Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Bahasa mengartikan hubb (cinta) dengan kecenderungan yang kuat. Sedangkan istilah, memaknakannya dengan kecenderungan hati pada yang dicinta. Sesuatu yang tak dicinta, hati takkan cenderung padanya. Kecenderungan ini pun bertingkat-tingkat, dan bila menguat, cinta ini disebut isyq.

Kecenderungan batin ini melahirkan rindu bila kekasih tak hadir di sisinya. Pada saat itu hati mendesak, Carilah dia sampai dapat! Dahaga rindu takkan lepas sampai melihat dia. Demikianlah keadaan seorang arif. Takkan lepas rindunya kepada Sang Kekasih sampai hatinya diliputi menyaksikan Dia.

Satu soal yang diulang-ulang dalam kisah-kisah cinta: dari mana datangnya cinta? Dan jawabannya selalu dari mata turun ke hati!. Dari sini terlintas dibenak penulis sebuah ayat, A lastu bi rabbikum; bukankah Aku Tuhan kamu?. Mereka menjawab, Balâ; ya. Bahwa, mereka telah mengenal Dia! Tuhannya Yang Mahaindah, Mahasempurna. Kemudian mereka lupa ketika mereka sampai ke alam dunia. (Baca: Cinta kepada Allah -1)

Ayatullah Sayed Kamal al-Haidari mengatakan: Tak diragukan bahwa kecenderungan batin, cinta dan rindu takkan terjadi kecuali setelah mengenal yang dicinta. Jadi, mustahil cinta itu dilahirkan oleh kebodohan (hal tidak mengenal dia).

Rasulullah saw bersabda: Allah tidak mengangkat seorang wali (pecinta-Nya) yang bodoh. (Syarh Ushul al-Kafi, juz 8, hal 348, hadis 1).

Jelas tidaklah mungkin seorang hamba yang menjadi wali-Nya itu minus makrifat. Karena cinta yang dimilikinya adalah anak kandung atau buah hasil makrifatnya. Cinta pun menurut kadar makrifat yang dicapai. Jadi, tingkat makrifatnya menentukan kadar cintanya kepada Allah swt.

Manusia pada tabiatnya termotivasi pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan. Ia akan berusaha untuk mencapainya. Karena secara pasti dia cinta kesempurnaan. Hakikat dirinya yang papa sebagai esensi yang membutuhkan dan bergantung, akan cenderung dan bergantung pada kesempurnaan yang mutlak. Ialah Dzat Yang Mahakaya. Oleh karena itu, hati para pecinta-Nya kosong dari apa-apa yang selain Dia.

Kekosongan itu merupakan kesempurnaan bagi mereka para hamba-Nya, dan kesempurnaan yang mereka capai dan miliki adalah karunia dari Allah, yang Dia anugerahkan kepada mereka. (Baca: Al-Ghadir: “Hari Ini Aku Sempurnakan Agamamu”)

Imam Husein as dalam doa Arafah mengungkapkan: Engkau lah yang menghapus apa saja selain-Mu dari hati para pecinta-Mu. Sehingga mereka tak cinta selain Engkau dan takkan berpaling kepada selain Engkau.. (Mafatihul Jinan, Doa Arafah)
Hal menghapus apa-apa yang lain selain Dia- ini bukan dengan sebuah mukjizat yang tak tampak, tetapi dengan kefokusan dan perhatian kepada-Nya, setelah sang hamba mengetahui tujuan dan mengesakan al-Maqshûd (Allah swt) serta melangkah untuk hadir sepenuhnya di hadapan Sang Mabud.

Diterangkan dalam sebuah riwayat, bahwa nabi Musa al-Kalim as bermunajat dengan Tuhannya di Wadil Muqaddas (Lembah Suci): Tuhanku, sesungguhnya telah aku ikhlaskan (tuluskan) cinta kepada-Mu dari diriku. Telah aku bersihkan hatiku dari selain-Mu. Sementara cintanya kepada keluarganya cukup berat. Maka Allah swt berfirman: maka tanggalkanlah kedua terompahmu! (QS: Thaha 12). Yakni, Tanggalkan cinta kepada keluargamu dari hatimu jika cintamu itu tulus kepada-Ku dan hatimu telah bersih dari kecenderungan kepada selain-Ku. (Kamaluddin wa Tamamun Nimah/Syaikh Shaduq).

Jika dikatakan, cinta adalah kecenderungan, maka yang dicinta akan menjadi beragam level (makrifat kepadanya) sesuai daya gapai (pengetahuan) akan dia. Daya-daya gapai ini bisa merupakan indera lahir, atau indera batin dan atau daya pikir (rasional). Dengan demikian, maka kelezatan (yang dicapai) menjadi beragam pula level kuat dan lemahnya, sesuai daya gapai yang dimiliki si penggapai dia. (Baca: Munajat Orang yang Taat)

Kelezatan-kelezatan yang didapat dengan panca indera lahir; yang melihat, yang mendengar, yang mencium, yang meraba dan yang mengecap, di dalam fenomena yang indah, suara yang merdu, aroma yang sedap, pakaian yang mewah, makanan dan minuman yang enak, semua kelezatan ini -kendati berarti dalam kehidupan manusia- merupakan tingkatan yang terendah. Lebih rendah dari kesenangan-kesenangan batiniah, berupa kedudukan, kemenangan atas musuh dan menaklukkannya, meraih posisi yang terhormat, dan kelezatan seks dan lain sebagainya.

Kesenangan-kesenangan batiniah tersebut walaupun memiliki posisi di atas kelezatan-kelezatan lahiriah itu, tetapi levelnya lebih rendah dari kenikmatan rasional seperti mengenal Allah; perjalanan di dalam (pengkajian) asmâ` dan sifat-sifat-Nya; upaya memahami rahasia-rahasia makhluk; pencapaian keindahan rububiyah dan sebagainya. Semua ini adalah sesuatu yang tak pernah terlihat mata, tak pernah terdengar telinga dan tak pernah terlintas di benak (hati) manusia.

Referensi:
Makrifatullah (juz 1)/Ayatullah Sayed Kamal al-Haidari

 

Baca: Ibnu Hibban: “Semoga Allah Wafatkan Kita dalam Kecintaan kepada Al-Mustafa dan Ahlul Baitnya.”

 

No comments

LEAVE A COMMENT