Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Puasa Memanusiakan Manusia

Kita tahu, bahwa manusia terdiri dari dua dimensi; materi, fisik atau badan dan non-materi, spiritual  atau maknawi. Artinya selain memiliki tangan, kaki, kepala, mata, telinga dan anggota tubuh lainnya yang dapat terlihat oleh mata, diraba oleh tangan, kita juga memiliki keinginan, kecenderungan dan ilmu pengetahuan. Selain itu kita juga memiliki berbagai kondisi kejiwaan beragam seperti sedih, benci, rindu, cinta, gembira dan sejenisnya. Jenis kedua ini tergolong aksioma yang tidak perlu dibuktikan keberadaannya dengan argumentasi. Pada saat yang sama, ia tidak dapat diraba dengan tangan, dilihat dengan mata atau lebih tepatnya tidak bisa digapai oleh indra kita. Selain itu ia tidak bertempat di salah satu dari anggota tubuh kita. Hal itu menegaskan bahwa jenis kedua ini bersifat non-materi yang memiliki karakter tidak bisa digapai oleh indra dan tidak membutuhkan tempat tertentu.

Di dalam filsafat dan teks hadis atau ayat Alquran jenis yang kedua dari dimensi manusia itu disebut dengan berbagai istilah, di antaranya akal, ruh dan nafs (baca: jiwa).

Baca: “Peran Puasa Dalam Tazkiyah Nafs (1)

Akal adalah potensi yang dengannya kita berpikir, bernalar, menyimpulkan dan memerinci. Ruh adalah wujud ilahiyah dan suci yang bersumber dari Tuhan dan dengannya manusia dianggap sebagai makhluk hidup. Dalam Alquran Allah SWT menyebutnya sebagai wujud ilahiy yang dinisbahkan pada diri-Nya, yaitu di saat Dia menceritakan tentang penciptaan manusia dengan firman-Nya: Wa nafakhtu fiyhi min ruuhiy (Q.S. Al-Hijr ayat 29)

Adapun nafs atau jiwa menurut sebagian pakar adalah istilah lain dari ruh  itu sendiri. Namun perlu dicermati, bahwa ia memiliki perbedaan dengan ruh karena nafs atau jiwa itu tidak selamanya suci dan tidak selamanya mengarah kepada kebaikan.

Di dalam surah Asy Syams Allah SWT bersumpah dengannya dan menyebutkan, bahwa Dia mengilhami (baca: melengkapi) penciptaan manusia dengan potensi untuk mengarah kepada kebaikan dan potensi untuk mengarah kepada kejelekan, wa nafsin wa maa sawwaahaa fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa.

Sebagai sesama makhluk hidup kita memiliki kesamaan dengan binatang dalam dimensi yang pertama, tapi kita berbeda dengannya pada dimensi kedua. Karenanya apa yang dilakukan oleh binatang tidak lebih dari memenuhi tuntutan raganya semata dari makan, minum, berhubungan badan dengan lawan jenis yang dilakukan berdasarkan insting semata. Ia tidak melakukannya berdasarkan keinginan diri yang kemudian diverifikasi oleh akal dan dia lakukan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya serta meninggalkan yang berbahaya atau tidak bermanfaat untuk dirinya.

Baca: “Melawan Hawa Nafsu

Sampai di sini kita bisa menyimpulkan, bahwa jika manusia dalam hidupnya hanya melakukan seperti apa yang dilakukan oleh binatang, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia, ia sama dengan binatang. Imam Ali a.s menyebutnya hanya punya raga manusia namun hakikatnya adalah binatang.

الصورة صورة الانسان والقلب قلب الحيوان

Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa menjadi manusia sejati? Apa yang harus dilakukan sehingga kita bisa bergabung dengan spesies yang layak disebut manusia?

Di antara ibadah yang Allah SWT wajibkan kepada kita dan akan menuntun kita untuk menjadi manusia dengan mengaktualkan potensi untuk mengidentifikasi, memverifikasi, lalu memenangkan keinginan dan kecenderungan kebaikan atas keinginan dan kecenderungan keburukan dan selalu mengontrol hal itu adalah puasa.

Saat berpuasa seorang manusia akan tampil dalam bentuk yang paling sempurna. Bagaimana tidak? Karena ia mampu memegang kendali secara sempurna, kapan ia harus makan, minum dan kapan ia harus menahan dan menjauhkan diri dari berbagai makanan dan minuman yang halal sekalipun. Begitu juga halnya dengan hubungan suami-istri. Meski semua itu sekadar start dan latihan awal, namun sudah tampak bahwa betapa saat itu manusia berbeda dengan binatang dan makhluk melata lainnya.

