Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tragedi Karbala, Ketentraman Jiwa di Tengah Badai (3)

Di bagian ini kita perlu melihat sebab dan filosofi ketegaran dan ketenangan jiwa para ksatria Karbala dalam menyongsot maut. Apa yang membuat mereka sama sekali tidak gentar menghadapi kematian,  dan apa yang mendorong mereka justru tak sabar mereguk mata air kesyahidan? Dari beberapa pernyataan Imam Husain as dan para sahabat sejatinya kita dapat menangkap tiga faktor sebagai berikut;

Keyakinan Kepada Alam Baka

Imam Husain AS dalam pesan kepada para sahabatnya di tengah situasi genting sesaat menjelang pertempuran di hari Asyura berkata;

“Wahai para ksatria terhormat, tabahlah kalian, karena sesungguhnya kematian ini tak lain adalah jembatan yang akan kalian titi dari penderitaan menuju surga nan luas, menuju kenikmatan nan kekal. Maka janganlah kalian khawatir untuk berpindah dari penjara menuju istana, sedangkan musuh-musuh kalian tak lain ibarat orang yang dipindahkan dari istana menuju penjara dan siksaan. Mengutipkan sabda Rasulullah, ayahku pernah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya dunia adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang yang kafir. Kematian adalah jembatan menuju surga bagi mereka yang beriman serta merupakan jembatan  menuju neraka bagi mereka yang kafir. Aku tidaklah berdusta dan tidak pula didustai.’”[1]

para-pejuang-karbala

Melihat Kedudukan di Akhirat

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as ditanya bagaimana para sahabat Imam Husain as bergegas menyongsong kematian di jalan Allah. Beliau menjawab;

انهم لهم الغطاء حتی راوا منازلهم من الجنة فکان الرجل منهم یقدم علی القتل لیبادر الی حوراء یعانقها و الی مکانه من الجنة.

“Tirai telah disingkapkan kepada mereka sehingga mereka menyaksikan kedudukan mereka di surga, sehingga ada seseorang di antara mereka menyambut kematian untuk bergegas menuju bidadari yang akan dipeluknya dan menuju tempatnya di surga.”[2]

Keyakinan sedemikian tinggi akibat penyingkapan tirai tentunya tidak mudah dicapai oleh setiap orang. Dan sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan hadis-hadis Ahlul Bait as, ada dua faktor yang berperan besar bagi manusia untuk mencapai keyakinan demikian;

a. Berdoa untuk mendapat keyakinan demikian, sebagaimana dalam Doa Abu Hamzah al-Tsumali yang berasal dari Imam Ali Zainal Abidin as disebutkan;

اسئلک ایمانا تباشر به قلبی ویقینا حتی اعلم انه لن یصیبنی الا ما کتبت لی.

“Ya Allah, aku memohon kepadaMu keimanan yang senantiasa bersemayam dalam hatiku, dan keyakinan agar aku mengetahui bahwa tidak akan menimpaku kecuali apa yang telah Engkau takdirkan kepadaku.” (Baca: Doa Abu Hamzah Ats Tsumali)

Pada penggalan lainnya dalam doa ini juga tertera kalimat;

اللهم صل علی محمد و آل وارزقنی الیقین وحسن الظن بک.

“Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, dan anugerahilah aku keyakinan dan prasangka baik kepadaMu.”[3]

b. Tekun beribadah dan beramal baik, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ.

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.”[4]

Berada di Jalan yang Benar

Sebagaimana telah disebutkan, Imam Husain as menegaskan dirinya tak gentar karena berada di pihak yang benar.

Demikianlah kupasan mengenai faktor yang menyebabkan manusia mengalami keguncangan jiwa dan yang membuatnya tidak mungkin kembali kepada Allah SWT sebagai nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang), kemudian faktor pertama penyebab ketenangan dan ketegaran jiwa. Selanjutnya kita singgung pula faktor kedua.

Faktor Kedua, Putus Asa

Selain faktor takut mati, faktor yang lain menyebabkan keguncangan jiwa ialah lemah mental dan rasa putus asa. Lemah mental membuat orang mudah menyerah ketika berhadapan dengan dilema dan persoalan-persoalan pelik. Kejadian-kejadian bunuh diri pelakunya adalah manusia-manusia tipe demikian. Karena tak tahan menghadapi persoalan yang melilit, langit seolah sudah runtuh baginya sehingga dia memilih menghabisi nyawanya sendiri. (Tonton: VIDEO – Peringatan Asyura oleh Dr. Muhsin Labib)

Sebaliknya adalah manusia-manusia berjiwa besar dan terbina oleh didikan yang sehat dan bernas. Menghadapi aneka persoalan hidup jiwa mereka tetap kokoh dan tegar laksana karang di tengah gempuran ombak siang dan malam. Mereka pantang bersimpuh dan menyerah menghadapi semua tantangan, sebagaimana dilukiskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw:

الحر حر علی جیمع احواله ان نابته نائبة صبر لها و ان تداکت علیه المصائب لم تکسره.

“Orang yang merdeka adalah orang yang merdeka dalam segala keadaan. Dia bersabar apabila musibah menimpanya, dan apabila musibah menghajarnya maka tidak sampai menghancurkannya.”[5]

Ketegaran dan kesabaran jiwa bahkan menjadi bagian dari delapan karakteristik orang yang beriman yang disebutkan oleh Imam Jakfar al-Shadiq as;

ينبغى للمؤمن ان يكون فيه ثمانى خصال وقورا عند الهزاهز صبورا عند البلاء

“Seorang mukmin haruslah memiliki delepan karakteristik; tegar menghadapi guncangan, sabar menghadapi ujian,…”[6] (mz)

Bersambung

[1] Nasikh al-Tawarikh, jilid 2, hal. 225.

[2] Bihar al-Anwar, jilid 44, hal. 297.

[3] Mafatih al-Jinan, Doa Abu Hamzah aal-Tsumali, dan Bihar al-Anwar, jilid 95, hal. 93.

[4] QS. Al-Hijir [15]: 99.

[5] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 89, Bab al-Shabr, Hadis 6.

[6] Ibid, hal. 47, Khisal al-Mu’min.

Baca: “Tragedi Karbala, Ketentraman Jiwa di Tengah Badai (4)

 

No comments

LEAVE A COMMENT