Setelah sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya, Fathimah Zahra as. mengarungi sisa hidupnya dengan tangisan, ratapan, dan rintihan yang tak pernah surut. Tersirap dalam duka, senyum tak lagi menghiasi wajahnya. Bukan lagi senyum yang terlihat, melainkan isak tangis yang menghiasi malam dan meresap di antara tembok-tembok Madinah.
Berbagai faktor merintangi senyuman yang pernah melukiskan wajah indah Az-Zahra. Yang paling terasa, kaum Muslimin telah menyimpang dari jalan kebenaran. Mereka tenggelam dalam nafsu, menyulut pertentangan, perpecahan, dan kesengsaraan. Az-Zahra, seiring dengan lajunya perkembangan Islam dan perjalanan hidup ayahnya yang penuh ujian, berharap agar perubahan positif dapat melanda. Ia bermimpi kekufuran, kemusyrikan, kezaliman, dan ketidakadilan segera terhapus dari bumi ini. Namun, takdir berkata lain. Kekhalifahan direbut, dan gelombang kejadian meruntuhkan harapannya, menanam kesedihan di dalam hati dan jiwanya yang halus.
Suatu hari, Ummu Salamah memasuki tempat kediaman Sayidah Fathimah as. Pertanyaannya pun muncul, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Putri Rasulullah?” Fathimah as. menjawab dengan kepiluan, merenung tentang kehilangan Nabi Saw dan pengkhianatan terhadap al-Washi. Allah menjadi pelindung bagi pemimpin yang diambil haknya secara tidak adil, sebuah kehancuran yang terwarisi dari Perang Badar dan Perang Uhud yang penuh kebencian.
Imam Ali as., suaminya, mencuci gamis Nabi. Fathimah as. memintanya untuk memperlihatkan baju itu. Tetapi ketika ia menciumnya, rasanya seperti menyentuh kenangan yang pahit. Ia pingsan, dan gamis itu pun disembunyikan sebagai saksi bisu dari waktu-waktu bahagia yang pernah berlalu.
Bilal, yang setia pun menolak melakukan azan setelah Nabi wafat, meski akhirnya ia melakukannya. Keinginan Fathimah as. untuk mendengar azan ayahnya memicu ledakan tangisnya. Setiap panggilan azan adalah seruan yang mengguncang hatinya. Bilal berhenti, tak sanggup menyudahi azannya. Fathimah pulih, memahami bahwa suara azan itu membawanya kepada kenangan pahit yang harus dihadapi.
Baca: Sosok Sayidah Fathimah Zahra as di Sisi Para Imam, Sahabat dan Para Ahli Sejarah
Tangis Fathimah as. melingkupi hari dan malam, menciptakan gelisah di antara tetangganya. Para pemuka Madinah datang kepada Imam Ali dengan keluhan mereka, meminta agar Fathimah hanya menangis di malam atau siang hari. Imam Ali as. membawa pesan itu ke Fathimah, yang menjawab, “Alangkah singkatnya aku tinggal di tengah-tengah mereka, dan tidak lama lagi aku akan menghilang dari hadapan mereka.”
Imam Ali membangun sebuah rumah untuk Fathimah di Baqi’, jauh dari keramaian Madinah. Rumah kesedihan itu menjadi saksi bisu bagi derita yang menyelimuti keluarga Rasulullah. Setiap pagi, Fathimah as. membawa Hasan dan Husain ke pemakaman Baqi’, di mana tangisannya menyatu dengan dinginnya kuburan.
Ketika Mahmud bin Labid melintasi kuburan para syuhada Uhud dan menemui Fathimah as. yang tengah menangis. Setelah menunggu dengan sabar, ia memberi salam dan mengakui, “Tangisanmu telah memutuskan tali jantungku.” Fathimah as. pun menjelaskan betapa besar kerinduannya pada Rasulullah yang telah tiada.
