Oleh: Ustadz Husein Alkaff, MA*
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Āli ‘Imrân [3]: 159)
Rasulullah Saw Sebagai Teladan dalam Al-Qur’an
Ayat ini menjelaskan tentang sikap yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan sikap yang harus diambil oleh beliau dalam menghadapi para pengikutnya. Sikap yang dilakukan Rasulullah Saw ini adalah demi menjaga keutuhan umat dan agar mereka tetap berada dalam lingkaran beliau. Tugas Rasulullah Saw tidak hanya mengajak kaum Musyrikin ke ajaran tauhid saja, tapi juga bagaimana menjaga umat yang telah bertauhid itu agar tetap bersamanya dan mengikuti ajaran Islam. Tugas kedua ini tidak kalah berat dari tugas yang pertama. Bahkan menjaga atau merawat sesuatu lebih berat daripada membangunnya.
Setidaknya ada empat sikap yang dijelaskan dalam ayat ini; lemah lembut, memaafkan, dialog dan tawakal. Empat sikap ini mutlak dibutuhkan oleh Rasulullah Saw dalam menjaga keutuhan umat, dan beliau tentu sudah melakukannya dengan baik dan sempurna. Sejarah kehidupan beliau penuh dengan catatan-catatan tentang sikap beliau yang indah dan mulia dalam menghadapi tingkah polah sebagian para pengikutnya. (Baca: Mengapa Alquran Turun dengan Bahasa Arab? Dan Mengapa Lebih Baik Dibaca dengannya?)
Al-Qur’an telah merekam beberapa sikap sebagian pengikut Rasulullah Saw di hadapan Rasulullah Saw, dan bagaimana beliau menghadapi mereka, khususnya dalam surat Al-Hujurât. Sikap beliau yang lemah lembut, sabar dan mengayomi menjadikan beliau seorang teladan (uswah) yang tidak tertandingi. Yang menarik adalah bahwa meskipun beliau sudah berusaha dengan sempurna melalui sikap-sikapnya itu dalam menjaga agar mereka tetap berada dalam lingkaran kebenaran, namun hal itu tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan tetap dalam lingkaran kebenaran. Karena, hal itu menjadi otoritas Allah Swt.
Dia-lah yang memberi petunjuk yang dikehendaki-Nya. Atas dasar itu, ayat di atas memerintahkan beliau agar bertawakal. Perintah untuk tawakal memberikan satu ruang kepada beliau agar tidak terlalu terbebani dengan tugas yang sangat berat itu, yakni menjaga keutuhan mereka dan agar mereka tetap berada dalam lingkaran kebenaran. Beliau diperintahkan agar menyerahkan semua itu kepada Allah Swt.
Sikap Pengikut Ahlul Bait dalam Menghadapi Fitnah
Meski secara spesifik ayat ini diarahkan untuk Rasulullah Saw dalam menghadapi para pengikutnya, namun ayat ini juga relevan dengan kondisi kaum Muslimin yang berbeda-beda dalam hampir semua urusan; politik, sosial, mazhab, keluarga dan lainnya. Khususnya saat perbedaan pandangan dan mazhab telah dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk menciptakan perpecahan, kebencian dan permusuhan di tengah kaum Muslimin.
Dalam situasi yang penuh fitnah dan cobaan ini, para pecinta dan pengikut Ahlul Bait secara umum berada dalam keadaan yang sangat dirugikan dan seringkali mereka dijadikan sebagai sasaran empuk oleh kalangan tertentu. Mereka menjadi korban kebencian, permusuhan dan pembantaian. (Infografis: Mengapa Al-Hasan Berdamai dan Al-Husain Bangkit?)
Sesungguhnya keadaan seperti ini tidak hanya terjadi pada saat sekarang ini saja. Jauh sebelum ini, sejak sepeninggal Rasulullah Saw, para Imam Ahlul Bait as dan para pengikut mereka selalu dalam tekanan dan menjadi target kebencian dan permusuhan.
Kita, jama’ah Ahlul Bait di Indonesia, tidak dikecualikan dari keadaan itu. Sebuah keadaan yang sangat berat dan penuh tantangan yang menuntut kita untuk mengambil sikap dan tindakan yang benar dan tepat.
Ayat di atas dapat dijadikan sebagai referensi dalam mengambil sikap dan tindakan yang benar dan tepat sekaligus meneladani Rasulullah Saw dalam menjaga keutuhan para pengikutnya. Ayat di atas seakan-akan baru turun dan mengajarkan kepada kita apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi situasi yang penuh kekalutan dan penuh fitnah ini.
Kita menyadari bahwa agama Islam yang sampai kepada kita melalui para Imam Ahlul Bait, baik ucapan maupun tindakan mereka, sangat kaya dan luhur. Apa yang keluar dari mereka adalah mutiara-mutiara yang sangat berharga. Ajaran mereka memberikan pencerahan intelektual, pemantapan hati dan solusi atas berbagai urusan manusia; individu, keluarga, sosial dan lainnya.
Kita juga menyadari dengan baik bahwa para Imam Ahlul Bait, sebagaimana Rasulullah Saw, dihadirkan untuk seluruh umat manusia, tidak untuk kelompok tertentu saja. Persoalannya adalah ajaran mereka yang kaya dan luhur ini tidak sampai kepada semua umat manusia.
