Adapun rasa takut pada kategori ketiga telah diisyaratkan dalam Doa Shabah Imam Ali as;
وأجر اللَّهمّ لهيبتك من آماقي زفرات الدموع.
“Ya Allah, linangkan air mata dari saluran-saluran air mataku atas kewibaanMu.”
Namun demikian, masih perlu dipertimbangkan kembali anggapan bahwa kalangan khusus tidak memiliki rasa takut kategori pertama, atau bahwa kalangan yang lebih khusus tidak memiliki rasa takut kategori kedua. Karena kepada Ahlul Baitlah dinisbatkan firman Allah, “Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.”
Hanya saja, rasa takut para insan maksum seperti Ahlul Bait as tentu tidaklah sama dengan rasa takut manusia biasa yang terjadi akibat maksiat. Para insan maksum tidak berbuat dosa dan maksiat dalam pengertian yang umum sehingga apa yang mereka takutkan adalah dosa tertentu yang tidak menyalahi kemaksuman. Mereka juga mengalami rasa takut tapi di luar pengertian yang terbayang oleh manusia biasa. Mereka takut dan merasa berdosa misalnya karena meninggalkan sesuatu yang lebih utama, dan setiap pesuluk juga memiliki kondisi demikian sesuai jenjang irfan dan kesempurnaan yang dicapainya, sebagaimana dialami oleh Dzun Nun (Nabi Yunus as) yang diabadikan dalam firman Allah SWT;
فَلَوْلاَ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ * لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ.
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”[1]
Atau mereka juga bisa takut karena keterhijaban dari Allah SWT seperti yang dilukiskan dalam Doa Kumail; “Wahai Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku, sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksaMu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dariMu?”
Pencapaian jenjang seorang salik setinggi apapun tetap tidak menutup kemungkinan ada ketakutan pada keterhijaban lagi. Kesucian tingkat tinggi juga tidak menegasikan rasa takut kepada kemungkinan terjadinya ketercemaran lagi atau keterjebakan lagi pada kelayakan untuk mendapat azab.
Berikut ini adalah beberapa riwayat mengenai rasa takut kepada Allah SWT;
Hamzah bin Hamran meriwayatkan; Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Jakfar al-Shadiq as) berkata;
إنّ ممّا حُفِظَ من خطب رسول الله أ نّه قال: أيّها الناس، إنّ لكم معالم فانتهوا إلى معالمكم، وإنّ لكم نهاية فانتهوا إلى نهايتكم، ألا إنّ المؤمن يعمل بين مخافتين: بين أجل قد مضى لا يدري ما الله صانع فيه؟ وبين أجل قد بقي لا يدري ما الله قاض فيه؟ فليأخذ العبد المؤمن من نفسه لنفسه، ومن دنياه لآخرته، وفي الشبيبة قبل الكِبَر، وفي الحياة قبل الممات، فوالذي نفس محمّد بيده ما بعد الدنيا من مستعتب، وما بعدها من دار إلاّ الجنّة أو النار.
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian memiliki ajaran maka berhentilah pada ajaran kalian, dan kalian memiliki batas akhir maka berhentilah pada batas akhir kalian. Ketahuilah bahwa seorang mukmin berbuat di antara dua rasa takut; antara ajal yang telah lalu tanpa dia mengetahui apa yang dilakukan Allah padanya dan ajal yang masih tersisa tanpa dia mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah padanya. Maka seorang hamba mukmin hendaknya mengambil dari jiwanya untuk dirinya dan dari dunia untuk akhiratnya, dan dalam masa muda sebelum masa tua, dalam hidup sebelum mati. Maka demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tak ada yang diminta kerelaannya sesudah dunia dan tak ada tempat tinggal sesudahnya kecuali surga atau neraka.”[2]
Abu Ubaidah al-Hadzdza’ juga meriwayatkan bahwa Abu Abdillah as berkata;
المؤمن بين مخافتين: ذنب قد مضى لا يدري ما صنع الله فيه، وعمر قد بقي لا يدري ما يكتسب فيه من المهالك؟ فلا يصبح إلاّ خائفاً، ولا يصلحه إلاّ الخوف.
“Seorang mukmin berada di antara dua ketakutan; dosa yang telah lalu tanpa dia mengetahui apa yang diperbuat Allah padanya; dan usia yang tersisa tanpa dia mengetahui apa yang dia peroleh di dalamnya berupa kebinasaan. Maka jadilah dia takut semata, dan tak ada yang patut baginya kecuali takut.”[3]
Allah SWT berfirman;
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ.
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.”[4]
Tentang ayat suci ini Dawud al-Raqqi meriwayatkan bahwa Imam Abu Abdillah as berkata;
من علم أنّ الله يراه، ويسمع ما يقول، ويعلم ما يعمله من خير أو شرّ، فيحجزه ذلك عن القبيح من الأعمال، فذلك الذي خاف مقام ربّه ونهى النفس عن الهوى.
“Barangsiapa mengetahui bahwa Allah melihatnya, mendengar apa yang dia katakan, mengetahui apa yang dia ketahui berupa kebaikan maupun keburukan maka dialah orang yang takut kepada kedudukan Tuhannya dan menahan hawa nafsu.”[5]
[1] QS. Al-Shaffat [37]: 143 – 144.
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 218 – 219, Bab 14 Jihad al-Nafs, Hadis 1.
[3] Ibid, hadis 2.
[4] QS. Al-Rahman [55]: 46.
[5] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 219, Bab 14 Jihad al-Nafs, Hadis 3.