Baca: “Yang Salafi Jangan Cela Yang Sufi

Jika seorang manusia sudah berhasil menjalankan puasa pada tingkat terendah seperti ini, maka ia juga akan berhasil untuk mengatur kehidupannya sehingga dapat meraih kebahagiaan. Artinya, dia sudah memiliki leadership untuk dirinya, sehingga ia mampu bertindak hanya untuk kebaikan dan kemaslahatan, baik dalam hal yang berhubungan dengan keuangan, kesehatan, keselamatan diri, keluarga maupun lainnya.

Dari sini akan terlihat betapa puasa adalah media efektif bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Pada tingkat yang lebih tinggi, seorang manusia yang berpuasa secara hakiki juga akan mampu mengontrol keinginan dirinya yang berhubungan dengan panca indranya. Sehingga ia hanya akan mempergunakan mata sesuai dengan kapasitas dirinya sebagai hamba Allah SWT, yaitu untuk melihat yang dihalalkan, bukan yang diharamkan baginya. Begitu juga halnya dengan telinga, hidung, tangan dan kaki.

Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, seorang manusia yang berpuasa secara hakiki akan menjadikan hatinya hanya tempat bertenggernya cinta kepada Allah SWT. Ia tidak akan menduakan cintanya kepada Allah SWT dengan selain-Nya. Itulah ciri orang yang ikhlas. Dalam bahasa Arab kata ikhlas berarti tulus dan murni. Ibarat susu murni yang tidak tercampur air disebut oleh orang Arab dengan istilah labanun khalish.

Baca: “Fatimah Putri Nabi dan Wahyu

Salah satu filosofi diwajibkannya puasa adalah dalam rangka menguji ketulusan seorang hamba, sebagaimana disebutkan oleh Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib a.s;

والصیام تثبیتا لاخلاص الخلق

(Lihat Nahjul Balaghah, bab kata hikmah No 249)

Sebaliknya Alquran menyebutkan manusia yang tidak mampu untuk mengendalikan keinginan dirinya, baik melalui mata, telinga maupun akal pikiran, maka dia bukan manusia melainkan binatang. Allah SWT berfirman:

ولقد ذرأنا لجهنم كثيرا من الجن والانس لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم اعين لا يبصرون بها ولهم آذان لايسمعون بها اولاءك كالانعام بل هم اضل فاولاءك هم الغافلون

dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. surah Al-A’raf:179).

Menarik untuk dikaji lebih mendalam karena ayat tersebut menyatakan bahwa tipe manusia seperti itu tidak berpikir dengan akal, tidak melihat dengan mata dan tidak mendengar dengan telinga.

Baca: “Unsur “Pro Keadilan dan Kontra Kezaliman” VS Nasionalisme Barat

Pertanyaannya, lalu mereka berpikir dengan apa? Melihat dan mendengar dengan apa? Atau apakah mereka memang tidak berpikir, tidak melihat dan tidak mendengar? Jika secara alamiah berpikir, melihat dan mendengar dengan alat yang ada, yakni akal, mata dan telinga, lalu mengapa dinegasikan? Jawabannya adalah karena mereka tidak melakukan semua hal itu dengan sadar,  atas kendali dan kehendak mereka sendiri. Mereka tak layak disebut sebagai subyek dan pelaku, namun lebih tepat sebagai obyek seperti binatang. Sekalipun binatang makan, minum sendiri tapi tetap ia bukan pelaku hakiki karena tidak punya pilihan dan kehendak. Berbeda denga manusia yang punya potensi berkehendak, memilih dan memilah. Namun sebaliknya, ketika mereka tidak mengaktualkan potensi tersebut maka mereka bukan manusia hakiki, tapi hanya manusia secara lahiriah dan bentuk tubuh namun hakikatnya adalah binatang. Hal ini seperti sabda Imam Ali a.s:  Alquran menyebut mereka sebagai seburuk-buruk makhluk seperti dalam ungkapan:

ان شر الدواب عند الله الصم البكم الذي لا يعقلون

Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk di sisi Allah adalah mereka yang bisu, tuli dan tidak berpikir (mengerti).

Selamat datang bulan Ramadan! Selamat melatih diri untuk menjadi manusia hakiki! Selamat menjadi hamba dan kekasih sejati-Nya!  Selamat belajar memurnikan cinta sejati hanya kepada-Nya! [*]

Baca: “Doa 10 Malam Terakhir Bulan Ramadan

 

Written by
No comments

LEAVE A COMMENT