Qana’ah bermakna merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Lawan dari qana’ah adalah serakah (hirsh), yaitu sebuah watak yang selalu merasa kurang, sebanyak apapun harta yang sudah dimiliki. Kedua sifat ini menimbulkan efek yang juga bertolak belakang. Jika keserakahan menyebabkan kegundahan dan kesedihan, sikap qana’ah justru malah menciptakan ketenangan dan kebahagiaan hidup.
Ada banyak sekali hadis terkait dengan keutamaan qana’ah yang disampaikan oleh maksumin a.s. Berikut ini kita kutipkan dua di antaranya, yang disampaikan oleh Imam Ali a.s.
مَنِ اقْتَصَرَعَلى بُلْغَةِ الْکَفافِ فَقَدِ انْتَظَـمَ الرّاحَةَ وَ تَبَوَّاَ خَفْضَ الدَّعَةِ
Siapa saja yang bersikap qana’ah dengan apa yang mencukupi kehidupannya, ia pasti akan merasakan hidup yang tenang serta tempat tinggal yang melindunginya. [Nahjul Balaghah, hikmah nomor 371]
اِنتَقِم مِنَ الحِرصِ بِالقَناعَةِ کَما تَنتَقِمُ مِنَ العَدُوِّ بِالقِصاصِ
Balaslah keserakahan dengan qana’ah, seperti engkau membalas musuhmu dengan qishash. [Al-Kafi, Jilid 2 halaman 138]
Seluruh peri kehidupan keluarga Rasulullah dipenuhi dengan praktek nilai-nilai kebajikan, termasuk di antaranya adalah yang terkait dengan masalah qana’ah. Kalau kita menelaah apa yang terjadi pada Imam Ali dan Sayyidah Zahra, misalnya, sikap qana’ah itu bahkan sudah dipraktekkan sejak keduanya baru memulai mahligai rumah tangga.
Baca: “KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) dalam Referensi Teks Islam (1)“
Pernikahan keduanya berlangsung dengan cara yang amat sederhana. Sejarah mencatat, mahar yang diberikan Imam Ali untuk menikahi Sayyidah Zahra sebanyak 400 dirham, hasil penjualan dari baju perang miliknya. Nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan tradisi mahar di saat itu, juga terasa sangat aneh dikaitkan dengan fakta bahwa yang menikah adalah puteri Baginda Nabi.
Dalam salah satu memoarnya tentang Sayyidah Zahra salamullah ‘alaiha, Imam Ali berkata, “Fathimah tak pernah merasa kesal denganku, dan dia juga tidak pernah membuat aku kesal. Aku tak pernah memaksanya melakukan sesuatu dan dia juga tak pernah mengganggu pikiranku. Dia tak pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan batinku. Setiap aku memandang wajahnya, semua dukaku hilang dan aku lupa pada rasa sakit yang kuderita.”
Baca: “Doa Imam Zainal Abidin Ketika Sakit atau Dalam Kesulitan“
Sejarah mencatat bahwa kedua manusia agung ini membagi pekerjaan rumah menjadi dua. Pekerjaan di luar rumah, seperti mengumpulkan kayu bakar, ditangani oleh Imam Ali. Sedangkan pekerjaan di dalam rumah, seperti menghaluskan gandum, membuat roti, membersihkan rumah, dan memasak air, dipegang oleh Sayyidah Zahra. Putri Rasulullah itu melaksakan segala tugas-tugas domestik dengan senang hati dan bersemangat, sampai-sampai diceritakan bahwa tangannya melepuh karena menghaluskan gandum, bajunya berdebu karena membersihkan rumah, dan bahunya berbekas karena mengangkat air.
Imam Ali bercerita bahwa ia seringkali merasa kasihan melihat istri tercintanya kelelahan. Karena itu, beliau mengusulkan pada istrinya untuk mendatangi Rasulullah dan meminta diberi seorang pembantu. Namun, Rasulullah malah mengajarkan sesuatu pada putrinya yang lebih baik dari seorang pembantu. “Di malam hari, sebelum tidur, bacalah subhaanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali dan allahuakbar 34 kali. Jika kau melakukannya setiap malam, Allah akan memudahkan semua kesulitanmu di dunia dan akhirat.” Mendengar ucapan ayahnya itu, Sayyidah Zahra langsung berujar, “Aku rela pada Allah dan Rasul-Nya.”
Ajaib! Sayyidah Zahra meminta pembantu, tapi oleh Rasulullah SAW malah diberi wirid. Akan tetapi, faktanya, setelah wirid itu diamalkan oleh Sayyidah Zahra, beban kelelahan seperti terangkat, dan rumah tangganya menjadi lebih tenang dan tenteram, meskipun ia bersama Imam Ali hidup dengan cara yang amat sederhana.
Tonton: “Imam Ali as dan Balasan Kebajikan“
Itulah beberapa contoh praktik qana’ah yang ditunjukkan oleh para teladan kita. Lalu bagaimana kita? Apakah kita memilki rasa cukup dalam kehidupan kita? Atau malah kita selalu serakah dan selalu menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang sudah kita miliki?
Sebagai aktivis dari sebuah komunitas yang menjadikan Ahlul Bait sebagai teladan dalam kehidupan, tentulah menjadi kewajiban kita untuk selalu menjadi contoh terdepan dalam mempraktekkan konsep kebaikan dalam kehidupan kita. Kita juga harus selalu ingat bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan, yang pertama merasakan manfaatnya adalah diri kita sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Imam Ali di atas, sikap qana’ah akan membuat kita bahagia. Sebaliknya, sikap serakah hanya akan membuat kita semakin terjerumus ke dalam kubangan lumpur duniawiah yang menyesakkan.
(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah, edisi 22, April 2018, Rajab 1439H)
Baca: “Tafsir Surah Al Insyiqaq 6 – 15: Berjuang adalah Sifat Dasar Kehidupan di Dunia“