Dalam beberapa kondisi, tidak sampainya ajaran Ahlul Bait kepada mereka dikarenakan tindakan dan sikap sebagian pengikut Ahlul Bait. Karena itu, kita perlu menyimak ayat di atas yang menjelaskan sikap Rasulullah Saw yang berhasil mengayomi para pengikutnya dengan sikap yang lembah lembut. Seandainya beliau tidak bersikap demikian, maka para pengikutnya akan meninggalkan beliau (lanfadhdhû min hawlika). (Baca: Berkatalah Lemah Lembut di Tengah Keluarga)
Ayat di atas juga ingin menjelaskan kepada kita bahwa kebenaran dan keindahan sebuah ajaran saja tidak cukup untuk menjadi sebab umat manusia menerimanya. Sebuah ajaran yang benar dan indah membutuhkan perangkat dan kemasan yang menarik juga. Perangkat dan kemasan yang dimaksud antara lain adalah sikap dan tindakan para pembawanya.
Faktor subjektifitas pembawa ajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam penerimaan sebuah ajaran oleh umat manusia. Oleh karena itu, ketertarikan umat manusia pada ajaran Ahlul Bait tidak bisa dipisahkan, meskipun secara relatif dan parsial, dari para pembawa dan pengikutnya.
Sebaliknya, kebencian mereka pada ajaran ini boleh jadi karena sikap para pembawa dan pengikutnya juga. Jika demikian keadannya, maka para pengikut Ahlul Bait bertanggung jawab dalam menjaga kesucian dan keindahan ajaran Ahlul Bait.
Salah satu faktor yang dapat menarik mereka pada ajaran yang suci ini adalah sikap lembut dan tidak kasar serta tidak keras sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Karena itu, sikap lemah lembut harus dimiliki oleh para pembawa dan pengikut Ahlul Bait as.
Faktor lain yang menyebabkan terhambatnya penyebaran ajaran Ahlul Bait di tengah umat manusia adalah informasi yang salah yang sampai kepada mereka. Sejak dahulu kala, selalu ada kalangan yang dengan sengaja memutarbalikan fakta dan berupaya mengaburkan ajaran Ahlul Bait, tepatnya, sejak dinasti Bani Umayah dibangun dan dilanjutkan oleh Bani Abbas hingga beberapa dekade terakhir ini.
Pemutarbalikan fakta dan pengaburan informasi sangat gencar dan massif. Akibatnya, banyak yang jatuh menjadi korban salah informasi yang pada gilirannya mereka pun ikut serta bersuara dan menyanyikan lagu-lagu kebencian terhadap ajaran Ahlul Bait. (Baca: Doa Imam Zainal Abidin Ketika Mengingat Keluarga Nabi)
Mereka adalah orang-orang awam (niâ’j) yang tergiring mengikuti ke arah mana angin bertiup. Mereka tidak mempunyai tendensi apapun terhadap para pengikut Ahlul Bait. Mereka adalah orang-orang layak dimaklumi dan dimaafkan (fa’fu ‘anhum wastaghfir lahum) dan jika memungkinkan mereka perlu diajak dialog dan diskusi dengan cara yang baik (wa syawirhum fil amri).
Akhlak dalam Berdialog
Sudah barang tentu, saat berdialog materi yang disampaikan tidak boleh menyerempet hal-hal yang sensitif, dan harus sejalan dengan semangat fatwa Sayyid Ali Khamene’i – semoga Allah Swt menjaganya – tentang hal-hal yang dihormati oleh mereka. Dengan cara seperti ini, maka jalan untuk mengenal ajaran Ahlul Bait akan terbuka bagi mereka, dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan menjadi pengikut ajaran ini, insya Allah.
Lain dari pada itu, fakta yang cukup mengganggu jama’ah Ahlul Bait di Indonesia adalah pola komunikasi antar sesama yang kurang harmonis, sehingga meskipun dalam jumlah yang sangat kecil, muncul kekecewaan dari sebagian mereka, dan pada akhirnya mereka keluar dari komunitas atau melalukan hal-hal yang nyeleneh.
Kekecewaan sebagian karena sebagian yang lain tidak boleh terjadi dan tidak boleh dibiarkan karena akan merusak keutuhan jama’ah Ahlul Bait, dan pada gilirannya akan memperlemah mereka. Perlu ada perubahan pada setiap individu jama’ah dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama mereka sendiri. Karena itu, menarik kembali yang sudah lepas dan mengikat yang masih bertahan dalam ikatan yang kuat harus menjadi program prioritas setiap individu jama’ah Ahlul Bait, khususnya yang memiliki kompetensi dan kredibilitas yang lebih. (Baca: Makna Syiah – 1)
Cara yang paling efektif dalam melakukan upaya itu adalah bersikap lemah lembut, memaafkan dan berdialog atau berkomunikasi secara sehat, sebagaimana dijelaskan ayat di atas.
Penutup
Last but not least, kita hanya bisa berusaha sebaik dan semaksimal mungkin untuk menyatukan diri kita masing-masing dan merajut orang-orang yang terikat dengan ajaran Ahlul Bait as, dan berusaha menyandang ajaran yang suci dan indah ini agar umat manusia menyaksikan ajaran ini sebagaimana adanya, yakni sebagai ajaran yang indah dan menawan.
Mudah-mudahan kita terbawa menjadi indah dan menawan karena ajaran yang indah ini. Setelah itu, kita serahkan kepada Allah Swt, apakah Dia akan membuka hati mereka atau tetap menutupnya.
“Aku tidak menghendaki kecuali perbaikan semampuku. Tiada keberhasilanku kecuali dengan (izin) Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)
*Penulis adalah salah satu anggota Dewan Syura ABI
(Dikutip dari Buletin Al-Wilayah, Edisi 3, Agustus 2016 / Dzulqaidah 1437 H)
Baca: Pidato Imam Khamenei : Cinta Ahlulbait Nabi as Sebagai Poros Persatuan Islam (1)