Memperingati hari kelahiran dan kematian para wali dan orang-orang suci lainnya, menurut pendapat kelompok Wahabi, merupakan perbuatan bidah, dan dengan sendirinya haram. Pendapat ini menggambarkan permusuhan mereka terhadap para pembesar agama dan kekasih-kekasih Tuhan.
Satu hal yang merupakan akar semua kesalahan kaum Wahabi adalah mereka tidak memberikan definisi yang jelas untuk pengertian syirik dan tauhid, dan khususnya bagi kata ibadah, sehingga mereka berkesimpulan bahwa semua peringatan adalah identik dengan penyembahan. Seperti yang dapat kita amati, mereka menyejajarkan dua kata ta’zhim dan ibadah dalam pembicaraan mereka, dan menganggap keduanya mempunyai arti yang sama.
Tidak ada keraguan bahwa Alquran dengan ungkapan-ungkapannya yang fasih dan penuh sastra, berkali-kali memuji kelompok para nabi dan wali. Berkenaan dengan Nabi Zakaria a.s. dan Nabi Yahya a.s., Allah berfirman: “…Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS. al-Anbiya: 90)
Lalu, jika ada orang yang memperingati mereka dan dalam majelisnya ia mengagungkan mereka sesuai dengan kandungan ayat tersebut, bukankah berarti dia telah mengikuti Alquran? Berkenaan dengan keluarga Nabi Saw, Allah berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS. al-Insan: 8)
Baca: Kematian, Sebuah Jendela untuk Kehidupan Baru
Kini, jika di hari kelahiran Nabi, kita berkumpul dan membacakan ayat-ayat yang memuji Nabi, atau kita ubah dalam bentuk puisi, maka apakah kita telah berbuat sesuatu yang haram?
Jika para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib a.s. pada hari kelahirannya berkumpul dan berkata bahwa Ali adalah seorang yang memberikan makanannya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan, apakah berarti mereka telah menyembahnya?
Mereka, kaum Wahabi, adalah orang-orang yang menentang penghormatan kepada Nabi dan Wali, dan untuk itu mereka menggunakan alasan bahwa mereka bermaksud memerangi bidah. Pernyataan yang diketengahkan dan selalu dijadikan sandaran oleh para juru bicara kelompok Wahabi adalah “apabila majelis-majelis dan pertemuan-pertemuan ini diadakan atas nama agama dan dinisbahkan kepada Islam, maka harus ada pembenaran (dalil), baik secara khusus atau umum, dari Islam. Jika tidak ada, berarti perbuatan itu bidah dan haram.”
Jawaban atas pernyataan itu adalah mudah, cukup dengan mengutip ayat-ayat yang memerintahkan kita menghormati Nabi, dan langkah ini adalah tepat, sebab adalah sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Alquran atau sunah Nabi, baik secara khusus atau umum. Tujuan peringatan-peringatan yang sudah merupakan kebiasaan bagi seluruh bangsa di dunia, yang ditujukan kepada para pemuka mereka, tidak lain dimaksudkan hanya sebagai penghormatan kepada mereka. Apabila perbuatan itu, sebagaimana pendapat kelompok Wahabi, adalah bidah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka tidak mungkin para ulama di setiap negeri merayakan hari kelahiran Nabi, dengan membacakan tulisan-tulisan serta puisi yang indah dan manis, yang memeriahkan majelis mereka.
Dalil-dalil yang membolehkan perbuatan tersebut adalah sebagai berikut:
Dalil Pertama: Alquran memuji orang-orang yang memuliakan Nabi dengan firman-Nya: “…Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi) dan memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’raf: 157)
Kalimat-kalimat yang ada dalam ayat ini adalah: (1) beriman kepadanya; (2) memuliakannya; (3) mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran).
Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa tiga kalimat di atas berlaku terbatas hanya pada masa Nabi Saw. Dengan demikian, kata-kata di dalam ayat yang berarti “mengagungkan dan menghormati” juga bukan hanya berlaku pada masa hidup Rasul, melainkan beliau harus senantiasa tetap dihormati dan diagungkan selamanya.
Aneh! Kaum Wahabi begitu mengagung-agungkan dan merendah di hadapan penguasa-penguasa mereka, yang hanya manusia biasa, namun jika untuk Nabi, dinyatakan sebagai perbuatan bidah dan bertentangan dengan Islam. Akibatnya, mereka mengenalkan agama Islam kepada bangsa-bangsa di dunia sebagai agama yang kering, yang sunyi dari perasaan dan naluri. Juga, sebagai akibatnya, syariat yang mudah, yang sesuai dengan fitrah manusia serta mengandung pandangan yang tinggi dalam menarik orang-orang, mereka kenalkan sebagai ajaran yang kosong, yang tidak memperhatikan fitrah manusia serta tidak mampu menarik umat sedunia.
