Almarhum al-Hurr Amili menyebutkan bahwa kurang lebih tujuh puluh riwayat yang berkaitan dengan bab tawassul di dalam kitabnya Wasail asy-Syi’ah. Riwayat-riwayat itu kurang lebih sepakat menganggap tawassul kepada Ahlulbait Rasulullah Saw sebagai syarat pokok untuk diperkenankannya doa. Berkenaan dengan hal tersebut, Alquran al-Karim mengisyaratkan penggunaan wasilah (perantara) di dalam doa.
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan [perantara] yang mendekatkan diri kepada-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah: 35)
Amirul Mukminin a.s. telah berkata berkenaan dengan firman Allah pada ayat tersebut: “Aku inilah perantara Allah yang dimaksud.” (Al-Mizan, 5/333)
Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. al-A’raf: 180)
Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata: “Kami inilah, demi Allah, asmaul husna itu.” (Al-Mizan, 8/38)
Baca: Bertawasul kepada Para Kekasih Allah
Artinya, kata asmaul husna yang terdapat di dalam kitab Allah yang mulia ialah kami. Oleh karena itu bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya. Kita harus memohon kepada Allah dengan perantaraan mereka a.s., supaya doa dikabulkan. Dengan kata lain bertawassul kepada Ahlulbait Nabi Muhammad Saw termasuk masalah pokok yang ditekankan di dalam pandangan Alquran al-Karim dan riwayat-riwayat yang muktabar.
Ibn Sina di dalam kitabnya asy-Syifa mengatakan: “Sesungguhnya di dalam diriku terdapat potensi khusus yang Allah anugerahkan kepada diriku. Ketika aku menjadi seorang murid dalam bidang tertentu di hadapan seorang guru, maka aku dapat menjadi guru bagi guruku setelah selama tiga hari guruku itu menjelaskan ilmu tersebut. Aku tidak mengetahui ilmu geometri kecuali hanya sedikit. Setelah aku berguru selama tiga hari kepada seorang guru geometri, maka aku dapat menjelaskan persoalan-persoalan ilmu geometri sedemikian rupa sehingga guruku berubah menjadi muridku.
Akan tetapi, aku sungguh pernah menelaah beberapa masalah di dalam bidang ilmu ilahi (maksudnya ilmu filsafat) dan aku mengulang-ulang bacaanku itu hingga empat puluh kali, namun aku tetap tidak mampu menyelesaikan kesulitan masalah tersebut kecuali setelah aku bertawassul kepada alam malakut, di sela-sela sumpahku kepada Allah dengan perantaraan para imam yang suci dari kalangan Ahlulbait Rasulullah Saw, dengan tujuan supaya aku bisa menyelesaikan masalah rumit yang sedang aku hadapi, melalui jalan ini.”
Almarhum Mustafa, anak laki-laki terbesar Pemimpin Besar Revolusi Islam (Imam Khomeini) mengatakan: “Ayahku telah terbiasa pergi ke makam Imam Ali a.s. setiap malam, untuk membaca doa Ziyarah Jamiah, lalu pulang ke rumah. Pada suatu malam udara sangat dingin sekali dengan disertai hujan. Aku melihat ayahku telah siap untuk pergi ke kuburan Imam Ali a.s. Melihat itu aku pun tersenyum dan berkata kepadanya, ‘Ayahku sayang, Ayah bisa membaca doa Ziyarah Jamiah di sini, tanpa harus memberatkan diri Ayah pergi pada cuaca yang dingin sekali ini. Secara umum ziarah di rumah tidak kalah pahalanya dari ziarah di makam.’
Ayahku menjawabku dengan perkataan yang tegas sekali, tidak ubahnya seperti seorang guru dan pemimpin, ‘Anakku Mustafa, jangan engkau rampas semangat masyarakat umum dari kami!’”
Selamat bagi mereka para laki-laki dan para wanita yang mulia yang memiliki roh dan semangat ibadah, yang mereka peroleh dari keteguhan mereka berpegang pada jalan Ahlulbait yang mulia. Mereka tidak membuat hal-hal yang syubhat dan tidak menentang apa-apa yang ada di dalam Alquran, serta berusaha untuk tidak bersikap lembek dengan mengatasnamakan kebudayaan modern
Imam Khomeini di dalam bukunya yang berjudul Kasyf al-Asrar mengatakan suatu ungkapan yang begitu indah, sehingga dapat dianggap sebagai salah satu ungkapan indah abad ini. Dia mengatakan: “Pada perjalanan kami ke Mekkah, salah seorang dari mereka mencopot sebuah cincin dari jarinya, dan berkata, ‘Apa gunanya batu ini? Dan manfaat apa yang bisa diperoleh seorang manusia dari batu seperti ini?’
Mendengar itu aku pun tersenyum di hadapannya, dan bertanya kepadanya, ‘Mengapa Anda pergi, wahai Fulan? Tidakkah engkau tahu bahwa engkau hendak pergi untuk tawaf mengelilingi batu yang tidak mendatangkan bahaya dan tidak mendatangkan manfaat? Dan Anda hendak menyentuh Hajar Aswad (batu hitam) yang tidak memberikan manfaat kepada Anda sedikit pun? Jika Hajar Aswad memberikan manfaat kepada Anda, maka tentunya tawaf mengelilingi Ka’bah pun akan memberikan manfaat juga kepada Anda. Dan jika demikian, maka ziarah ke makam Rasulullah Saw pun ber manfaat juga. Demikian juga halnya dengan kuburan Ahlulbaitnya a.s.
Tidakkah Anda tahu bahwa Allah Swt mempunyai tempattempat yang mana Dia mewajibkan manusia menyebut nama-Nya di tempat tersebut? Tidakkah Anda tahu sesungguhnya sunah yang dikatakan oleh Rasulullah saw, misalnya mengenakan cincin, harus memperoleh perhatian yang besar, dan sesungguhnya berziarah kepada orang-orang suci dari para sahabat Aimmah, menjadikan seorang Muslim mempunyai kedudukan di sisi Allah?
Sesungguhnya bertawassul kepada kuburan orang-orang saleh dan para wali Allah, sebagaimana yang diajarkan pengalaman kepada kita mempunyai pengaruh positif di dalam dikabulkan dan diterimanya doa. Saya kira tidak ada orang yang mengingkari yang demikian kecuali orang yang telah Allah cabut roh ibadah dari hatinya.’”
Baca: Tawasul kepada Nabi saw, Bid’ahkah?
Saudara-saudara yang mulia, jangan sampai seorang pun dari kita melupakan membaca ziarah kepada Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya yang suci, supaya kita dapat menciptakan hubungan yang kuat dan kokoh dengan manusia-manusia suci ini. Supaya kelak mereka menjadi pemberi syafaat bagi kita, setelah kita meninggal dunia. Dan mohonlah kepada Allah Swt supaya Dia menganugerahkan kepada kita taufik dan kemampuan untuk bisa taat dan menjauhi maksiat, sehingga dengan begitu kita akan memperoleh jiwa ta’abbud (jiwa penghambaan diri kepada Allah), yang insya Allah akan membawa kita kepada kemaslahatan dunia dan akhirat.
*Disarikan dari buku Jihad Melawan Hawa Nafsu – Husain Mazahiri