Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bagaimana Keluarga Mempengaruhi Kehidupan Manusia? (Bag 3/Tamat)

Keluarga sebagai lembaga moral

Sering terlupakan bahwa keluarga merupakan unit yang kuat dalam memproduksi  nilai-nilai. Orang tua berbeda dengan pengajar yang berkata: “Saya tidak akan mengatakan kepada orang banyak bagaimana mereka seharusnya hidup”. Dalam kesempatan lain seorang guru juga berkata: “Benar atau tidaknya sesuatu bergantung pada keputusan kalian sendiri”. Ayah dan ibu membicarakan dan berusaha menunaikan kewajibannya dalam meneruskan nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi. Dengan demikian keluarga melestarikan pengertian kewajiban itu sendiri. (Baca sebelumnya: Keluarga Mempengaruhi Kehidupan Manusia? – Bag 2)

Sejak kelahirannya, anak-anak akan menyaksikan orangtuanya memiliki kewajiban terhadap mereka. Sebaliknya anak-anak juga memiliki kewajiban terhadap orangtuanya.  Ketika bangunan keluarga menjadi lemah, tanggungjawab terhadap kewajiban juga akan hilang. Michael Novak dalam buku “The Spirit of Democratic” menyatakan bahwa keluarga menjadi lembaga alamiah untuk peningkatan spiritualitas individu. Secara umum tentunya agama merupakan lembaga supranatural dalam peningkatan spiritualitas manusia. Nilai-nilai dan prinsip spiritualitas memiliki tempat tersendiri. Lembaga seperti keluarga dan agama akan membawa nilai-nilai tersebut ke dalam sistemnya. Dalam hal ini, negara dipahami sebagai alat untuk merawat nilai tersebut. Jika negara memaksakan nilai-nilainya sendiri melalui kekuasaan, seluruh lembaga independent yang melahirkan nilai-nilai akan bergerak secara sembunyi-sembunyi. Pada saat yang sama prinsip moral yang selama ini berjalan akan menjadi tidak berarti.

Keluarga sebagai tenaga sukarelawan bagi masyarakat dan ekonomi

Kita mengenal keluarga sebagai lembaga terbaik yang menghasilkan relawan kemanusiaan. Mereka akan bekerja secara sukarela mencukupi kebutuhan anggota keluarganya sendiri. Kontribusi ini salah satu bentuk produktivitas sosial yang selama ini terlupakan. Seorang suami biasanya akan mencari sumber penghasilan yang lebih banyak dari pengeluarannya sendiri. Pengeluaran untuk anggota keluarga yang tidak dipisahkan dengan pengeluaran untuk dirinya sendiri merupakan bentuk kerelawanannya terhadap kesejahteraan keluarga. Ia banyak memberikan bantuan selain bentuk finansial kepada keluarga. Sang istri secara sukarela juga memberi bantuan  dalam bentuk tenaga atau uang. Jika ia memiliki penghasilan dari bekerja di luar rumah semuanya diberikan untuk keluarga. (Baca: Angan-angan Duniawi yang Membuat Kita Terpuruk)

Serangkaian pengabdian sukarela baik yang dilakukan di dalam dan di luar keluarga nilainya sangat besar secara ekonomi. Demikian besarnya sehingga jika ingin mengambil alih tanggung jawab ini secara finansial, akan mengalami kegagalan. Setiap negara yang ingin terus eksis dan terjaga dari kehancuran sosial dan ekonomi haruslah menghidupkan lembaga yang berdasarkan pertalian darah dan kekeluargaan. Lembaga yang menjamin keberlangsungannya dan setiap anggotanya siap untuk melakukan pelayanan dengan sukrela. Lembaga ini lebih berharga dari sesuatu yang dapat diperjual belikan.

Keluarga sebagai kekuatan yang mengikat masyarakat

Keluarga merupakan satu-satunya lembaga sosial yang anggotanya mendapatkan cinta dan penjagaan lebih dari yang lain. Secara alamiah, keluarga sebagai lembaga psikososial menimbulkan kebaikan dan penjagaan yang menyebabkan terbangunnya spiritualitas.

Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa rahasia kekuatan emosional dan keberhasilan keluarga bergantung pada keberelangsungannya. Keterikatan  meniscayakan cinta tanpa syarat yang tidak dijumpai pada kelompok sosial manapun. Negara harus memperhitungkan kekuatan besar dan kekuatan ikatan sosial yang demikian. Jika mengabaikan hal ini, negara akan terpaksa memikul tanggungjawab sebesar terkikisnya kekuatan keluarga dalam pemenuhan perannya. (Baca: Cegah Anak-anak Kita Dari Penyimpangan Seksual! – 1)

Keluarga; ruang lingkup, kepemilikan dan tujuannya

Selama satu abad belakangan, pujangga dan kritikus menyuarakan hilangnya spiritualitas masyarakat dan keterasingannya. Dari unit sosial mana kita memperoleh spirit ini?