Dalil Kedua: Mereka yang tidak setuju dengan didirikannya majelis untuk syuhada, apakah yang akan mereka katakan sehubungan dengan kisah Nabi Yaqub a.s.? Hukum apakah yang akan mereka tetapkan apabila Nabi yang agung ini hidup di antara orang-orang Nejd dan para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab?
Siang dan malam, disebabkan perpisahannya dengan anaknya, Yusuf, ia selalu menangis dan mencari ke sana kemari. Begitu menderitanya akibat perpisahan itu, ia pun akhirnya kehilangan penglihatannya. Rasa sakit dan hilangnya penglihatan tidak menyebabkan ia dapat melupakan Yusuf dari benak. Bahkan, karena adanya janji akan pertemuan, ia senantiasa berharap-harap dan merasa bahwa waktu yang dijanjikan itu telah dekat. Hal itu membuat api kerinduan kepada putranya yang tersayang, semakin menyala-nyala di hati Yaqub. Itulah sebabnya, maka dari jarak jauh ia telah dapat mencium bau Yusuf, dan apabila seharusnya bintang (Yusuf a.s.) yang menanti mentari (Yaqub a.s.), kini justru Yaqub yang mencari-cari Yusuf.
Jika penampakan kasih sayang kepada orang yang masih hidup dan yang dicintai, yakni Yusuf, dihukumi sebagai hal yang dapat dibenarkan dan dianggap sebagai inti tauhid, maka mengapa jika setelah wafatnya orang merasakan kepedihan dan kesedihan yang lebih dari itu, penampakan perasaan-perasaan yang sama itu menjadi haram dan digolongkan sebagai perbuatan syirik?
Apabila kini “Yaqub-Yaqub” modern setiap tahun berkumpul memperingati hari kematian “Yusuf-Yusuf” pada masanya serta meneteskan air mata keharuan, apakah dengan perbuatan ini mereka berarti telah menyembah anak-anak mereka?
Dalil Ketiga: Alquran dengan tegas memerintahkan kita untuk mencintai keluarga Nabi, namun setelah 14 abad dari masa hidup mereka, apakah yang harus diperbuat oleh orang yang akan melaksanakan kewajiban itu? Apakah caranya bukan dengan turut merasa gembira pada hari-hari kegembiraan mereka, dan merasa sedih pada hari-hari kesedihan mereka?
Dan jika untuk menampakkan kegembiraan lalu ia mendirikan perayaan yang menyebut kembali sejarah hidup dan perjuangan mereka, atau untuk menampakkan kesedihan ia membaca kembali kisah ketertindasan dan terampasnya hak-hak mereka, apakah ia, selain menampakkan rasa cintanya kepada keluarga Nabi, juga telah berbuat sesuatu yang lain?
Apabila demikian halnya menurut pendapat kaum Wahabi, maka itu sama saja halnya dengan mengatakan bahwa menurut kaum Wahabi, rasa cinta dan sayang harus disimpan dan disembunyikan di dada, tidak seorang pun berhak menampakkannya.
Dalil Keempat: Isa al-Masih a.s., ketika memohon makanan dari surga, menamakan hari diturunkannya makanan itu sebagai hari ‘Id, seperti disebutkan dalam ayat: “Isa putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya (‘Id) bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami, dan menjadi tanda bagi Engkau. Berikan rezeki kepada kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’” (QS. al-Maidah: 114)
Baca: Kematian Manusia di Tangan Siapa?
Apakah nilai seorang nabi lebih kecil daripada sebuah hidangan langit yang hari turunnya dinamakan oleh Isa al-Masih a.s. sebagai hari ‘Id? Apabila hari itu kemudian dirasakan karena hidangan tersebut merupakan tanda dari Allah, maka bukankah nabi merupakan tanda yang terbesar di antara tanda-tanda Allah yang lain?
Alangkah celaka orang yang mau merayakan hari turunnya hidangan dari langit yang hanya dapat mengenyangkan perut, namun hari turunnya Alquran dan hari diutusnya para nabi yang akan menyempurnakan pemikiran manusia sepanjang masa, ia lewatkan begitu saja. Apalagi kemudian ia berpendapat bahwa penampakan kegembiraan dengan cara seperti itu merupakan sebagian dari perbuatan bidah.
*Dikutip dari buku Tawassul, Tabaruk, Ziarah Kubur Termasuk dalam Islam – Ayatullah Jakfar Subhani