Dari kisah Hamid bin Qahtabah terlihat betapa sebab kebinasaannya adalah keputus asaan dirinya, bukan kejahataannya yang meskipun memang sangat biadab terhadap keturunan Rasulullah saw tersebut. Sebab, seandainya kedurjaan itu tidak membuatnya putus asa niscaya masih ada kesempatan baginya untuk mencari kesembuhan jiwa, terutama dengan menghadap imam maksum yang hidup pada zamannya, Imam Musa bin Jakfar al-Kadhim as atau Imam Ali bin Musa al-Ridha as.
Apakah kedua imam maksum ini akan menolak kedatangan Hamid seandainya dia benar-benar ingin bertaubat, mengingat dia sebenarnya sangat menyadari besarnya dosa yang dia lakukan itu? Sama sekali tidak demikian. Dia juga seolah tidak pernah membaca ayat suci al-Quran;
وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً * يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً * إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَات وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً.
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1]
Ayat ini menegaskan ancaman Allah SWT untuk melipat gandakan azab yang kekal di akhirat terhadap orang yang telah merenggut jiwa yang diharamkan Allah dan orang yang berbuat zina. Tapi kemudian ada pengecualian, yaitu orang yang bertaubat dan beramal baik. Allah SWT bahkan berjanji kepada orang yang dikecualikan ini untuk mengganti keburukan mereka dengan kebajikan.
Bisa jadi, bagian dari amal salih yang harus dijalani oleh seorang pembunuh adalah kesiapannya menerima hukuman qisas. Yang jelas, dalam kondisi bagaimanapun pintu rahmat Allah tetap terbuka baginya, hanya saja manusia semisal Hamid bin Qahtabah justru menutup sendiri pintu itu dengan keputus asaannya.
Abu Hamzah al-Tsumali meriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
ارج الله رجاءً لا يجرئك على معصيته، وخفِ الله خوفاً لا يؤيسك من رحمته.
“Berharaplah kepada Allah dengan pengharapan yang membuatmu tak berani bermaksiat kepadaNya, dan takutlah kepada Allah dengan rasa takut yang tidak membuatmu berputus asa kepada rahmatNya.”[2]
Pada intinya, rasa takut dan harapan jika dikombinasikan dengan seimbang maka segala dampak yang buruk masing-masing sifat ini bagi jiwa yang lemah akan teratasi. Keduanya saling melengkapi kekurangan yang ada.
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
: إنّه ليس من عبد مؤمن إلاّ وفي قلبه نوران: نور خيفة، ونور رجاء، لو وزن هذا لم يزد على هذا، ولو وزن هذا لم يزد على هذا.
“Ayahku pernah berkata, ‘Tak ada hamba mukmin kecuali dalam hatinya terdapat dua cahaya; cahaya rasa takut dan cahaya harapan yang jika ini ditimbang maka tidak akan lebih berat daripada yang itu, dan yang itu dityimbang maka tidak lebih berat daripada yang ini.”[3]
Imam Jakfar al-Shadiq as juga berkata;
كان فيما أوصى به لقمان لابنه أن قال: يا بنيّ خفِ الله خوفاً لو جئته ببرّ الثقلين خفت أن يعذّبك الله، وارج الله رجاءً لو جئته بذنوب الثقلين رجوت أن يغفر الله لك.
“Luqman dalam berwasiat kepada puteranya berkata, ‘Wahai puteraku, takutlah kepada Allah dengan rasa takut yang seandainyapun kamu menghadapNya dengan membawa kebaikan manusia dan jin niscaya kamu masih takut Allah mengazabmu, dan berharaplah kepada Allah dengan harapan yang seandainyapun kamu menghadapnya dengan membawa dosa manusia dan jin niscaya kamu tetap berharap Allah mengampunimu.’”[4]
Dalam nash para imam maksum terdapat berbagai ungkapan yang membangkitkan rasa takut sekaligus pengharapan, antara lain dalam penggalan Doa Kumail yang diajarkan oleh Imam Ali as sebagai berikut;
يا إلهي وسيّدي وربّي أَتُراك معذّبي بٍنَارِك بعد توحيدك، وبعد ما انطوى عليه قلبي من معرفتك، ولهج به لساني من ذكرك، واعتقده ضميري من حبّك، وبعد صدق اعترافي ودعائي خاضعاً لربوبيّتك، هيهات أنت أكرم من أن تضيّع من ربيته، أو تبعّد من أدنيته، أو تشرّد من آويته، أو تسلّم إلى البلاء من كفيته ورحمته. وليت شعري يا سيّدي والهي ومولاي أتسلّط النار على وجوه خرّت لعظمتك ساجدة، وعلى ألسن نطقت بتوحيدك صادقة وبشكرك مادحة، وعلى قلوب اعترفت بالهيّتك محقّقة، وعلى ضمائر حوت من العلم بك حتّى صارت خاشعة، وعلى جوارح سعت إلى أوطان تعبّدك طائعة، وأشارت باستغفارك مذعنة، ما هكذا الظنّ بك، ولا أُخبرنا بفضلك عنك يا كريم.
Ya Allah, Junjunganku, Pemeliharaku, Apakah Engkau akan menyikasaku dengan apiMu, setelah aku mengesakanMu, setelah hatiku tenggelam dalam makrifatMu, setelah lidahku bergetar menyebutMu, setelah jantungku terikat dengan cintaMu, setelah segala ketulusan pengakuanku dan permohonanku, seraya tunduk bersimpuh pada rububiahMu?
Tidak, Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau pelihara atau menjauhkan orang yang Engkau dekatkan, atau menyisikan orang yang Engkau naungi, atau menjatuhkan bencana pada orang yang Engkau cukupi dan Engkau sayangi.
Aduhai diriku! Junjunganku, Tuhanku, PelindungKu! Apakan Engkau akan melemparkan ke neraka wajah-wajah yang tunduk rebah karena kebesaranMu, lidah-lidah yang dengan tulus mengucapkan keEsaanMu dan dengan pujian mensyukuri nikmatMu, kalbu-kalbu yang dengan sepenuh hati mengakui uluhiahMu, hati nurani yang dipenuhi ilmu tentang Engkau, sehingga bergetar katakutan, tubuh-tubuh yang telah biasa tunduk untuk mengabdiMu dan dengan merendah memohon ampunanMu
Tidak sedemikian itu persangkaan kami tentangMu, padahal telah diberitakan pada kami tentang keutamaanMu, Wahai Pemberi karunia.
(Selesai)
[1] QS. Al-Furqan [25]: 68-70.
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 217 – 218, Bab 13 Jihad al-Nafs, Hadis 7.
[3] Ibid, hal. 217, Hadis 4.
[4] Ibid, hadis 6.