Ketika Imam Ali bin Husain as. datang ke Syam (sebagai tawanan) setelah kesyahidan Imam Husain, ia menekankan bahwa yang sebenarnya menang adalah pengikraran atas keesaan Allah, bukan perebutan kekuasaan. Kesyahidan Imam Husain dan para pengikutnya adalah untuk menjaga Islam dan menghadapi kejahiliyahan Bani Umayah dan pengikut-pengikut mereka yang tidak memiliki iman yang benar.
Ketika itu kepala Imam Husain, para wanita, dan kerabat yang tersisa dibawa ke hadapan Yazid dalam keadaan diikat. Imam Ali Zainal Abidin sendiri juga dirantai. Ketika mereka semua telah berdiri di hadapannya, Yazid membacakan syair yang ditulis oleh Hushain bin Hammam al-Murri: “Ku bunuh mereka, para lelaki itu, meskipun kutahu mereka orang-orang yang mulia, karena mereka telah menganiayaku.”
Mendengar syair Yazid itu, Imam Ali bin Husain as. menanggapinya dengan membaca ayat Al-Quran:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Mendengar ayat ini, Yazid marah, dan ia pun membacakan ayat Al-Quran yang lain: “Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Sejarawan juga mencatat bahwa Fathimah binti Husain as, dalam satu insiden, berbicara kepada Yazid. Seorang lelaki Syam meminta dia sebagai budak perempuannya. Zaenab, bibinya, menolak permintaan tersebut. Yazid mengklaim bahwa dia memiliki hak untuk memutuskan. Namun, Zainab dengan tegas menegaskan bahwa mereka tetap berpegang pada agama mereka.
Yazid mencoba untuk menggertak Zainab dengan mengatakan bahwa ayah mereka (Imam Husain) dan saudaranya (Imam Hasan) keluar dari agama Islam. Namun, Zainab membela agama mereka dengan kuat dan menyatakan bahwa hanya dengan mematuhi agama Allah, ayah, saudara-saudaranya, dan mereka semua mendapatkan petunjuk. Akhirnya, Zainab menegur Yazid atas tindakan kejamnya sebagai seorang amir dan memprotes penyalahgunaan kekuasaannya. Hal ini membuat Yazid merasa malu dan terdiam.
Yazid menyuruh seorang khatib di Damaskus untuk naik ke atas mimbar dan memerintahkannya untuk mencela Imam Husain as. beserta ayahnya, Ali bin Abi Thalib as. Hal ini membuat Imam Ali Zainal Abidin spontan berteriak kepadanya, “Celaka engkau, wahai khatib. Engkau telah membeli ridha manusia dengan kemarahan Allah. Maka persiapkanlah tempatmu kelak di neraka.”
Imam Ali as-Sajjad kemudian mengarahkan pembicaraannya kepada Yazid dan berkata kepadanya, “Apakah engkau izinkan aku untuk menaiki mimbar kayu ini? Aku akan berbicara dengan kata-kata yang di dalamnya terdapat keridhaan Allah, dan para hadirin yang mendengarkannya akan beroleh pahala.”
Orang-orang yang hadir merasa heran dan kaget pada anak muda yang sedang menderita sakit itu yang begitu berani menimpali si khatib dan sang Khalifah, padahal dirinya dalam keadaan ditawan. Yazid tampak tidak mau merespon ucapan Imam Ali bin Husain as, akan tetapi orang-orang yang hadir dalam majelis tersebut mendesak Yazid agar mengizinkannya. Maka dengan sangat terpaksa, Yazid pun mengizinkannya. Imam kemudian menaiki mimbar dan berkata:
“Wahai sekalian manusia…!! Kami adalah orang yang telah dianugerahi enam hal dan dikaruniai tujuh perkara. Kami telah dianugerahi ilmu, kesabaran, toleransi, kefasihan, keberanian, dan kecintaan di dalam hati kaum mukmin. Dan kami juga telah dikaruniai bahwa dari kalangan kami adalah Nabi pilihan Muhammad saw, dari kami adalah ash-Shiddiq Ali bin Thalib, dari kami adalah Ja’far ath-Thayyar, dari kami adalah Asadullah dan Asadur-Rasul, dari kami adalah wanita penghulu seluruh wanita alam semesta Fathimah al-Bathul, dan dari kami juga adalah dua cucu Nabi umat ini dan dua penghulu pemuda ahli surga.”
Imam Ali Zainal Abidin kemudian menjelaskan dirinya dan keluarganya:
“Aku adalah keturunan yang mulia dan suci. Aku berasal dari kota Makkah dan Mina. Aku adalah putra orang yang membawa batu penjuru Hajar Aswad dengan selendang. Aku adalah keturunan yang berhaji, ber-talbiyah, dan berhawaf di Baitullah. Aku adalah putra orang yang melakukan perjalanan dari masjidil-Haram ke masjidil-Aqsha, dan dari sana aku dibawa oleh Jibril ke Sidratul Muntaha. Aku adalah keturunan dari orang yang disebut dalam ayat Al-Quran. Aku adalah putra Muhammad al-Mushtafa dan Ali al-Murtadha. Aku adalah keturunan yang berperang di sisi Rasulullah dan ikut dalam hijrah serta berbagai peperangan. Aku adalah keturunan yang mempertahankan kebenaran dan iman.
