Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keluarga Rumah Tabuik: Penerus Tradisi Asyura di Pariaman (2)

Setiap hari adalah Asyura, setiap bumi adalah Karbala. Kalimat ini memotivasi saya untuk menemukan medan perjuangan dan mengambil peran sesuai dengan teladan sempurna di hari Asyura. Saya berusaha menemukan padang Karbala secara eksistensi maupun esensinya dan menempuh ribuan kilo menapaki jalan-jalan sang kekasih. Kerongkongan ini rasanya tercekat dan air mata menggenangi pelupuk mata ketika mendapati ternyata ada Karbala di tanah leluhur saya. Tugu Tabuik berdiri kokoh di tengah kota Pariaman. Tugu ini terletak di Simpang Kampung Cina, kemudian terkenal dengan Simpang Tugu Tabuik yang diidentikkan sebagai padang Karbala dalam upacara Tabuik.

Keberadaan tugu Tabuik menjadi petunjuk bagi saya untuk menemukan segala hal yang berkaitan dengan tradisi Asyura di kota ini. Ketika bertanya tentang Tabuik, orang-orang akan merekomendasikan saya untuk mendatangi keluarga di rumah Tabuik. Benar saja, rumah Tabuik berada tidak jauh dari tugunya. Saya menatap rumah tempat penjaga tradisi majelis yang mengenang perjuangan kekasih. Seribu rasa haru, bahagia, rindu, bangga dan lainnya bercampur menyelimuti hati. Salam bagimu duhai semesta yang berduka karena Asyura, dan kini giliran saya mengenal salah satunya.

Siapakah Keluarga Rumah Tabuik?

Masyarakat setempat meyakini pembawa tradisi Tabuik ke Pariaman adalah nenek moyang yang genealoginya dapat ditelusuri dan terkait dengan keluarga Tabuik. Menurut sejarah setempat, keluarga Tabuik adalah kelompok kerabat keturunan yang membawa Tabuik ke Pariaman pada abad yang lalu. Mereka termasuk imigran dari Bengkulu yang sudah beradaptasi dengan sistem sosial setempat (Siregar, 1996). Hal ini juga diungkapkan oleh keluarga penghuni rumah Tabuik. Anggota keluarga Tabuik menyatakan bahwa tradisi ini mereka dapatkan secara turun-temurun dari leluhurnya. Bagi mereka, tradisi Tabuik dianggap sakral dan suci.

Keluarga Tabuik jumlahnya tidak banyak di Pariaman. Pada tahun 1986, Antropolog bernama Kartomi Margaret menyebutkan jumlah mereka kira-kira 15 keluarga (Siregar, 1996). Mereka adalah keluarga yang berasal dari penghuni rumah Tabuik. Rumah Tabuik adalah rumah asal pemilik Tabuik. Dari rumah Tabuik beberapa aktivitas ritual yang penting dimulai , seperti pembuatan daraga dan pembuatan Tabuik. Daraga berasal dari bahasa Persia yaitu: درگه, yang berarti pintu masuk. Daraga merupakan areal mistis yang menjadi simbol makam Al Imam Al-Husain alaihi salam (Hosen, dalam bahasa setempat). Selain menjadi pusat seluruh kegiatan pembuatan tabut, daraga juga menjadi tempat beberapa ritual lain. Seperti: tempat meletakkan beberapa benda-benda sakral setelah prosesi maambiak tanah dan manabang batang pisang serta pelaksanaan maatam (ma’tham).

Rumah Tabuik secara tradisi dan turun temurun berada di Kampung Perak untuk Tabuik Pasa dan di Kampung Jawa untuk Tabuik Subarang. Namun saat ini, hanya rumah Tabuik Pasa yang masih dihuni oleh keluarga Tabuik. Sedangkan rumah Tabuik Subarang karena beberapa alasan, tidak lagi secara langsung berfungsi sebagai pusat kegiatan. Sebagai contoh, daraga untuk tabuik Pasa masih dibuat di Rumah keluarga Tabuik, namun tidak demikian untuk daraga Tabuik Subarang. Pada tahun 1995, pusat kegiatan tabuik Subarang dilaksanakan di kampung Pondok.

