Nabi Muhammad saw dilahirkan di Mekkah pada 17 Rabiul Awal tahun 570 Masehi. Ayahnya, Abdullah, meninggal sebelum kelahiran beliau, dan ibunya, Aminah, meninggal ketika beliau masih balita. Abdul Muthalib, kakeknya, mengambil alih penjagaan dan perawatan beliau. Seiring berjalannya waktu, Abdul Muthalib juga meninggal, dan Nabi Muhammad diamanahkan kepada putranya, Abu Thalib.
Pada usia 25 tahun, Nabi Muhammad menikahi Khadijah, seorang wanita Quraisy terhormat. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad, bahkan sebelum diangkat sebagai nabi, telah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dibandingkan dengan sejawatnya. Ucapan dan perilaku beliau mencerminkan sifat-sifat mulia seperti kejujuran, kesabaran, dan kepedulian terhadap orang lain.
Abu Thalib, ayah angkatnya, pernah menceritakan pengalaman menakjubkan, menggambarkan ketulusan dan ketakwaan Nabi saw. Meskipun hidup dalam keadaan sulit, beliau tetap mengucapkan nama Allah sebelum dan setelah makan, dan pada suatu malam, terlihat cahaya bersinar di atas kepalanya.
Karakter Nabi Muhammad yang terpuji ini telah menjadi landasan bagi pengakuan dan keimanan masyarakat terhadap beliau sebagai nabi. Keutamaan, ketulusan, dan kesucian sikapnya membuktikan bahwa beliau bukanlah manusia biasa, melainkan teladan yang patut diikuti.
Ibn Abbas menceritakan bahwa pada waktu subuh, mata anak-anak Abu Thalib terlihat tidak bersih, tetapi mata Muhammad terlihat jernih. Saat mereka berebut makanan, Muhammad tidak ikut serta, sehingga Abu Thalib menyediakan makanan khusus untuknya.
Abu Fida menyampaikan bahwa Rasulullah dibesarkan oleh Abu Thalib, dan Allah melindungi beliau dari perilaku jahiliyah. Beliau tumbuh dengan keutamaan dalam kemuliaan, budi pekerti, etika bergaul, sikap baik terhadap tetangga, kesabaran, amanah, dan kejujuran. Beliau dikenal sebagai Muhammad al-Amin, yang terpercaya.
Pada awal wahyu, Nabi saw pulang ke rumah dengan perasaan takut dan menceritakannya kepada Khadijah. Khadijah menghibur beliau, mengingatkan bahwa Allah tidak akan menjadikan beliau terhina, karena beliau telah menjalin silaturahmi, berkata jujur, menanggung kesulitan orang lain, membantu fukara, menghormati tamu, dan menolong orang lain dalam musibah.
Anas bin Malik menyampaikan bahwa sebelum masa kenabian, orang-orang memanggil beliau al-Amin karena beliau dikenal sebagai sosok amanah dan adil. Rabi’ bin Hatim menyatakan bahwa di zaman jahiliyah, ketika ada perselisihan, orang-orang merujuk kepada Nabi Muhammad sebagai penengah yang terpuji.
Pada usia dua puluh tahun, Nabi Muhammad SAW ikut serta dalam Hilfu al-Fudul, sumpah pemuda, untuk membela kaum tertindas. Beliau memegang komitmen ini bahkan pada masa Islam.
Dengan bukti-bukti historis ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebelum kenabian telah dikenal sebagai sosok dengan perilaku baik, amanah, jujur, pro-keadilan, dan menjaga kesucian. Kesaksian hidup ini menjadi dasar bagi masyarakat untuk menerima beliau sebagai nabi dan mengimani ajarannya.
Apakah Muhammad sebelum pengutusan nabi berpegang pada suatu agama dan syariat, ataukah tidak? Jika ya, lalu agama apakah yang beliau ikuti?
Sebelumnya, perlu diinformasikan bahwa dalam sejarah dan dokumen Islam, tidak ditemukan penjelasan yang jelas mengenai keberagamaan Nabi Muhammad saw sebelum diutus. Meskipun begitu, beberapa fakta historis dapat dijelaskan sebagai bukti:
Abul Fida menyampaikan bahwa menjadi kebiasaan Rasulullah saw pergi ke bukit Hira selama sebulan setiap tahun, di mana beliau melakukan ibadah, dan praktik ini juga dilakukan oleh kaum Quraisy. Beliau juga memberi makan kepada setiap fakir yang datang. Setelah melaksanakan upacara ibadah, sebelum pulang, beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.
Ghiyats bin Ibrahim meriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa setelah Nabi saw datang ke Madinah, beliau hanya pergi haji sekali. Namun, selama berada di Mekkah, beliau beberapa kali bersama kerabatnya melaksanakan upacara haji.
