Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Derajat Mulia Bakti Anak atas Kasih Tanpa Balas Kedua Orangtua

Allah SWT berfirman: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (Q.S. an-Nisā’ [4]: 36)

Itulah pemberitaan Al-Quran mengenai ketentuan dari Tuhan yang berhubungan dengan dua hal:

  1. Pembatasan penyembahan hanya kepada Allah semata
  2. Berbakti kepada kedua orangtua

Apa rahasia disatukannya kedua hal ini dalam ketentuan Allah SWT?

Barangkali jawabannya tersembunyi dalam sifat ketuhanan yang telah Allah tanamkan pada kedua orangtua. Bagi Allah SWT sifat kasih tak terbalaskan, karena Allah Azza wa Jalla adalah kesempurnaan yang paripurna, Sang Mahakaya yang tidak membutuhkan apapun.

Baca: Fikih Quest 87: Keinginan Orang Tua yang Telah Meninggal

Dia yang menciptakan, menyusun, mengatur, menghidupi, dan memenuhi kebutuhan seluruh makhluk. Dia tidak menginginkan apapun untuk Zat-Nya, melainkan tujuan-Nya agar makhluk meraih kesempurnaan dalam kehidupannya. Kebahagiaan manusia itulah tujuan diciptakannya manusia itu sendiri dan disertai dengan pengawalan Allah untuknya.

Sementara pada kedua orangtua suatu sifat sebagai manifestasi kemuliaan sifat ketuhanan tadi. Itulah kasih tanpa balas. Seorang ibu mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah, rasa sakit, dan menanggung beban. Ketika melahirkan, dia sungguh merasakan kesakitan yang pedih, seakan-akan ruhnya akan tercabut keluar dari raganya. Setelah melahirkan, ia begadang di malam hari agar anaknya tidur. Ia berlelah-lelah agar anaknya gembira. Ia bersakit-sakit agar anaknya tenang dan tumbuh besar, seiring berjalannya waktu semakin bertambah kerja kerasnya (untuk anaknya). Begitu juga dengan ayah. Ia bersungguh-sungguh untuk memberikan kenyamanan untuk anaknya. Dan dia bekerja membanting tulang untuk memberikan kehidupan yang mulia bagi anaknya.

Meskipun seluruh jerih payah dan pengorbanan mereka ditujukan untuk anak mereka, akan tetapi  mereka berdua tidak menginginkan balasan apapun darinya, akan tetapi tujuan keduanya agar anak mereka hidup dalam kebahagiaan. Itulah kasih tanpa balas dari kedua orangtua, baik sebelum keduanya, ketika bersama keduanya, atau setelah ketiadaan keduanya yang merupakan manifestasi dari Allah SWT.

Membalas Kasih tanpa Balas

Saat merenungi kasih dari Allah, kita tahu dengan baik bahwasanya kita tidak mungkin membalasnya dengan syukur apa pun. Setiap yang kita lakukan sebagai ungkapan rasa syukur kita itu sendiri merupakan kasih dari Allah yang pantas untuk disyukuri. Sebagaimana yang digambarkan oleh Imam as-Sajjad a.s, “Bagaimana bisa aku merepresentasikan rasa syukurku? Sementara syukurku kepada-Mu saja, membutuhkan rasa syukur.”[1]

Oleh karena itu, tidak seorang pun bisa bersyukur kepada Allah atas hak-Nya untuk disyukuri.

Baca: Doa Imam Zainal Abidin Untuk Kedua Orang Tuanya

Suatu hari, datang seorang lelaki kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku menggendong ibuku di atas pundakku sejauh dua farsakh (1 farsakh = 5,8 km) di tengah teriknya matahari, yang bila aku temukan sepotong daging di situ, niscaya ia akan matang. Sudahkah aku menunaikan hak bersyukur kepadanya? Rasul menjawab, “Boleh jadi itu hanya senilai satu bidikan.”[2]

Contoh-contoh Kedudukan Agung Kedua Orangtua

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, Allah mengangkat derajat kedua orangtua dalam bentuk yang luar biasa. Mari kita simak beberapa perkara berikut ini:

  1. Tiada ibadah yang diterima jika menyakiti kedua orangtua

Terdapat hubungan yang erat antara beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada kedua orangtua. Beberapa riwayat agama telah menjabarkan hubungan antara tidak diterimanya suatu ibadah seseorang dan menyakiti kedua orang tuanya, walaupun sekadar tatapan benci terhadap kedua orangtua, tanpa mengucapkan sepatah kata bahkan tanpa gerakan anggota tubuh.