Rumah Tabuik menyimpan benda-benda sakral yang digunakan untuk ritual Tabuik sejak tanggal 1-10 Muharram.. Seperti: jari-jari (panja), sorban, pedang jinawi, bendera dan panji-panji. Jari-jari adalah simbol tangan dengan 5 jari yang terbuat dari perak. Dalam tradisi Asyura, hal ini merupakan simbol tangan Abu Fadhl Abbas pemberi air bagi putri-putri keluarga Nabi salallahu alaihi wa alih. Sorban sebagai simbol kelengkapan pakaian Al Husain alaihi salam. Pedang jinawi merupakan tiruan pedang yang digunakan Al Husain alaihi salam di Karbala.

Sejak tahun 2010, pemerintah membangun rumah Tabuik masing-masing untuk rumah Tabuik Subarang di dekat kantor walikota dan rumah Tabuik Pasa di kampung Perak. Saat ini proses pembuatan Tabuik dilaksanakan di rumah Tabuik yang telah dibangun tersebut sekaligus berfungsi sebagai museum Tabuik.

Bagaimana Keluarga Tabuik Menjalani Asyura?

Selain bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Tabuik, keluarga rumah Tabuik juga memiliki tradisi sendiri berkaitan dengan Asyura. Ritual ini dijalankan dengan ketat karena jika tidak, keluarga Tabuik meyakini akan merasakan dampak negatif . Di rumah ini, sebagaimana Sayyidah Zainab menyampaikan pesan revolusi Asyura, perempuan berperan menjaga dan meneruskan adat Tabuik. Sedangkan pihak laki-laki yang disebut pawang, menjadi perpanjangan tangan perempuan di lapangan. Misalnya menjadi tokoh sentral pada prosesi maambiak tanah pada tanggal 1 Muharram, dan sebagainya.

Menjelang memasuki bulan Muharram, keluarga ini mulai mempersiapkan benda-benda sakral yang berhubungan dengan ritual Tabuik. Benda-benda sakral tersebut disimpan oleh kaum perempuan secara khusus dan hanya dikeluarkan ketika akan digunakan. Salah seorang ibu dari keluarga ini menuturkan pentingnya menjaga benda sakral ini bagi mereka. Pengambilan benda-benda ini juga dilakukan dengan ritual khusus.

Selain itu, pada tanggal 7 Muharram dilaksanakan maatam oleh anggota keluarga perempuan. Pada ritual maatam ini, seluruh anggota keluarga Tabuik perempuan mengenakan pakaian hitam akan berkumpul mengelilingi daraga. Diiringi gendang tasa dengan ritme duka, beberapa kali mereka akan menyebut kata: “Husen, Husen”  kadang menyebut Hasan, Husen” . Pada generasi terdahulu, maatam dilakukan sambil menangis. Namun, akhir-akhir ini lebih banyak diungkapkan dalam bentuk ekspresi duka atau kesedihan saja (Muchtar, 2014)

Memasuki bulan Muharram hingga ritual Tabuik berakhir, mereka menjauhi memakan makanan yang berdarah. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa adab yang dianjurkan ulama Syiah ketika memasuki hari-hari Asyura. Yaitu untuk berperilaku sebagai orang yang sedang tertimpa musibah, sehingga tidak menyediakan makanan yang lezat di rumah. Bahkan pada tanggal 10 Muharram layaknya orang berduka, hanya makan seadanya di rumah.Untuk mengetahui lebih lanjut peran keluarga Tabuik, dapat dilihat pada penjelasan tentang ritual Tabuik yang dilaksanakan tanggal 1-10 Muharram. Seorang ibu dari anggota keluarga Tabuik bercerita bagaimana ia sejak kecil dari tahun ke tahun ikut berperan. Misalnya, menyediakan sarobaik (syarbat yang dalam bahasa Persia berarti minuman sirup) bagi orang-orang.

Referensi:

Muchtar, Asril, Sejarah Tabuik, Dinas Pariwisata Kota Pariaman, Cet-1, 2014

Siregar, Miko, Thesis “Tabuik Piaman: Kajian Antroplogis Terhadap Mitos dan Ritual, UI, 1996

No comments

LEAVE A COMMENT