Kebersihan dan kesucian jiwa melahirkan ketentraman jiwa, dan karena itu ketentraman jiwa menjadi karakteristik jiwa insan yang beruntung dan selamat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً.
“Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”[1]
Ketentraman dan ketenangan jiwa sedemikian penting bagi kebahagiaan hidup manusia sehingga terekspresikan secara tersendiri dalam harapan para kekasih Allah SWT. Dalam doa Ziarah Aminullah yang tergolong doa ziarah muktabar disebutkan;
اللهم فاجعل نفسی مطمئنة بقدرک راضیة بقضائک.
“Ya Allah, jadikan jiwaku tentram terhadap takdir-takdirMu dan rela kepada ketetapanMu.”[2]
Nabi Ibrahim as, sosok yang sudah berada di puncak ketentraman, masih berharap ketentraman lagi terkait dengan proses penghidupan orang-orang yang sudah mati, sebagai disebutkan dalam firman Allah SWT:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tentram (mantap kepada imannya).’”[3]
Peristiwa Karbala telah menjadi pentas kesejatian jiwa-jiwa yang tenang, tentram dan mantap. Di situ mereka berhasil memdemonstrasikan kondisi batin ini dengan sangat sempurna dan mencerminkan ketinggian makrifat mereka. Karena itu, beberapa riwayat menerapkan ayat “Hai jiwa yang tentram…” pada peristiwa kesyahidan Imam Husain as karena di Karbala beliau telah menjadi manifestasi paling sempurna dari ketentraman dan ketenangan jiwa di tengah tragedi yang sangat dahsyat dan memilukan. (Baca: Apakah Agama Sumber Pertikaian?)
Karena itu, sudah sepatutnya para pengagum kebangkitan Imam Husain as berusaha menelusuri apa saja faktor di balik ketentraman itu agar hidup di dunia menjadi semakin sarat motivasi dan tekad. Untuk mengetahui faktor dan kunci ketentraman, patut kita ketahui terlebih dahulu berbagai faktor penyebab keguncangan dalam jiwa, untuk kemudian kita melihat manifestasi nyata ketentraman di pentas kebangkitan suci Karbala.
Faktor Pertama, Takut Mati
Takut mati adalah salah satu faktor kegelisahan dan keguncangan manusia. Banyak manusia yang sedemikian takut kepada kematian sehingga ketika berhadapan dengan faktor-faktor yang menjurus kepada maut mereka menjadi kehilangan keseimbangan dalam berpikir. Dalam tragedi Karbala, para syuhada terbukti sukses mengatasi kegelisahan dan keguncangan sehingga berhasil menyambut ancaman maut dengan jiwa yang sangat tenang.
Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin as yang menjadi salah satu saksi sejarah Tragedi Karbala mengisahkan bahwa ketika pertempuran berlangsung sengit, pasukan musuh memandang Imam Husain as lalu melihat betapa beliau tak seperti yang mereka duga. Imam Ali Zainal Abidin as berkata;
لانهم کلما اشتد الامر تغیرت الوانهم، وارتعدت فرائضهم و وجلت قلوبهم وکان الحسین(ع) و بعض من معه من خصائصه تشرق الوانهم وتهدئ جوارحهم وتسکن نفوسهم.
“Sebab setiap kali keadaan menghebat warna muka mereka (musuh) berubah, organ-organ tubuh mereka bergetar, dan hati mereka tercekam rasa takut, sedangkan al-Husain as dan sebagian sahabat khususnya justru cerah warna wajahnya, organ-organ tubuh mereka tenang, dan jiwa mereka tentram.” (Baca: Dengarkan Nasihat dari Kematian!)
Dan ketika itulah kawanan musuh berkata satu sama lain, “Lihatlah mereka tak peduli kepada kematian.”[4]
Sebuah syair yang dinisbatkan kepada Imam Husain as menyebutkan;
و ان یکن الابدان للموت انشئت فقتل امرئ بالسیف فی الله افضل.
“Jika raga diciptakan untuk mati maka betapa lebih baiknya kematian orang dengan pedang di jalan Allah.”[5]
Beliau juga berkata;
الموت خیر من رکوب العار.
“Kematian lebih baik daripada mengendarai kehinaan.”[6] (mz)
Bersambung
[1] QS. Al-Fajr [89]: 27 – 28.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 97, hal. 264.
[3] QS. Al-Baqarah [2]: 260.
[4] Bihar al-Anwar, jilid 44, hal. 297.
[5]Bihar al-Anwar, jilid 45, hal.49.
[6] Ibid.
Baca: “Tragedi Karbala, Ketentraman Jiwa di Tengah Badai (2)“