Struktur sosial dapat dibagi 4:

  1. Individu,
  2. Keluarga,
  3. Lembaga penghubung (seperti kelompok masyarakat, klub dan perkumpulan Mesjid),
  4. Negara

Hari ini kita melakukan kesalahan dengan mencampur aduk antara satu lembaga dengan lainnya. Kecemasan, penyimpangan emosional dan kehidupan tanpa tujuan era modern bermula dari sini. Kita telah melepaskan apa yang selama ini memberi kekuatan, makna, dan segalanya yang mengajarkan tentang kasih sayang. Kita telah membuang apa yang penting dalam ruang lingkup kita baik itu baik di ranah publik atau di rumah. Sejak dulu hingga sekarang, keluarga menjadi salah satu yang memberi makna dan kekuatan. Ucapan belasungkawa harus diberikan pada negara yang menghilangkan akses kita dari yang selalu memberi makna. (Baca: Makna Azan di Mata Ahlulbait Nabi)

Perkawinan dan keluarga menyebabkan orang lain dianggap menjadi bagian dari diri sendiri. Kedua pasangan akan merasakan kebersamaan dalam hal politik, ekonomi dan moralitas. Rasa saling terkait dari keduanya merupakan potensi terbesar yang ada di dalam diri. Rasa saling memiliki yang lahir karena perkawinan tidak akan ditemui bentuknya dalam bentuk relasi sosial lain.

Pertahanan atas serangan terhadap keluarga harus bangkit dari kedalaman kesadaran kita. Kita harus berpikiran mungkin saja tujuan pertama hidup kita adalah ketenangan. Keluarga menghasilkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang paling menarik bagi kehidupan manusia di dunia. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa penyimpangan keluarga natural sebagai sumber perilaku yang bertujuan dan mengalami penguatan merupakan bahaya besar bagi masyarakat yang hari ini kita hadapi.

Perlakuan khusus terhadap anggota keluarga

Selain yang telah disebutkan sebelumnya, keluarga juga memiliki peran penting yang sangat jarang dibahas yaitu perlakuan khusus. Keluarga tradisional merupakan satu-satunya unit sosial yang pernah ada di dunia yang berhasil memberikan cinta tanpa syarat kepada anak-anak. Seluruh unit lain yang didesain untuk mengasuh anak-anak penitipan anak dan sekolah mengabaikan kondisi individual dan netral. Mereka berpegang teguh pada prinsip bertindak sama terhadap semua anak. Padahal ini bukanlah sesuatu yang dibutuhkan anak-anak. Agar dapat tumbuh dengan sehat dan memiliki keunikan, anak membutuhkan perlakuan khusus dari orang tuanya sendiri. Selama masa kanak-kanak, hanya orang tua yang dapat memberikan cinta dan perhatian yang demikian kepada mereka. (Baca: Makna Alhamdulillah Lebih dari Sekedar Pujian bagi-Nya)

Mungkin saja dalam setiap keluarga menjalankan prinsip keadilan berkaitan dengan anak-anaknya. Tapi keadilan ini tidak berlaku umum antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Orangtua akan selalu membela anak-anaknya sampai dianggap melampaui batas kegilaan. Mereka akan selalu melakukan apa saja untuk anaknya secara heroik dan siap mati jika diperlukan. Pesan yang sampai kepada anak melalui perilaku ini adalah mereka merupakan individu yang sangat istimewa.

Linda Pollock dalam buku “Forgotten Children” menyatakan: “Sikap netral saja tidak cukup. Pribadi yang sedang berkembang membutuhkan orang yang mengutamakannya atas yang lain. Seseorang yang untuk dirinya siap melakukan pekerjaan baik rasional maupun tidak rasional”. Sedangkan petugas penitipan anak tidak bisa melakukan hal ini. Tanpa perlakuan khusus, terutama pada tahun-tahun pertama kehidupannya, tidak mungkin berlangsung pengasuhan anak yang sehat dan penuh kehangatan. Keluarga natural sejatinya merupakan tempat aman di dunia yang keras ini.

Perlakuan khusus dari orang tua berkaitan dengan tanggung jawab mereka di hadapan anak. Sedangkan dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, orang tua menyentuh ranah penciptaan paling tinggi yang dapat diraih manusia. Yaitu dengan melahirkan anak-anak yang mirip dengan dirinya sendiri. (Baca: Bagaimana Allah Menciptakan Al-Masih?)

Para filosof meyakini bahwa kita harus melihat di depan mata agar tidak melupakan tujuan kehidupan dan tidak memilih kesia-siaan. Selain memberi kesenangan alamiah, anak-anak juga memberi kekuatan kepada kita. Untuk sementara kita berani membayangkan kehidupan abadi melalui anak-anak tersebut. Kita meraih kemenangan atas kematian melalui darah daging sendiri yang hidup setelah kematian kita. Mereka bahkan membawa tiruan diri kita ke masa depan.

Keluarga merupakan hal yang sangat penting. Sebagian besar responden menekankan pentingnya  keluarga dalam jajak pendapat yang dilakukan terus menerus. Sebelum peradaban ini jatuh pada kehancuran, kita harus memutuskan melakukan sesuatu untuk mempertahankan keluarga natural. Seorang filsuf berkata: “Satu hal yang penting untuk kemenangan kebatilan adalah orang-orang baik tidak melakukan apapun. Cukuplah orang-orang baik tidak melakukan perbuatan baik hingga keburukan akan mengisi kekosongan itu dengan cepat”.[*]

Sumber: Gairdner William, “The War Against the Family” terjemahan bahasa Persia “Jangg alaihi khanvadeh” , Markaz Mudiriat Hauzeha-ye Ilmiah Khaharan, Daftar Muthalaat Zanan, 1387 HS.

Baca: “Bagaimana AlQuran Mengajarkan Manajemen Stres? (Bagian 1)

 

No comments

LEAVE A COMMENT