Selanjutnya, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Muhammad saw melakukan salat ketika berusia empat puluh tahun. Paman beliau, Abu Thalib, juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad pada masa kecilnya selalu membaca Bismillah sebelum memulai makan dan mengucapkan Alhamdulillah setelahnya.
Dari keterangan ini, disimpulkan bahwa Nabi saw sebelum bi’tsah telah aktif melakukan amalan-amalan ibadah, termasuk salat, itikaf di bukit Hira, ritual haji, thawaf di seputar Ka’bah, dan membaca Bismillah sebelum makan. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah pribadi yang religius dan rajin dalam beribadah.
Selain itu, dalam pembahasan Imamah, ditetapkan bahwa para nabi sepanjang hidupnya terpelihara dari kekufuran, kesyirikan, dan dosa. Oleh karena itu, diakui bahwa Nabi Muhammad saw sebelum bi’tsah adalah seorang yang religius, karena kekufuran dan kesyirikan tidak sesuai dengan kemaksuman beliau.
Al-Quran juga menafikan kesesatan dan kekufuran sepenuhnya dari diri Nabi Muhammad, bahkan sebelum beliau diutus, sebagaimana disebut dalam QS. an-Najm:1-2. Oleh karena itu, tidak ada keraguan mengenai keberagamaan Nabi Muhammad sebelum bi’tsah.
Kini sampai kepada pertanyaan, “Agama apakah yang beliau peluk?”
Ada beberapa kemungkinan:
Kemungkinan pertama: Mengikuti syariat Nabi Musa atau Nabi Isa. Karena ajaran samawi zaman itu hanya ada dua agama dan wajib bagi semua mengikutinya, maka Muhammad saw sebelum diutus menganut salah satu dari dua agama ini. Namun, kemungkinan ini tidak benar. Jika beliau seorang (penganut) agama Yahudi atau Nasrani, tentu beliau akan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan mereka, menjalin hubungan dengan mereka, dan pasti tercatat dalam sejarah. Tetapi fakta ini tidak ada dalam sejarah, di sisi lain kaum Yahudi dan Nasrani tidak mengakuinya. Sebagaimana keterangan sebelumnya, Nabi Muhammad melakukan ibadah-ibadah tertentu yang bukan bagian dari dua agama tersebut, seperti haji, thawaf Ka’bah, sembahyang, dan itikaf di bukit Hira. Oleh karena itu, berdasarkan semua ini, beliau saw sebelum bi’tsah, bukan seorang Yahudi atau Nasrani.
Kemungkinan kedua: Nabi Muhammad saw sebelum diutus mengikuti syariat Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim as telah menanamkan tauhid dan ibadah kepada Allah di Hijaz, dengan ajaran Hanifiyah yang tersebar di kalangan umat wilayah itu. Meskipun agama Ibrahim resmi di Jazirah Arab, seiring berjalannya waktu, hukum-hukum dan ibadah-ibadah ritual agama tersebut terlupakan. Sisa-sisa yang tersisa hanya ritual-ritual khusus seperti haji, wukuf di Arafah, Masy’ar, Mina, kurban, lontar jumrah, thawaf Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan amalan-amalan lainnya. Kesyirikan pun mempengaruhi akidah masyarakat, dengan menyembah objek tertentu sebagai sekutu Tuhan.
Sebagian individu tidak puas dengan kondisi ini, merasa bahwa hakikat agama Ibrahim telah hilang dan digantikan oleh kesesatan. Beberapa di antara mereka berusaha mengembalikan hukum dan ritual-ritual ibadah agama Hanifiyah, membersihkannya dari khurafat. Sejarah mencatat bahwa sejumlah tokoh, seperti Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin Huwairits, dan Zaid bin Umar, memisahkan diri dan mencari agama Ibrahim yang lurus. Zaid bin Umar bahkan meninggalkan agama berhala dan menghindari praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Nabi Ibrahim, menyatakan hanya menyembah Tuhannya Ibrahim.
Dalam beberapa hadis, kakek-kakek Nabi saw, termasuk Abu Thalib, Abdul Muthalib, Hasyim, dan Abdu Manaf, diyakini tidak pernah menyembah berhala. Mereka dikenal mengikuti agama Nabi Ibrahim, melaksanakan amalan dan salat menghadap Ka’bah.
Kesimpulannya, sebelum diutus, Nabi Muhammad saw mengikuti agama dan syariat Nabi Ibrahim: menyembah Tuhan Yang Esa, menentang kesyirikan, melaksanakan salat, ritual-ritual haji ajaran Nabi Ibrahim, berkhalwat, berzikir, beribadah kepada Allah, dan memperhatikan akhlak yang baik. Allah pun memberikan dukungan dan pertolongan pada Nabi Muhammad saw sejak masa menyusu, menjaga dan membimbing beliau kepada perilaku dan akhlak yang baik.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Ibrahim Amini – Mengapa Nabi Diutus