Dalam pertemuan tersebut Mahmud bin Labid bertanya pada Sayidah Fathimah as. tentang satu hal yang sangat penting baginya. Dengan suara lembut, ia menanyakan apakah Nabi secara tegas dan jelas menyatakan kepemimpinan Imam Ali pada masa hidupnya. Fathimah as. berkata, “Sungguh mengherankan. Apakah kalian lupa pada Ghadir Khum?” Dengan penuh keyakinan, Fathimah mengingatkan bahwa di sana, Nabi telah menyatakan dengan tegas bahwa Ali adalah penggantinya setelah ia tiada, seorang pemimpin yang memiliki peran besar dalam kelanjutan petunjuk Islam.
Tangisan dan kepedihan Fahtimah menjadi bukti akan beban berat yang harus dipikulnya, seiring dengan upayanya untuk menjaga kebenaran dan keadilan di tengah-tengah riak zaman yang penuh ujian.
Hingga, pada suatu hari, Sayidah Fathimah as. ditemui oleh sekelompok wanita dari kalangan Muhajirin dan Ansar. Mereka menanyakan keadaannya dengan penuh kehangatan, “Wahai Putri Rasulullah, bagaimana kabarmu pagi ini?”
Namun, jawaban Fathimah as. tak seperti yang mereka duga. “Demi Allah, pagi ini aku merasa jauh dari kebahagiaan duniamu dan merasa tidak suka kepada laki-laki kalian. Aku sudah mencoba mengerti mereka, namun kejenuhan dan kebosanan datang setelah menguji mereka. Perkataan tak senonoh semakin menghitamkan suasana. Bagaimana keadaan mereka? Sandaran dan tali apa yang mereka pegang? Itulah penolong dan kawan yang paling jahat. Celakalah orang yang mengira mereka berbuat baik. Mereka sebenarnya pembuat kerusakan, hanya saja mereka tak menyadarinya. Lalu, siapakah yang lebih patut diikuti, mereka yang mencari kebenaran atau mereka yang tak bisa memberi petunjuk tanpa diberi petunjuk? Mengapa kalian membuat keputusan seperti ini?”
Dalam suasana yang bertambah tegang, Sayidah Fathimah as. merenungkan berbagai kesedihan yang menumpuk. Bukan hanya fisiknya yang sakit, tapi juga beban pikiran dan kecemasan yang menghantuinya. Pertanyaan-pertanyaan bergejolak dalam benaknya, terutama mengenai masa depan kaum Muslimin.
Fathimah as. merindukan persatuan dalam Islam, menyadari bahwa kekuatan mereka telah terkikis oleh perpecahan dan kelemahan. “Mereka telah menghilangkan jiwa mereka, menimbulkan pertentangan di antara mereka. Islam yang bersatu dan kemampuan kaum Muslim yang ditakuti digantikan oleh kelemahan, perpecahan, dan kehinaan.”
Sebagai kecintaan Rasulullah Saw, Fathimah as. merenungkan masa depannya yang penuh penderitaan. Dengan tubuh yang lemah, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang melintas di benaknya. “Di mana pesan-pesan ayahku Rasulullah? Tuhanku, apakah Ali, yang pemberani, terpaksa harus diam melihat haknya terabaikan demi kepentingan Islam yang mulia?”
Baca: Kisah-kisah Fatimah Zahra a.s.: Buah Delima Surgawi
Pada ambang kematian, Fathimah menyadari bahwa saatnya telah tiba. Meski ia akan terbebas dari duka dan kesedihan, namun keprihatinan terbesarnya adalah nasib anak-anaknya yang akan hidup setelahnya. Ia mengingat sabda-sabda ayahnya tentang nasib Hasan dan Husain, dan teringat akan momen-momen penuh duka bersama mereka. Pikiran-pikiran ini menghantui Fathimah Zahra, menambah kesedihannya dari hari ke hari, bahkan hingga mendekati wafatnya.
Bertanya Imam Ali pada Fathimah as, “Kekasihku, apa yang membuatmu menangis?” Dengan tulus, Fathimah menjawab, “Aku menangisi apa yang akan kamu hadapi setelah aku tiada.” Ali, dengan tekadnya, menghibur Fathimah, “Janganlah engkau menangis. Demi Allah, itu masalah kecil bagiku di hadapan Allah.”
*Disarikan dari buku Biografi Sayidah Fathimah – Ayatullah Ibrahim Amini