Imam as-Shadiq a.s berkata, “Barangsiapa memandang kedua orangtuanya dengan tatapan amarah, saat keduanya menganiaya dirinya, niscaya tidak diterima salatnya.”[3]

2. Tidak ada kemuliaan khusus yang melebihi kedua orangtua

Diriwayatkan dari Imam as-Shadiq a.s, “Allah menyerahkan seluruh perkaranya kepada seorang Mukmin, tetapi Allah tidak mengizinkannya untuk merendahkan dirinya sendiri.”[4] Namun bertolak belakang dengan sikap seseorang terhadap kedua orangtua. Jika orangtua terbukti berbuat salah terhadap anaknya, yang dianggapnya sebagai merendahkan kemuliaannya dan menghinakannya, Allah justru mewajibkannya secara jelas, “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” (Q.S. al-Isrā’ [17]:24)

3. Tidak akan ada akhir yang baik jika disertai dengan kemurkaan kedua orangtua

Diceritakan bahwa Rasulullah SAW mendatangi seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, kemudian beliau SAW berkata kepadanya, “Ucapkanlah lā ilāha illallāh!” Lidah orang itu berkali kali tercekat. Kemudian Rasul bertanya kepada seorang wanita yang berada di sisi orang itu, “Apakah dia masih memiliki ibu?” Wanita itu berkata, “Ya, saya ibunya,” Rasul bertanya, “Apakah kamu masih marah padanya?” Ia menjawab, “Ya, saya tidak berbicara dengannya selama 6 tahun.” Beliau SAW berkata kepadanya, “Berilah rida atasnya!” Wanita itu menjawab, “Rida Allah untuknya selagi engkau rida, wahai Rasulullah.” Nabi SAW kemudian berkata kepada pemuda sekarat tadi, “Katakanlah lā ilāha illallāh!” Lalu pemuda itu bisa mengucapkannya. Lantas Rasul bertanya pada pemuda itu, “Apa yang kamu lihat?” Ia menjawab “Aku melihat lelaki hitam yang buruk rupa, berpakaian kotor, dan berbau busuk. Telah datang ajalku…”[5]

4. Berbakti kepada kedua orangtua dapat memanjangkan umur

Diriwayatkan dari Imam as-Shadiq a.s, beliau berkata, “Wahai yang dimudahkan (urusannya). Ajalmu telah datang tidak hanya sekali maupun dua kali. Namun semua itu ditunda oleh Allah berkat silaturahmi yang kamu lakukan kepada kerabatmu. Dan jika kalian ingin umur kalian diperpanjang, berbuat baiklah kepada orangtuamu.”[6]

5. Berbakti kepada kedua orangtua menambah rezeki dan kecintaan.

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW beliau bersabda: “Barangsiapa yang menggadaikan kepadaku baktinya kepada kedua orangtua dan bersilaturahmi, aku akan menggaransinya banyak harta, berumur panjang, dan kecintaan dari kerabat.”[7]

6. Berbakti kepada kedua orangtua adalah pintu taubat.

Diceritakan bahwa ada seorang pemuda berkata kepada Rasulullah SAW, “Tidak ada amal keburukan yang tidak pernah aku lakukan. Masih terbukakah pintu taubat untukku?” Rasul menjawab, “Adakah kedua orangtuamu yang masih hidup?” Dijawab olehnya, “Ayahku.” Rasul berkata, “Pergilah dan berbaktilah kepadanya!” Ketika pemuda itu telah pergi, Rasulullah berkata, “Terlebih jika ibunya juga masih hidup.”[8]

7. Berbakti kepada kedua orangtua meringankan sakaratul maut.

Diriwayatkan dari Imam as-Shadiq a.s, beliau berkata, “Barangsiapa ingin Allah ringankan sakaratul mautnya, hendaknya ia berhubungan baik dengan kerabatnya, dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Dengan demikian, Allah SWT akan mempermudah sakaratul mautnya, dan kefakiran tidak akan menimpanya selamanya.”[9]

8. Kubur kedua orangtua adalah tempat yang mustajab untuk berdoa.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Kunjungilah orang yang telah wafat di antara kalian. Sungguh mereka sangat bergembira dengan kunjungan kalian. Hendaknya kalian meminta hajat di sisi kubur ayah dan ibu kalian dengan hal-hal yang kalian harapkan untuk mereka berdua.”[10]

9. Berbakti kepada kedua orangtua berlanjut setelah keduanya wafat.

Diriwayatkan dari Imam al-Baqir a.s, beliau berkata, “Seorang hamba berbakti saat kedua orangtuanya hidup. Kemudian keduanya meninggal, namun dia tidak melunasi hutangnya dan tidak memohon ampunan untuk keduanya, niscaya Allah SWT mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sebaliknya, dia durhaka selama kedua orangtuanya hidup, namun ketika keduanya meninggal, dia melunasi hutangnya, dan memohon ampunan untuknya, niscaya Allah mencatatnya sebagai anak yang berbakti.”[11]

Baca: Bagaimana Orang Tua Mendidik Anak Menjadi Manusia?

