Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Hakikat Roh Manusia dalam Pandangan Islam

Dalam penjelasan Alquran, manusia selain mempunyai badan (materi) juga mempunyai roh (non-materi). Dan pada dasarnya, hakikat manusia adalah rohnya. Ayat-ayat Alquran menjelaskan keduaan sisi manusia itu, antara lain, sebagai berikut:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)nya. (QS. al- Sajdah: 9)

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Hijr: 28-29)

Kata “taswiyah” (menyempurnakan) dalam ayat ini bermakna penciptaan anggota badan yang dibuat dengan bentuk sempurna, jauh dari kekurangan dan kemubaziran. Dalam bahasa arab, digunakan kata “sawiyyun” untuk orang yang tepat dan sempurna dari segi bentuk. Sehingga, maksud dari “sawwa” dalam ayat-ayat ini adalah penyempurnaan ciptaan jasmani atau lahiriah manusia.

Baca: Kesesuaian Alquran dengan Kondisi Jiwa dan Obat Penawar Segala Macam Penyakit

Setelah penciptaan badan dengan batasan kesempurnaan itu, Tuhan meniupkan roh pada jasad tersebut. Tuhan menisbahkan tiupan roh itu pada diri-Nya melalui sifat Kemuliaan dan Ketinggian. Yang demikian itu dalam peristilahan disebut dengan penyandaran bersifat penghormatan (idhofah tashrifiyah). Seperti ketika mereka menyebut masjid dan Ka’bah dengan rumah Allah (Baitullah) karena pentingnya kedudukan dan keluhuran derajat tempat tersebut.

Sampai saat ini kita berbicara menurut penjelasan Alquran yang menyatakan bahwa manusia memiliki dua sisi, yaitu roh dan badan. Selain itu, Alquran juga membawa uraian lain, bahwa hakikat manusia adalah rohnya. Roh yang terhubung dengan badan materi. Di saat kematian, roh dan jiwa manusia diambil dari jasad. Selanjutnya, meskipun setelah beberapa waktu pasca kematian badan (materi) manusia hancur, tetapi rohnya tetap hidup. Dan, di alam barzakh, roh melanjutkan kehidupannya.

Terkait subjek ini, Alquran menerangkan: Allah memegang (mengambil) jiwa (orang) ketika matinya. (QS. al­Zumar: 42)

Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan (mengambil) kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan. (QS. al-Sajdah: 11)

Kata “tawaffaa” dalam ayat ini bermakna mengambil.  Tidak ada keraguan, bahwa malaikat maut mengambil roh manusia saat tiba ajalnya, dalam kondisi badan manusia masih utuh. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa hakikat manusia adalah roh yang diambil oleh sang pencabut nyawa. Seseorang tidak memiliki hakikat selain dari rohnya. Apabila roh hanya membentuk separuh dari kemanusian dan sosok manusia maka Alquran harus mengungkapkan dengan kalimat “mengambil sebagian dari kamu” sebagai ganti dari frasa “mengambil kamu”.

Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa hakikat manusia tidak lain adalah roh yang diambil oleh  malaikat maut. Dan setelah roh diambil, hakikat seseorang tidak lagi tersisa di bumi. Ayat-ayat yang berbicara tentang para syahid menjelaskan dengan gamblang bahwa para syahid itu sedang menjalani kehidupan di sisi Allah sekaligus memperoleh kenikmatan Ilahi yang paling memuaskan. Sementara kita menyaksikan jasad mereka telah hancur lebur. Jadi, hakikat yang menopang dan menentukan hidup manusia ialah rohnya, yang tetap utuh setelah kematian. Alquran menegaskan, Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.  (QS. Ali Imran: 169)

Ayat-ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa  manusia terbentuk dari dua sisi, yaitu badan (materi) dan roh (non-materi). Dan hakikat manusia ialah rohnya, yang diambil malaikat maut di saat kematiannya.

Segi-segi Roh dan Jiwa Manusia

Sampai batas ini telah dijelaskan bahwa manusia selain memiliki unsur materi juga mempunyai hakikat lain yang disebut roh, atau jiwa. Keberadaan non-materi yang disebut roh pada manusia itu membedakannya dari seluruh hewan (sebenarnya manusia dan hewan sama-sama mengandungi unsur non-materi/roh, namun ada kemampuan dan kekuatan khas pada roh manusia yang tidak dimiliki oleh hewan). Biasanya potensi dan kekuatan itu disebut akal. Semua manusia memiliki roh insani tersebut. Ketika merenungkan roh manusia, kita bisa memahami dua segi di dalamnya yaitu pengetahuan dan kecenderungan.

  1. Segi Pengetahuan Manusia

Segi pengetahuan manusia mencakup dua lingkup, yaitu teori dan praktik. Jika pengetahuan bersangkut paut dengan hal-hal ontologis, tentang adanya atau akan adanya sesuatu, maka itu disebut pengetahuan teoretis. Sedangkan pengetahuan yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia dari sisi baik dan buruk, atau harus (dilakukan) dan tidak boleh (dikerjakan), maka itu disebut pengetahuan praktis. Karena fakta pengetahuan itulah, para filsuf membagi ilmu menjadi ilmu teoretis dan praktis, atau hikmah teoretis dan hikmah praktis.

