Penjelasan lebih jauh mengenai tingkatan ikhlas dalam beramal ialah sebagai berikut;
Tingkat pertama, ikhlas sebatas dalam pengertiannya secara fikih yang merupakan syarat sahnya amal ibadah, yaitu niat mendekatkan diri (taqaarub) kepada Allah SWT. Pertanyaan yang mengemuka tentang ini ialah bahwa dalam fikih memang disyaratkan demikian, tapi bagaimana jika ibadah ternyata diniatkan untuk tujuan lain yang bersifat duniawi semisal mencari kesembuhan, menghalau musuh, dan mengatasi kemiskinan? Bukankah semua ini bukan diniatkan untuk bertaqarrub, melainkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri?
Lebih jauh lagi, ibadah yang bertujuan ukhrawi juga tidak semuanya diniatkan bertaqarrub. Hampir semua orang bahkan berniat untuk taqarrub, melainkan demi mendapatkan pahala atau menghindari azab. Alih-alih beribadah dengan mental insan merdeka, kebanyakan orang beribadah dengan mental pedagang ataupun budak. Lantas apakah ibadah kebanyakan orang ini batal atau tidak sah?
Pertanyaan ini dijawab dalam konteks fikih bahwa ibadah akan sah jika dilakukan tidak dengan riya’ (mencari pujian orang), melainkan dengan niat mematuhi perintah Allah atau bertaqarrub kepadaNya. Hanya saja, faktor yang mendorong orang untuk patuh dan bertaqarrub itu adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan duniawi ataupun ukhrawi. Dengan demikian, meskipun tujuan akhirnya adalah pemenuhan kebutuhan tapi tujuan ini menjadi satu motivasi menuju motivasi lain berupa taqqarrub, dan ini saja cukup untuk sahnya ibadah.
Tingkat kedua, tujuannya memang Allah SWT, tapi sebenarnya tujuan ini bersifat sekunder, karena tujuan primernya adalah mendapatkan pahala akhirat dan menghindari api neraka. Tingkat ini tentu lebih baik daripada tingkat pertama, walaupun juga berkekurangan karena tidak benar-benar tulus karena Allah SWT semata.
Tingkat ketiga, tujuannya juga Allah SWT dan mendapatkan keridhaanNya, namun tujuan ini juga dibarengi dengan tujuan menikmati keridhaan Allah SWT dan kedekatan denganNya, tapi bukan tujuan mendapatkan pahala atau menghindari siksaNya maupun memenuhi kebutuhan.
Tingkat keempat, tujuannya hanyalah Allah SWT semata tanpa ada pertimbangan lain meskipun bersifat sekunder berupa pemenuhan kebutuhan duniawi, atau peraihan pahala dan keterhindaran dari neraka, atau bahkan kenikmatan beribadah kepadaNya, memperoleh ridhaNya dan ketersampaian kepadaNya. Dalam kondisi demikian manusia akan lupa akan dirinya sehingga tak berbekas lagi rasa cinta akan dirinya sehingga yang ada dalam sanubarinya hanyalah kecintaan kepadaNya semata.
Namun demikian, ada pendapat yang menyatakan mustahil cinta diri bisa terlepas dari jiwa manusia kecuali apabila hakikatnya bermutasi, sebab cinta diri bersifat esensial (dzati) bagi manusia. [1] Teks-teks keislaman mendukung pendapat ini, karena para insan maksum meskipun ibadahnya tergolong ibadah insan merdeka dan tujuan puncak mereka adalah keridhaan Allah, bertaqarrub dan kembali kepadaNya serta fana dalam Zat Allah dan kecintaan kepadaNya, namun banyak doa yang berasal dari mereka jelas-jelas mengandung permohon surga dan kenikmatan fisik serta berharap terjauh dari neraka. Asumsi bahwa semua doa demikian hanyalah sekedar “berlagak” demi mendidik umat yang belum mencapai tingkatan seperti mereka terkesan dipaksakan sehingga sulit diterima.
Atas dasar ini, puncak keikhlasan atau apa yang disebut tahdzibun nafs bukan berarti penjernihan jiwa dari kecintaan kepada pahala atau kenikmatan. Sebab cinta diri merupakan sesuatu yang esensial bagi manusia, sementara kekurangan manusia yang membuatnya mustahil dapat mencapai Dzat Allah juga merupakan sesuatu yang esensial bagi manusia dan segala wujud mumkin.
Sebaliknya, puncak tahdzib dan ikhlas adalah tingkatan di mana kecintaan manusia kepada Allah SWT menjadi motivator baginya untuk patuh kepadaNya sehingga seandainyapun tidak ada surga dan neraka maka dia juga akan tetap patuh kepadaNya. Pada kondisi ini manusia tidak akan malas atau merasa terpaksa dalam menjalani kepatuhan, karena keridhaan Allah adalah keridhaannya, kecintaanNya adalah kecintaannya, sehingga kepatuhan dalam segala keadaan akan dilakukan dengan senang hati tanpa dimotivasi oleh rasa takut kepada siksa ataupun hasrat kepada pahala.
Lawan yang paling kontras dengan keikhlasan tingkat ini ialah perangai kaum munafik sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
إِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً * مُّذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لاَ إِلَى هَـؤُلاء وَلاَ إِلَى هَـؤُلاء.
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir).”[2]
وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ.
“Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.”[3]
(Bersambung)
[1] Lihat Falsafatuna, hal. 35 – 36.
[2] QS. al-Nisa’ [4]: 142.
[3] QS. al-Taubah [9]: 54.