Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Apakah Definisi Sahabat Menurut Madrasah Ahlulbait? (Bagian 1/2)

Mazhab Ahlulbait mendefinisikan sahabat seperti yang dikemukakan dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai berikut;

Kata As-Shâhib dan bentuk jama’ nya (plural), Shahhab, Ashab, shihhab dan shahabah.[1] Kata as-Shâhib adalah yang menemani (al-mu’asyir)[2] dan yang selalu menyertai kemanapun (al-mulâzim)[3], “Tidak dikatakan kecuali kepada seseorang yang sering menyertainya”[4], “Dan bagi persahabatan mensyaratkan adanya kebersamaan yang lama”[5].

Persahabatan terjadi diantara dua orang. Dengan demikian jelas bahwa kata as-Shahib (sahabat) dan pluralnya; as-Shahhab mesti disandarkan kepada sebuah nama ketika dalam percakapan. Seperti yang terdapat dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Ya Shâhibis Sijni” dan “Ashabu Musa” (para sahabat Musa).

Dan pada masa Rasulallah SAW digunakan shahib Rasulallah dan ashabu Rasulallah, dengan disandarkan (mudhaf) kepada Rasulallah SAW. Seperti juga digunakan ashabu bi’ati Rasulallah (komunitas lingkungan pohon) dan ashabu Shuffah yang dimudhafkan dengan yang lainnya.

Kata shâhib dan ashaab pada saat itu belum digunakan sebagai nama untuk para sahabat Rasulallah SAW, akan tetapi kaum muslimin dari kalangan mazhab khulafa’ terbiasa menamakan para sahabat Rasulallah SAW dengan shahabi dan ashab. Oleh karena itu, penamaan ini termasuk jenis penamaan yang dilakukan oleh kaum Muslimin dan terminologi rekaan (mutasyarri’). (Baca: Yang Salafi Jangan Cela Yang Sufi)

Madrasah Ahlulbait, berdasarkan al-Qur’an, memandang bahwa di antara para sahabat ada yang mukmin yang dipuji oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an al-Karim. Sebagai contoh dalam peristiwa baiat Sajarah (sumpah setia di bawah pohon) Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”[6]

Allah telah mengkhususkan pujian ini kepada kaum mukminin yang menghadiri baiat Sajarah dan tidak mencakup kaum munafiqin yang hadir seperti Abdullah bin Ubay dan Aus Ibn Qaydhi.[7]

Begitu pula dengan berdasarkan kepada al-Qur’an mazhab Ahlulbait menemukan di antara para sahabat terdapat orang-orang munafik yang dicaci oleh Allah dalam pelbagai ayat seperti dalam firman Allah Swt, “Di antara orang-orang Arab Badui di sekeliingmu itu, ada orang-orang munafiq, dan juga (di antara) penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dengan dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”.[8]

Dan ada juga yang diwartakan oleh Allah Swt dengan kejadian al-Ifk, yaitu mereka memfitnah istri Rasulallah SAW dengan suatu kebohongan,[9]-kami berlindung kepada Allah dari tudingan seperti itu. Dan tentang mereka, Allah juga mewartakan dalam firman-Nya,Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).[10]

Hal itu terjadi ketika Rasulallah SAW sedang berdiri memberikan khutbah Jum’at di mesjidnya. (Baca: Apa benar Syiah Mencaci Keluarga dan Sahabat Nabi saw ?)

Dan ada di antara mereka ada yang bermaksud dengan diam-diam membunuh (iqtiyal) Rasulallah SAW pada saat beliau melewati ‘Aqabah sekembalinya dari peperangan Tabuk[11] atau dari haji Wadha[12].

Perlakuan terhadap sahabat Nabi SAW tidak jauh berbeda dengan perlakuan terhadap para istri Nabi SAW. Karena persahabatan mereka terhadap beliau lebih tinggi derajatnya dari pada para sahabat. Allah berfirman dalam menjelaskan kedudukan mereka, “Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah* dan barang siapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahalanya dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia* Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”[13]

Allah berfirman berkaitan dengan dua orang dari istri Nabi, “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan begitu (pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (Baca: Isu Melaknat Sahabat, Kenapa Mereka Tetap Membela Syiah?)

Hingga firman-Nya, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Allah Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”[14]

Dan di antara mereka ada yang diceritakan oleh Rasulallah SAW dalam sabdanya pada hari kiamat, “Didatangkan sekelompok laki-laki dari umatku, dan mereka termasuk kelompok yang kiri (dzatus simal). Aku bertanya, “Wahai Rabb-ku mereka adalah sahabatku” dijawab,

“Kamu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan setelahmu”

Kemudian aku berkata seperti yang dikatakan seorang hamba yang saleh, “Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku. Engkau-lah yang mengawasi mereka.”[15]

Bersambung…

 

Referensi:

[1] Rujuk, Lisânul Arab, madah shahaba.

[2] Ibid,.

[3] Mufradât ar-Raghib, pembahasan; shahaba.

[4] Ibid,.

[5] Ibid,.

[6] Q.S. al-Fath: 18.

[7] Rujuk kisah Baiat Sajarah atau Baiat Ridhwan dalam al-madzhab al-Waqidi hal., 588 dan Imtinaul Isma’ karya al-madzhab al-Maqrity, hal., 284.

[8] Q.S. at-Taubah: 101.

[9] Rujuk kisah tuduhan (al-ifk) yang menyebabkan turunnya Q.S. an-Nur: 11-17 dalam rangka membebaskan ummul mukminin ‘Aisah terhadap tuduhan seperti yang ia ceritakan, dalam rangka pembebasan Mariyah terhadap tuduhan dari yang lainnya, sebagaimana terdapat dalam Juz 2 hadis-hadis ‘Aisah.

[10] Q.S. Al-Jumu’ah: 11.

[11] Musnad Ahmad 5/390 & 453, dan rujuk shahih Muslim 8/122-123, bab Sifatul Munâfiqîn dan Majmaul Jawaid 1/110 & 6/195 serta Maghazi al-Waqidi 3/1042, Imtâul Asmai karya al-Maqrizi, hal., 477, dalam tafsir surat Taubah, ayat 84, “Dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya” dengan penafsiran Ad-Durul Mantsur karya al-Suyuthi 3/258-9.

[12] Di dalam hadis Syi’ah hal itu terjadi pada saat beliau kembali dari haji Wada’ dan bersamaan dengan peristiwa Ghadir Khum di daerah Jahfah. Al-Bihaar, cet., al-Maktabah al-Islamiyah, Teheran, tahun 1392 H, 28/106.

[13] Q.S. al-Ahzab: 30-32.

[14] Q.S. at-Tahrim: 4 & 10.

[15] Q.S. al-Maîdah: 117.

 

Baca selanjutnya: Apakah Definisi Sahabat Menurut Madrasah Ahlulbait? (Bagian 2/2)

 

 

No comments

LEAVE A COMMENT