu keimanan yang tersembunyi terhadap Allah, perilaku Nabi Saw terhadap umatnya, dan kesabaran seorang imam.” (Al-Kafi, 2/71)
Terdapat tujuh puluh ayat dalam Al-Qur’an tentang kesabaran, dan kesabaran merupakan salah satu syarat keimanan. Dalam ayat Al-Qur’an juga dapat dilihat bahwa kesabaran adalah syarat utama dalam keimamahan atau kepemimpinan. Para nabi ulul azmi as. memiliki tingkat kesabaran yang lebih tinggi daripada para nabi lainnya.
Baca: Pengorbanan Imam Ali di Masa Awal Mula Islam
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar, dan janganlah kamu meminta disegerakan azab bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka, mereka akan merasa seolah-olah tidak tinggal di dunia melainkan sesaat pada siang hari. Ini adalah suatu pelajaran yang cukup, dan tidak akan dibinasakan kecuali kaum yang zalim.” (QS. al-Ahqaf: 35)
Kesabaran para imam suci Ahlulbait lebih tinggi daripada semua para nabi Ilahi, kecuali Nabi terakhir, Muhammad Saw.
Imam Ali as. Berkata: “Aku telah bersabar seperti seseorang yang tertelan tulang dalam tenggorokannya dan kemasukan duri ke dalam matanya.” (Nahjul Balaghah, khotbah ke-3)
Imam Ali adalah perwujudan dari kesabaran dan mencapai tingkat kesabaran yang luar biasa. Kesabaran beliau tidak dapat ditanggung oleh manusia biasa. Kehidupan Imam Ali as. dari zaman kenabian Muhammad Saw hingga wafatnya dapat dibagi menjadi tiga masa, dan pada setiap masa tersebut beliau mengalami cobaan, kesulitan, dan musibah. Beliau merupakan perwujudan sempurna dari sifat “bala bagi para wali.” Secara singkat, tiga masa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Masa kehidupan bersama Nabi mulia Saw dari awal kenabian hingga wafatnya Nabi.
Masa ini berlangsung selama 23 tahun, dan Imam Ali mengalami berbagai penderitaan dan musibah. Termasuk di antaranya adalah menghadapi gangguan dari kaum musyrik, menjalani embargo selama tiga tahun di si’ib Abu Thalib, dan terlibat dalam perang-perang melawan kaum musyrik. Namun, dalam setiap cobaan ini, beliau tetap tegar dan sabar dalam pengabdian kepada Rasulullah Saw. - Masa kehidupan saat berkuasa para khalifah (tiga khalifah) selama 25 tahun.
Dimulai dari meninggalnya Nabi Saw hingga pembunuhan Khalifah Usman. Pada akhir masa ini, Imam Ali menyatakan: “Aku telah bersabar seperti seseorang yang tertelan tulang dalam tenggorokannya dan kemasukan duri ke dalam matanya.” - Masa kekhalifahan
Masa ini berlangsung selama 4 tahun 9 bulan. Pada masa ini, beliau terlibat dalam tiga perang, yaitu Perang Jamal, Shiffin, dan Nahrawan.
Tiga Musibah pada Tiga Masa
- Penyerangan terhadap rumahnya
Penyerangan ini menyebabkan syahidnya Muhsin, belahan jiwa Rasulullah saw yang masih dalam kandungan Sayidah Fatimah as. - Peristiwa pengangkatan Al-Qur’an di ujung tombak
Pada Perang Shiffin sekelompok dari pasukan Ali as. memaksa mundur pasukan Muawiyah hingga seratus meter dari perkemahan Muawiyah. Sejarah mencatat bahwasanya Muawiyah telah mengalami kekalahan. Namun, dengan tipu daya Amr bin Ash dengan mengangkat Al-Quran. Sekelompok dari pasukan Imam Ali as. tertipu dan mundur dari peperangan. Melalui peristiwa ini, mengakibatkan Imam Ali diadili. Imam as. Berkata: “Jika saya tidak menerima pengadilan, maka Hasan dan Husain akan terbunuh.” (Nahjul Balaghah, khotbah ke-3) - Pembunuhan atas dirinya
Imam Ali as. mengetahui bahwa Ibnu Muljam akan membunuhnya, namun beliau memperlakukan pembunuhnya dengan rasa kasih sayang, yang tentunya sangat menakjubkan. Bagaimana mungkin manusia dapat menanggung beban penderitaan atas pembunuhnya, hingga dia memperlakukannya dengan kasih-sayang? Bahkan sebelum terjadinya pembunuhan itu, beliau as. telah berbuat baik dan berwasiat kepada pembunuhnya itu. (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/37)
*Disarikan dari buku Kecuali Ali – Abbas Rais Kermani