Ada satu yang benar di antara tiga asumsi yang ada bagi manusia dalam upaya membersihkan dan menyucikan diri. Tiga asumsi itu ialah sebagai berikut;
Asumsi pertama, hidup secara puritan atau menjauhi segala kenikmatan hidup duniawi. Sebagaimana pembaca ketahui, dari beberapa teks keislaman berupa ayat dan riwayat yang telah disebutkan sebelumnya terlihat bahwa cara demikian tidak dibenarkan dalam Islam. Tentang ini ada dua poin yang patut diingat;
- Menikmati segala anugerah yang dihalalkan Allah SWT jangan sampai membuat seseorang terjebak pada keabaian terhadap kewajiban berbagi nikmat kepada sesamanya, atau kewajiban menggunakan anugerah itu untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin. Jangan sampai anugerah Allah SWT yang diberikan kepadanya justru membuatnya lalai terhadap urusan akhirat. Sebagaimana pembaca ketahui, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata kepada Ala’ bin Ziyad; “Mengapa kamu membuat rumah seluas ini, sedangkan kamu di akhirat lebih membutuhkannya? Tapi jika kamu hendak menjadikannya sebagai bekal di akhirat maka…”
- Menikmati anugerah nikmat yang dihalalkan Allah jangan sampai membuat seseorang menyukainya sedemikian rupa sehingga larut dalam kesedihan apabila dia kehilangan nikmat itu. Sebaliknya, dia harus tetap tenang dan rela dengan segala yang menjadi ketentuan dan kodrat Allah SWT sehingga kalaupun di suatu hari dia tenggelam dalam kenikmatan dan di kemudian hari dia kehilangan semua nikmat itu maka kondisi kejiwaannya tetap stabil, karena dia yakin sepenuhnya bahwa di balik ketentuan Allah pasti ada kebaikan yang hakiki bagi dirinya.
Keadaan jiwa seperti inilah yang disebutkan dalam firman Allah SWT;
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”[1]
Dengan demikian, zuhud yang sejati ialah memiliki sesuatu dalam keadaan jiwa yang bebas dan tidak terpasung pada sesuatu itu. Kitalah boleh memiliki sesuatu, tapi jangan sampai kita yang dimiliki oleh sesuatu.
Asumsi kedua, menjauh dari aktivitas sosial dan politik yang bermaslahat bagi Islam dan Muslimin, menyepi bersama Allah SWT, dan menyucikan diri. Tindakan demikian juga tidak benar karena menyalahi kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, menyalahi keharusan mementingkan urusan umat Islam, dan tidak sejalan dengan tarbiyah Rasulullah saw kepada para sahabatnya.
Asumsi ketiga, menjalankan dua pola sekaligus secara seimbang. Satu menyendiri bersama Allah dan membersihkan batin, dan yang lain peduli kepada urusan Islam dan Muslimin. Cara inilah yang dibenarkan dalam Islam. Penjelasannya ialah bahwa dalam jiwa manusia terdapat dua kelemahan yang mesti dibenahi dalam meniti jalan menuju Allah dan mendaki tangga kesempurnaan;
Kelemahan pertama, kecenderungan untuk memikirkan diri sendiri dan tak peduli kepada kepentingan orang lain, padahal orang lain juga merupakan hamba Allah, dan Allahpun menghendaki kebaikan mereka.
Kelemahan kedua, kuatnya faktor materi yang membuatnya terhijab dari kepentingan spiritual dan urusan keruhanian.
Sebagian orang bisa jadi tidak banyak memiliki kelemahan pertama sehingga dia peduli kepada kepentingan orang lain, meskipun dalam konteks sektarian suku, bangsa dan lain-lain, tapi faktor materialisme menghalangi ketajaman mati hatinya sehingga dia bahkan tidak percaya kepada adanya alam non-materi, dan pada gilirannya juga tidak beriman kepada Allah SWT.
Di pihak lain, ada pula sebagian penganut sufi yang karena lemahnya faktor materialisme dalam dirinya dan karena sedemikian larut dalam kenikmatan spiritual, dia lantas terjebak pada ego dan kecenderungan memikirkan diri sendiri semata sehingga tak peduli kepada orang lain. Dia mungkin akan berpendirian bahwa dia boleh membenahi orang lain asalkan kehidupan sufismenya tidak terusik. Dalam hal ini dia bisa jadi berdalil dengan firman Allah SWT;
عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”[2]
Dia tidak sadar bahwa seandainya maksud ayat ini adalah seperti yang dia persepsikan maka akan berkontradiksi dengan ayat-ayat lain berkenaan dengan jihad dan amar makruf nahi munkar. Ayat ini tidak bermaksud demikian, dan perlu dikomparasikan dengan ayat-ayat lain karena ayat-ayat al-Quran satu sama lain saling menjelaskan. Sebaliknya, maksud ayat ini ialah bahwa tidak perlu kita terlalu memikirkan orang-orang yang diketahui tidak akan mempan dibina dan beri petunjuk. Alur ayat ini sama dengan alur dua firman Allah SWT sebagai berikut;
فَلاَ تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَات
“Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.”
وَلاَ تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ
“Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka.”[3]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw ditanya tentang makna firman Allah “Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Beliau menjawab;
ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر، فإذا رأيت دنياً مؤثرة وشحاً مطاعاً وهوىً متّبعاً وإعجاب كلّ ذي رأي برأيه، فعليك بخويصة نفسك، وذر عوامهم
“Perintahkan kepada yang makruf dan cegahlah dari yang munkar. (Tapi) jika kamu melihat kehinaan sudah merajalela, kekikiran dipatuhi, hawa nafsu diikuti, dan setiap orang terpesona kepada pendapatnya masing-masing maka kamu bertanggungjawab atas dirimu sendiri, dan biarkanlah orang awam.”[4]
Ini berarti bahwa selama beliau mewajibkan jihad atau amar makruf dan nahi munkar maka kewajiban ini adalah bagian dari apa yang dimaksud dalam firman Allah “jagalah dirimu”, karena meninggalkan kewajiban ini mendatangkan celaka dan mudharat bagi diri kita sendiri. (mz)
[1] QS. al-Hadid [57]: 23.
[2] QS. Al-Maidah [5]: 105.
[3] QS. al-Nahl [16]: 127 dan al-Naml [27]: 70.
[4] Tafsir Namuneh, jilid 5, hal. 110.