Aku adalah putra orang yang membela kehormatan umat Islam. Aku adalah keturunan yang menolak para pembatal baiat, penyeleweng, dan musuh-musuh Islam. Aku adalah keturunan yang menjadi kebanggaan umat Islam. Aku adalah keturunan yang menjawab seruan Allah dan yang terdepan dalam berbuat kebaikan.
Aku adalah putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, putra wanita junjungan seluruh alam. Aku adalah keturunan dari Nabi Muhammad saw. Aku adalah putra dari korban yang tewas di Karbala. Aku adalah putra orang yang menyedihkan hati jin di kegelapan dan meluluhkan hati burung-burung di langit.
Imam terus berbicara dengan penuh perasaan, membuat para hadirin merasa terharu. Yazid merasa khawatir akan efek yang tak terkendali dari kata-kata Imam ini.
Khotbah Imam Ali bin Husain as itu menimbulkan perubahan pikiran di kalangan penduduk Syam yang mendengarnya. Karena dalam khotbah itu Imam mengenalkan dirinya kepada penduduk Syam dan menerangkan kepada mereka apa yang selama ini tidak mereka ketahui. Yazid kemudian memerintahkan muazin untuk mengumandangkan azan dengan tujuan memotong pembicaraan Imam as. Maka muazin tadi langsung mengumandangkan azan dan bergemalah kalimat Allahu Akbar di angkasa, Imam pun menyimak suara gema azan itu dan menyahutinya, “Kunyatatakan kebesaran-Nya yang tiada tertandingi dan Dia tiada tergapai oleh indra. Tiada sesuatu pun yang lebih ‘besar’ dari Allah.”
Kemudian muazin itu mengumandangkan, “Asyhadu alla Ilaha illallah” Maka Imam pun berkata, “Rambutku, kulitku, dagingku, darahku, otakku, dan tulangku bersaksi atas hal itu.” Dan ketika muazin itu sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammaddan,” Imam menoleh kepada Yazid dan berkata kepadanya, “Hai Yazid! Muhammad yang disebutkan tadi apakah kakekku atau kakekmu? Jika engkau mengklaim bahwa dia adalah kakekmu, maka sungguh engkau telah berdusta dan jika engkau berkata bahwa dia adalah kakekku lantas kenapa engkau membunuh anak keturunan (keluarga)nya?”
Yazid tampak bersungut dan geram, ia tak dapat melontarkan jawaban, karena Rasulullah Saw adalah jelas kakek dari Imam Ali Zainal Abidin, sedangkan kakeknya sendiri adalah Abu Sufyan, orang yang pertama kali memusuhi nabi. Kini penduduk Syam jadi mengerti bahwa mereka telah tenggelam dalam dosa dan bahwa para penguasa Bani Umayyah telah berupaya menipu dan menyesatkan mereka. Dari sini jelas sudah bahwa rasa kedengkian (dendam pribadi) dan ketidakmatangan politis merupakan dua sebab yang menjadikan Yazid tidak dapat melihat kedalaman revolusi yang dilancarkan Imam Husain. Dua hal ini itu menyeretnya kepada anggapan bahwa revolusi tersebut tidak akan berpengaruh besar atas pemerintahannya.
Akhirnya Yazid memberi perintah kepada Nu‘man bin Basyir agar mengawal para tawanan dan wanita-wanita keluarga Rasul saw menuju Yatsrib dan Yazid memerintahkannya agar pengawalan itu dilakukan pada malam hari karena khawatir akan munculnya kekacauan dan keadaan yang tak terkendali. Proses pemindahan tawanan Ahlulbait ke Yatsrib merupakan bagian dari perjalanan yang panjang dan melelahkan. Mereka telah mengalami penderitaan dan perlakuan kasar sepanjang perjalanan ini.
Selama perjalanan menuju Yatsrib, Imam Ali Zainal Abidin as terus berbicara dan memberikan pelajaran kepada penduduk Syam yang mengawal mereka. Beliau menyampaikan pesan-pesan Islami, mengenalkan diri dan keluarganya, serta menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan yang mulia dan suci.
Proses pemindahan ini juga menunjukkan ketidakpedulian dan kekejamannya yang lebih lanjut. Yazid tidak hanya membunuh Imam Husain dan sahabat-sahabatnya di Karbala, tetapi juga menganiaya dan merendahkan keturunan Rasulullah saw. Ini merupakan salah satu tindakan yang sangat kontroversial dan mencerminkan ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan oleh rezim Bani Umayyah.
*Disarikan dari buku Biografi Imam Ali Zainal Abidin – Tim Al-Huda