Pengetahuan teoretis adalah pengetahuan yang  diperoleh manusia melalui gambaran-gambaran dan pemahaman akal. Seperti pengetahuan manusia terhadap pohon yang berada di hadapannya. Gambaran pohon itu ditangkap roh melalui mata dan kemudian disimpan dalam benaknya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini disebut ilmu hushuli (pengetahuan gambaran objeknya).

Ada juga pengetahuan yang diperoleh tanpa perantaraan seperti di atas, dan manusia secara langsung mengetahui objek pengetahuan atau wujud riilnya, bukan gambarannya. Pengetahuan jenis ini disebut dengan ilmu hudhuri. Seperti pengetahuan manusia terhadap kondisi jiwa dan perasaan-perasaannya. Pada saat diliputi ketakutan, kita dapat memahami kondisi jiwa (takut) ini secara langsung, tanpa perantara. Kita tidak memahaminya dengan perantara gambaran atau pemahaman akal. Pengetahuan dan penyaksian seperti ini terjadi pada para maksumin. Seperti pada Amirul Mukminin Ali a.s., sebelum menyaksikan segala hal, telah menyaksikan Tuhan. Sebagaimana dituturkan dalam beberapa riwayat, Imam Ali berkata: “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat. Bukan dengan mata kepala, namun dengan mata hati.” (Ushul al-Kafi, 1/97)

Oleh karena itu, sebelum menyaksikan segala hal, Imam Ali telah menyaksikan Allah Swt. Kemudian dalam dan dengan cahaya penglihatan Ilahi itu, beliau mengetahui semua hal (yang lain).

Sementara pengetahuan praktis berkaitan dengan lingkup amal perbuatan; yakni pengetahuan yang menentukan harus dan tidak boleh, baik dan buruk. Seperti, keadilan adalah baik, atau manusia  harus berkata jujur. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau hikmah praktis ialah pengetahuan tentang taklif dan tugas manusia. Pengetahuan praktis di antaranya meliputi Ilmu edukasi dan pengajaran. Dapat dikatakan pula, pengetahuan praktis ialah semua pengetahuan yang bersangkutan dengan amal perbuatan manusia.

  1. Segi Kecenderungan Manusia

Selain segi pengetahuan, roh manusia juga memiliki segi lain yang disebut segi kecenderungan. Segi ini ialah keinginan-keinginan yang bercampur dengan roh. Secara zat, setiap manusia mempunyai kecenderungan ini, sekalipun lemah dan tertutupi. Setiap orang dapat merasakan hal itu dalam dirinya dengan gamblang.

Kecenderungan-kecenderungan yang dimaksud itu tidak muncul karena faktor-faktor eksternal, pengaruh lingkungan, sosial, dan pendidikan. Meskipun, faktor­faktor eksternal dapat memengaruhi perkembangannya, seperti kecenderungan terhadap ilmu dan beribadah kepada Tuhan.

Kecenderungan manusia dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama, kecenderungan hewani. Kecenderungan ini dimiliki oleh hewan dan manusia. Contohnya, kecenderungan untuk menjaga diri, membela diri, dan kecenderungan terhadap lawan jenis. Semua kecenderungan itu disebut dengan naluri. Kedua, kecenderungan insani. Kecenderungan ini khusus dimiliki manusia.

Baca: Keadaan Seorang Mukmin di Alam Barzakh

Yang termasuk dari kecenderungan asli dan tidak dapat dipisahkan dari manusia adalah cinta kepada Tuhan. Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia adalah maujud yang ber-Tuhan atau beragama. Tuhan menciptakan manusia dengan fitrah Ilahi. Dan, tiada perubahan dalam penciptaan ini. Itulah sebabnya, Amirul Mukminin Ali a.s. menyatakan: “Duhai Tuhan! Engkaulah yang telah menciptakan hati pada kecintaan (pada)mu.” (Bihar al-Awar, 5/403)

Apabila kecintaan pada Tuhan telah teraduk menyatu dalam wujud manusia, mustahil kecintaan itu berpisah dari wujudnya. Hanya saja, sangat mungkin manusia menjadi lalai beberapa saat akan kecenderungan fitrah ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Dan bisa juga ia salah dalam mengenal objek hakiki dari kecenderungan itu. Akan tetapi saat penghalang disingkirkan, kecenderungan ini muncul kembali dan menampakkan keasliannya. Dalam konteks ini, para nabi dan rasul Allah ditugaskan untuk menyadarkan dan membangkitkan fitrah manusia tersebut. Selanjutnya, mereka memberikan pengarahan yang benar atas kecenderungan religi umat manusia.

*Disarikan dari buku Panorama Pemikiran Islam – Ayatullah Ja’far Subhani

No comments

LEAVE A COMMENT