Riwayat-riwayat tersebut telah menjelaskan bahwasanya berbakti kepada kedua orangtua bermanfaat bagi keduanya setelah kematiannya. Asumsinya, amal seorang anak dianggap sebagai kebaikan orangtuanya ialah mengingat dia bersumber dari keduanya.

Riwayat dari Imam as-Shadiq a.s dapat menguatkan asumsi ini, “Tiada pahala seseorang yang terhitung setelah dia meninggal, kecuali tiga hal[12];

  1. Sedekah yang dia berikan selama hidupnya. Sedekah itu akan mengalir kepadanya setelah wafat
  2. Jalan hidup pada petunjuk yang dianjurkannya. Lalu, itu diamalkan oleh generasi penerusnya setelah wafatnya. Dan,
  3. Anak saleh yang memohon ampunan bagi

Pada tataran praktis hakikat ini, Rasul SAW menjabarkannya dengan kisah yang dialami Nabi Isa a.s. Rasul SAW bersabda, “Nabi Isa a.s melewati suatu kuburan yang penghuninya sedang disiksa. Kemudian Nabi Isa melewati kuburan itu pada tahun berikutnya, namun penghuninya tidak lagi disiksa. Kemudian Nabi Isa bertanya-tanya, “Wahai Tuhanku, aku melewati kubur ini di tahun sebelumnya, penghuninya disiksa. Lalu aku melewatinya lagi tahun ini, dia tidak lagi disiksa.” Allah SWT mewahyukannya, “Wahai Ruhullah, sesungguhnya dia memiliki seorang anak yang saleh. Anak itu memperbaiki sebuah jalan dan dia menaungi anak yatim, maka Aku mengampuni ayahnya berkat hal-hal yang diperbuat oleh anaknya.”[13]

Baca: Belajar Berbakti Kepada Orang Tua Dari Imam Ali Zainal Abidin a.s.

Berikut ini cerita yang sangat menyentuh mengenai tema yang sedang kita bahas. Seseorang bercerita, “Dulunya aku tidak berhasrat untuk memiliki anak sehingga aku wukuf di Arafah. Ketika itu, seorang pemuda di sampingku berdoa sambil menangis seraya mengucapkan, ‘Wahai Tuhan kedua orangtuaku’, mendengar itu, seketika aku berhasrat untuk memiliki anak.”[14]

Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin orang-orang baik di hari kiamat itu seseorang yang berbakti kepada kedua orangtua setelah keduanya wafat.”[15]

10. Berbakti kepada kedua orangtua lebih baik dari ibadah-ibadah lainnya.

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua lebih utama dari salat, puasa, haji, umrah, dan jihad di jalan Allah SWT.”[16]

[1] Sahīfah as-Sajjadiyah, Munajat orang-orang taat.

[2] At-Thabrani, Mu’jam as-Saghīr, j. 1, h. 93.

[3] Husein an-Nuri, Mustadrak al-Wasāil, j. 15, h. 195, Beirut, Muassasah Āl al-Bayt, cet. 2, 1988.

[4] Al-Kulayni, al-Kāfī, j. 5, h. 63.

[5] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 71, h. 75.

[6] Ibid, h. 84.

[7] Al-Bourujerdi, Jāmi‘ Ahādīts as-Syī‘ah, j. 21, h. 427.

[8] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 71, h. 82.

[9] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 71, h. 66.

[10] Al-Kulayni, al-Kāfī, j. 3, h. 230.

[11] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 71, h. 59.

[12] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 104, h. 100.

[13] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 71, h. 101.

[14] Al-Hurr al-‘Amili, Wasāil as-Syīah, j. 15, h. 95, Qom, Muassasah Āl al-Bayt, cet. 2, 1988.

[15] Al-Hurr al-‘Amili, Wasāil as-Syīah, j. 71, h. 86.

[16] An-Niraqi, Jāmi‘ as-Sa‘ādāt, j. 2, h. 203, Najaf, Dar an-Nu‘man.


No comments

LEAVE A COMMENT